Sukses

Menjaga Kemuliaan Sunan Gunung Jati dari Sekretariat 2 Kasultanan Kanoman Cirebon

Sesepuh Mertasinga mengatakan sudah mempertemukan keluarga Kasultanan Cirebon untuk meluruskan kembali sejarah yang keliru.

Liputan6.com, Cirebon - Kasultanan Kanoman Cirebon meresmikan sekretariat 2 di kawasan Komplek makam Sunan Gunung Jati dalam upaya membuat nyaman para peziarah maupun keluarga besar kasultanan Cirebon.

Patih Kasultanan Kanoman Cirebon Pangeran Patih Raja Muhammad Qoridan mengatakan, pendirian sekretariat 2 sebagai bagian dari upaya menata kembali kegiatan yang ada di komplek Pemakaman Sunan Gunung Jati. Seperti pengangkatan perangkat adat yang ada di Komplek Pemakaman Sunan Gunung Jati.

"Termasuk ziarah dan penataan makam pemeliharaan dan lainnya. Kalau ada keluarga yang ingin dimakamkan tetap izinnya dari Kasultanan Kanoman," ujar dia, Minggu (6/9/2021).

Pada kesempatan tersebut, Patih Qodiran mengatakan, pendirian sekretariat 2 Kasultanan Kanoman Cirebon di Komplek Pemakaman Sunan Gunung Jati untuk mempererat silaturahmi di keluarga Kasultanan Cirebon.

Baik dari Kasultanan Kanoman, Kasepuhan dan sesepuh keluarga Mertasinga Desa Sirnabaya Kabupaten Cirebon. Pendirian sekre, kata Qodiran sebagai upaya menjaga marwah dan kerukunan diantara keluarga Kasultanan Cirebon.

"Fungsinya untuk rembuk kumpulan membahas solusi titik temu menertibkan kondisi yang belum lurus diluruskan. Bukan hanya itu sekre ini juga untuk membuat kekuatan mejaga marwah keturunan Sunan Gunung Jati," ujar dia.

Berdirinya sekretariat 2 Kasultanan Kanoman Cirebon juga sebagai upaya menyatukan kembali keluarga keturunan Sunan Gunung Jati. Menurut dia, para keluarga besar Kasultanan Cirebon keturunan Sunan Gunung Jati harus berperan aktif dalam meluruskan sejarah.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Saksikan video pilihan berikut ini

2 dari 3 halaman

Menjaga Marwah

Sementara itu, terkait polemik perebutan takhta di Keraton Kasepuhan Cirebon menuai tanggapan dari para sesepuh keluarga Mertasinga Desa Sirnabaya Kabupaten Cirebon.

"Jujur saja kami sudah merasa dirugikan karena nama keluarga Mertasinga sudah dicatut terkait jumenengan yang didukung oleh keluarga atau sesepuh Mertasinga. Padahal itu hanya beberapa gelintir orang," ujar salah seorang sesepuh Keluarga Mertasinga Pangeran Basmudin Arkaningrat usai mengikuti peresmian Sekretariat 2 Keraton Kanoman Cirebon di kawasan Komplek Pemakaman Sunan Gunung Jati Cirebon.

Pangeran Basmudin menyebutkan, secara keseluruhan, keluarga Mertasinga bergabung dengan keluarga Kasultanan Cirebon lainnya termasuk Keraton Kanoman.

Bahkan, dia mengatakan perlahan sudah mulai bertemu dan koordinasi dengan keluarga Kasultanan Cirebon untuk meluruskan kembali sejarah yang keliru.

"Termasuk upaya kami semua menjaga marwah atau kemuliaan sinuhun di Kompleks Pemakaman Sunan Gunung Jati ini," ujar dia.

Pangeran Basmudin menjelaskan, berdasarkan pepakem adat, jumenengan atau pelantikan seorang sultan harus dilakukan di dalam keraton. Selain itu harus memenuhi syarat dan kriteria yang sudah ditetapkan adat leluhur terdahulu.

"Kalau jumenengan kemudian itu menyultani siapa? Lah kalau sekarang keluarganya nya tidak setuju, apakah itu sultan menjadi sah?" ujarnya.

Patih Qoridan mengakui ada perubahan tahta pada Keraton Kasepuhan. Polemik tersebut menjadi urusan rumah tangga masing-masing.

Dia mengatakan, keluarga Kesultanan Cirebon yang lain memiliki tanggungjawab untuk meluruskan sejarah. Khususnya keluarga yang masih keturunan langsung Sunan Gunung Jati.

"Ibarat pohon itu ada batang yang besar dan ada ranting. Kami mencoba meluruskan yang batang besarnya bukan ke rantingnya. Jadi yang belum lurus harus diluruskan," ujar Patih Qodiran.

Menurut Patih Qodiran, munculnya dualisme Sultan di Keraton Kasepuhan dianggap sebagai dagelan saja. Sebab, pengukuhan kedua kubu tidak sesuai pakem adat.

Dia menjelaskan, ada kriteria yang harus ditempuh calon sultan sebelum dilantik. Berdasarkan pakem Kasultanan Cirebon, ada beberapa kriteria pelantikan Sultan Cirebon.

"Yaitu anak laki-laki tertua dari garis permaisuri. Kemudian jumenengan harus di singgasana Prabayaksa. Apapun kondisi dan alasannya jumenengan harus di singgasana bukan ditempat lain," papar Patih Qodiran.

Selain itu, Patih Qodiran menjelaskan, prosesi pelantikan sultan harus disaksikan oleh keluarga besar, sesepuh, pangeran dan masyarakat umum. Dalam prosesi pelantikan, harus menggunakan baju kebesaran ala Dodot dengan mengenakan mahkota raja.

Kemudian, yang melantik sultan adalah rama patih atau adik dari sultan sebelumnya.

"Kalau tidak ada rama patih digantikan oleh Ratu Dalem dari permaisuri. Kalau sultan punya lebih dari satu permaisuri maka tetap memilih satu ratu dalem itupun penetapannya disaksikan oleh keluarga untuk menentukan putera mahkota dari anak sultan berikutnya. Kemudian simbol penyerahan pakai puluk," ujar dia.

Menurut dia, pepakem tersebut sudah baku dan berlaku di Kasultanan Cirebon. Karena, menunjukkan eksistensi sebagai pemimpin adat.

Keluarga Kasultanan Cirebon melihat pepakem dan tradisi di Keraton Kasepuhan Cirebon sudah terkikis.

"Karena trah mereka itu 'ranting' bukan lurus dari 'batang'," ujar dia.

 

 

3 dari 3 halaman

Sultan Matangaji

Pustakawan Muda Cirebon, Farihin mengungkapkan, berdasarkan kajian dan naskah yang ada, tahta di Kasepuhan sudah terputus di Sultan Sepuh V Tajul Arifin Muhammad Sapiudin atau dikenal Sultan Matangaji.

Sultan Matangaji, kata dia, merupakan sultan sepuh terakhir yang merupakan trah Sunan Gunung Jati.

"Setelah beliau dibunuh oleh Ki Muda, tidak ada kalimat warisan darinya bahwa tahta selanjutnya harus dilanjutkan ke adik-adiknya," ungkap Farihin.

Diketahui, Adik Sultan Matangaji yang bernama Arya Wetan melanjutkan perjalanan ke Jawa Timur. Arya Wetan memulai cikal bakal berdirinya Ponpes Gontor melalui Ki Sulaeman Jamaludin Gontor.

Dia mengaku, beberapa waktu lalu pihak Ponprs Gontor pernah datang ke Cirebon untuk mengetahui asal usul berdirinya pondok pesantren.

Ia menambahkan, setelah Sultan Matangaji meninggal, yang menjadi sultan berikutnya adalah Ki Muda. Diketahui, sosok Ki Muda merupakan paman Sultan Matangaji.

"Setelah itu sultan sepuh berikutnya hingga sekarang ya bukan trah Sunan Gunung Jati. Sebab, setelah Ki Muda yang berjuluk Sultan Sepuh Hasanudin menjadi Sultan Sepuh VI, kemudian Sultan Sepuh VII dan seterusnya ya bukan trah," ungkapnya.

Dari data dan catatan naskah tersebut, Farihin memastikan pihak yang berpolemik berebut tahta bhkan turunan langsung Sunan Gunung Jati.