Liputan6.com, Bali - "Saat anak-anaknya sakit, Ibu kerap membuatkan kami Bubur Moreng. Aku menyebutnya bubur ajaib, karena setiap habis memakannya badanku terasa lebih baik," kata I Kadek Iwantara, pemilik kedai Bubur Moreng di kawasan Kuta Selatan, Bali.
Moreng merupakan bubur khas Bali tepatnya daerah Bukit Kuta Selatan termasuk Jimbaran. Bubur ini merpakan kuliner warisan leluhur yang hanya dibuat oleh nenek atau ibu saat anak-anaknya dalam kondisi sakit.
Bahan-bahan Bubur Moreng terdiri dari berbagai rempah Bali berkhasiat. Dipadukan dengan sayuran alami seperti daun kelor membuat moreng sangat bermanfaat bagi kesehatan tubuh.
Advertisement
Baca Juga
"Setelah beranjak dewasa barulah aku paham, ternyata khasiat rempah dan daun kelor letak keajaibannya," katanya.
Keputusan untuk mengomersilkan Bubur Moreng, dia dan sang istri, Lisa, ambil sejak Desember 2017. Niat ini didorong oleh keinginan agar khasiatnya yang ajaib itu dapat dirasakan banyak orang. Kebetulan juga belum banyak yang menjualnya.
Daun kelor merupakan the magic tree, karena ragam manfaat kandungannya seperti antioksidan, mengatasi inflamasi, cocok untuk ibu menyusui, mengatur kadar kolesterol, mengatasi diabetes, membuatnya sangat laik dikonsumsi untuk meningkatkan imun tubuh pada masa pandemi seperti saat ini.
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Saksikan juga video pilihan berikut ini:
Keajaiban Base Gede (Mother Souce)
Disadur dari beberapa referensi buku falsafah kebudayaan Bali, dalam kuliner Bali dikenal istilah bumbu base gede, yang merupakan bumbu inti (mother souce) dari konsep keseimbangan kosmos, atau diistilahkan dengan Catur Pata.
Catur Pata terwujud dalam penentuan empat unsur utama dari basa gede alias bumbu inti (mother sauce) tadi. Keempat unsur utama tersebut adalah isen (laos), kunyit (kunir), jae (jahe), dan cekuh (kencur). Keempat bahan inilah yang menjadi "guru" atau pokok dalam pembentukan basa gede.
Keempat unsur utama tersebut dilengkapi dengan tiga unsur tambahan, dua unsur laut, dan satu unsur pengunci. Jika dikaitkan dengan unsur kosmologi, isen (lengkuas) yang berwarna merah mewakili arah selatan dan merupakan Dewa Brahma.
Kunyit (kunir) yang mewakili arah barat dan merupakan representasi dari Dewa Mahadewa. Jahe (hitam) mewakili arah utara merupakan representasi dari Dewa Wisnu. Cekuh (kencur) yang berwarna putih mewakili arah timur dan merupakan representasi dari Dewa Iswara.
Di dalam memadukan keempat unsur utama ini, para empu masak khas Bali tidak menggunakan skala timbangan untuk mengetahui besaran jumlah masing-masing, melainkan dengan jari tangan.
Ada pun pembagiannya, yakni jari tengah untuk isen (lengkuas), telunjuk untuk kunyit (kunir), jari manis untuk jahe, dan kelingking untuk cekuh (kencur).
Setelah mendapat jumlah dari gabungan keempat unsur di atas, setengah dari jumlah gabungan bahan-bahan tersebut merupakan besaran jumlah bawang merah. Setengah dari besaran bawang merah adalah besaran bawang putih yang diperlukan.
Selanjutnya, setengah dari besaran bawang putih merupakan jumlah besaran cabai. Setengah besaran cabai, merupakan jumlah besaran rempah-rempah. Delapan unsur di atas merupakan perwakilan dari gunung, sedangkan garam dan terasi merupakan perwakilan dari laut.
Sehingga ke-10 unsur gabungan tersebut melambangkan pertemuan antara gunung dan laut, maskulin dan feminin. Dengan takaran di atas, ini yang menandakan kuliner Bali begitu kaya rempah, dan bisa diduga rasanya cenderung pedas.
Kemungkinan besar ini sangat dipengaruhi oleh keyakinan Siwa-Buddha yang berorientasi pada Dewa Bairawa yang panas. Dari cerita ini kemudian kita mengenal sebutan Belawa untuk juru masak, yang belakangan berkembang menjadi Be Lawar.
Lalu terjadi salah kaprah, Lawar menjadi sebutan untuk jenis makanannya, bukan pengolahnya.
Advertisement
Kisah di Balik Bubur Moreng Ajaib
Sepuluh tahun lebih berkecimpung di dunia perhotelan, mulai dari pekerja harian di banquet, steward, sampai ke posisi In room dining & Banquet Manager, membuat Iwan ingin melakukan sesuatu yang baru.
Kemudian pada 15 Desember 2017, Iwan dan Lisa memutuskan untuk memulai usaha kecil-kecilan. Diawali dengan keinginan menjaga kelestarian warisan kuliner leluhur dan keberadaan Moreng sebagai panganan khas Bali Selatan ini belum dikenal terbukti dengan masih jarang ditemukan di sekitar daerahnya sendiri.
Perjalanan pun dimulai dari belajar cara pengolahan bubur bersama sang ibunda. Iwan dan Lisa mulai dari menawarkannya ke warung dan pasar pada pagi hari.
"Setiap harinya, kami menyiapkan Bubur Moreng dari jam 4 dini hari," ujarnya.
Berbagai eksperimen dilewati, kegagalan yang terulang tak menyurutkan niat Iwan dan istri. Sekarang, mereka sudah menemukan ritme kerja untuk menjaga kualitas Bubur Moreng buatannya.
Selain Bubur Moreng Bali, mereka mulai mengolah daun kelor menjadi teh daun kelor, bubuk daun kelor, dan mereka berencana membuat masker daun kelor.
"Astungkara hingga hari ini sudah tiga outlet kami buka. Ada di Pasar Taman Griya, Pasar Desa Jimbaran dan Pasar Dekat GWK Bali. Semoga ke depannya Bubur Moreng tersebar di Nusantara," katanya antusias.
Â