Liputan6.com, Pekanbaru - Korban kejahatan perbankan, Arif Budiman kembali dihadirkan di Pengadilan Negeri Pekanbaru oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejati Riau. Bendahara Umum Nahdatul Ulama Riau itu hadir untuk membuktikan penilapan uangnya miliaran rupiah di Bank Jawa Barat (BJB) Pekanbaru.
Duduk sebagai terdakwa mantan manager komersial di BJB Pekanbaru, Indra Osmer Gunawan Hutahuruk. Sama seperti sebelumnya, saksi korban diminta menjelaskan kejahatan perbankan yang dialami, berupa transaksi bernilai miliaran rupiah yang tak diketahui korban.
Advertisement
Kali ini, majelis hakim yang diketuai Dahlan fokus pada sembilan transaksi yang menjadi dakwaan JPU untuk menjerat terdakwa Osmer, mulai dari tanda tangan dan nilai yang tertera pada cek pencairan.
Selama sidang berlangsung, Arif mengaku tidak mengetahui adanya transaksi atas nama dirinya. Arif menduga transaksi dilakukan oleh Indra tanpa sepengetahuan dirinya.
Usai persidangan, Arif kepada wartawan menyebut BJB Pekanbaru pernah melakukan rekonsiliasi terkait dugaan pencairan uang tanpa sepengetahuan dirinya itu. Dari sana, terungkap ada pengakuan dari pihak bank terkait transaksi bernilai Rp3,2 miliar lebih.
Dalam rekonsiliasi itu, manajemen BJB Pekanbaru pernah meminta Arif tak memperkarakan persoalan yang melibatkan terdakwa Indra. Syaratnya, Arif mencabut laporan di Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Riau.
"Dalam rekon itu saya juga diminta tidak melakukan gugatan perdata dengan janji pembayaran Rp3 miliar uang ke saya," kata Arif, Senin siang, 30 Agustus 2021.
*** Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Simak video pilihan berikut ini:
Jam Transaksi Aneh
Arif menjelaskan, banyak transaksi atas perusahaan dirinya yang tak diketahui. Termasuk jam pencairan yang belakangan diketahuinya setelah kasus ini ditangani Polda Riau.
"Transaksi jam 12 siang dan sore hari, padahal biasanya saya transaksi itu jam 10," kata pria Ketua Umum Ikatan Keluarga Sumatera Selatan (IKSS) Provinsi Riau ini.
Arif kian yakin transaksi itu dilakukan Indra karena jabatan yang bersangkutan di BJB Pekanbaru. Apalagi selama ini, Arif tidak pernah menyerahkan cek kosong kepada Indra.
Selama ini, Arif memercayakan transaksi kepada bawahannya jika keluar kota. Cek itu selalu ditandatangani, begitu juga dengan nominal serta jumlah terbilang pada cek.
Hanya saja, banyak transaksi yang kemudian terjadi di luar cek yang dipercayakan kepada bawahannya. Di tambah tidak ada lagi pernyataan pencairan yang diterima karyawannya.
"Jadi gini, dia (terdakwa Indra) pimpinan bank, jangan stempel, tanda tangan bisa dibuatnya," tegas Arif.
Advertisement
Transaksi Perusahaan Lain
Selama menjadi nasabah prioritas di BJB Pekanbaru, Arif juga membawa nama perusahaan lain setelah menerima kuasa. Ternyata ada juga transaksi atas nama dirinya terhadap perusahaan lain tersebut.
"Pencairan makai cek saya di bank, padahal perusahaan lain itu pencairannya ada yang mengkoordinir, bukan saya," kata Arif.
Arif mengaku akan memberikan keterangan lagi pada sidang berikutnya. Pasalnya, ada banyak transaksi lain yang tidak diketahuinya dan perlu dibuktikan untuk menjerat Indra di pengadilan.
Sebelumnya, kasus ini juga menjerat Tari Dwi Cahya. Dia merupakan teller di BJB dan persidangannya terpisah dengan mantan atasannya, Indra Osmer.
Kejahatan perbankan ini mulai diusut berdasarkan laporan korban Arif pada Januari 2018. Korban curiga ada pencairan cek dari beberapa rekening giro perusahaan miliknya tanpa seizin dan persetujuan dirinya.
Modusnya, sebagaimana dakwaan JPU, terdakwa Tari selaku teller menuliskan dan menirukan tanda tangan korban pada cek atas perintah tersangka Indra Osmer. Selanjutnya menarik uang dari rekening giro tanpa verifikasi diserahkan ke Indra, bukan ke Arif.
Akibat perbuatan kedua terdakwa ini, korban Arif mengalami kerugian sebesar Rp3.200.800.000.
Kasus ini masih dikembangkan Polda Riau meski sudah berjalan di pengadilan. Itu terkait pencarian Rp30 miliar yang memakai nama Arif.