Liputan6.com, Denpasar - Sebagian orang merasa tidak nyaman, terluka, atau baper jika mendapat pertanyaan basa basi atau tegur sapa yang menyinggung dirinya. Bagi orang yang tidak nyaman dengan kondisi fisiknya misalnya, pertanyaan atau pernyataan yang bernada body shaming dapat menusuk perasaan.
“Kamu kok gendutan, sist?” demikian salah satu contoh pertanyaan sensitif itu.
Padahal komentar semacam itu bisa jadi berangkat dari niat baik untuk menunjukkan perhatian. Namun hasilnya malah memicu potensi ketidaknyamanan orang yang disapa, yang kebetulan merasa tidak nyaman dengan kondisi fisiknya.
Advertisement
Baca Juga
Survei World Health Organization menunjukkan satu dari lima orang pernah mengalami gangguan insecure atau ketidaknyamanan pada dirinya. Jadi selain pilihan basa basi kurang bijak dari orang lain, ada potensi masalah lain pada banyak orang yakni ketidaknyamanan pada diri sendiri.
Erlina Pamboedi, seorang Life Coach di Bali, menjelaskan insecurity pada seseorang dapat ditelisik jauh ke belakang. Mulai saat dia bertumbuh dalam kandungan, pola pengasuhan orangtua, lingkungan tempat dibesarkan, orang-orang yang membersamai, sampai informasi yang dikonsumsi setiap hari melalui media sosial.
Apakah kamu pernah merasa tidak nyaman dengan diri sendiri? Kondisi di mana kamu merasa selalu ada yang kurang dalam dirimu. Perasan itu umumnya diawali dengan kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain. Mulai dari membandingkan fisik, kondisi finansial, pencapaian, sampai kondisi keluarga.
Ketidakpuasan terhadap diri sendiri mengawali munculnya insecurity. Itu membuat perempuan merasa tidak nyaman dengan dirinya sendiri, sensitif, merasa rapuh, dan takut bersinggungan dengan orang lain.
“Insecurity itu tidak datang begitu saja,” kata Erlina, di Bali, Minggu (18/07/2021).
Apa yang didengar, dilihat dan dirasakan sangat memengaruhi kesehatan mental. Pola pengasuhan, pendidikan, modernisasi jaman turut berperan. Insecurity umumnya muncul saat seseorang hanya berfokus pada believe sytem daripada value of life itu sendiri.
Beberapa believe system yang terlanjur melekat di masyarakat seperti standar cantik itu harus berkulit putih, tubuh langsing yang itu lebih baik, rambut harus lurus, kaki semampai, dan seputar fisik lainnya. Padahal semua warna kulit itu cantik. Tidak semua yang kurus itu sehat dan yang gemuk juga belum tentu sakit.
Saking sibuk memikirkan standar tertentu, membuat perempuan alpa pada value of life. Nilai yang jauh lebih penting daripada sekadar stereotype fisik, seperti tentang bagaimana menerima diri, menanamkan empati pada diri, serta memiliki rasa syukur.
Mereka yang belum berdamai dengan dirinya sendiri akan selalu merasa insecure. Inilah yang akan mengganggu kesehatan mental, merusak ketenangan hidup, makin membenci diri, dan kerap menyalahkan orang lain. Efek berkelanjutan akan menimbulkan stres, depresi, hingga tindakan bodoh untuk mengakhiri hidup.
Tentu kita tidak mau menyia-nyiakan hidup dengan terus merasa insecure. Mulailah mengenal diri, menerima apa adanya, mencintai, lalu kita akan dengan senang hati merawatnya.
Mereka yang berproses mengenali diri akan fokus pada dirinya saja. Tidak akan ada waktu untuk membandingkan dirinya dengan orang lain. Hal ini jadi langkah awal sebuah penerimaan diri, lalu perlahan mulai mencintai.
Setelah rasa cinta pada diri mulai mengakar, maka kita tidak akan pernah menyia-nyikannya lagi. Di titik ini kita akan dengan senang hati merawatnya dan tidak akan mengizinkan siapapun mencelanya lagi.
Saat kita sudah berhasil berdamai dengan diri sendiri, lalu lepas dari insecurity, apakah komentar terkait fisik masih mengganggu?
Mina Megawati, penulis di Bali