Liputan6.com, Aceh - Sebuah perusahan tambang di Desa Suak Puntong, Kecamatan Kuala Pesisir, Kabupaten Nagan Raya, Aceh, diduga melakukan aktivitas tanpa mengantongi izin Analisis Dampak Lingkungan Hidup (Amdal). GeRAK, lembaga antirasuah di daerah itu telah mengumumkan pernyataan tertulis yang isinya mendesak pemerintah setempat mengambil sikap terhadap perusahaan tersebut.
Koordinator GeRAK Aceh Barat, Edy Syahputra mengatakan bahwa perusahaan berinisial PT PBM telah lama mengeruk serta mengangkut pasir di lokasi namun aktivitas tersebut belum mengantongi izin Amdal. Perusahaan tersebut memiliki SK IUP 190 tahun 2012 dengan kode WIUP nomor 3111053032014004 dengan luas 2.024 hektare sejak 15 Febuari 2012 sampai 15 Febuari 2032.
Berdasarkan SK tersebut, wilayah operasi perusahaan berada di Kabupaten Aceh Barat untuk melakukan aktivitas tambang batubara di bawah izin yang dikeluarkan oleh bupati Aceh Barat. Perusahaan diduga mengangkangi PP Nomor 24 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.
Advertisement
Pasal 34 ayat (3) peraturan tersebut mengatur bahwa kegiatan pengolahan yang dilakukan tercakup dalam IUP-OP dan pada dasarnya terdiri atas empat syarat pengajuan. Administratif, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan, dan persyaratan finansial.
"Syarat lingkungan menyebutkan dua hal. Pertama, pernyataan kesanggupan untuk mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Kedua, persetujuan dokumen lingkungan hidup sesuai perundang-undangan," sebut Edy kepada Liputan6.com, Minggu (19/9/2021).
Baru-baru ini, perusahaan mengirim surat pemberitahuan penggunaan jalan desa untuk keperluan logistik dan angkutan batubara tertanggal 3 September 2021 dengan nomor surat 057/IX/PBM/2021 yang ditandatangani oleh direktur PT PBM, kepada kepada Keuchik Gampong Suak Bili, Kecamatan Suka Makmue. Penemuan surat ini dipandang rancu jika melihat izin Amdal yang belum keluar.
"Kami mendesak pihak DLHK dan penegak hukum menelusuri siapa pemilik tanah tersebut serta mencari tahu siapa saja yang terlibat dan harus dibuka ke publik," ujar Edy.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Simak juga video pilihan berikut ini:
Cabut Izin Usaha
Selain itu, GeRAK tingkat provinsi juga pernah melapor kepada kementerian serta mendesak Pemerintah Aceh untuk mencabut dua IUP perusahaan yang beroperasi di Aceh Barat. Selain PT BA, salah satunya adalah PT PBM, di mana keduanya diketahui telah mengantongi izin operasi produksi batubara.
Laporan yang dilakukan oleh GeRAK memiliki beberapa alasan. Pertama, walaupun berstatus operasi produksi, keduanya diduga belum menyampaikan rencana reklamasi serta pasca tambang beserta jaminannya. Ini melanggar UU Minerba serta PP 78 tahun 2010 tentang reklamasi dan pascatambang yang sanksinya adalah pencabutan izin usaha.
"Kedua, dugaan lain, kami temukan ketidakpatuhan kedua perusahaan dalam melaksanakan kewajiban seperti tidak menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), serta Rencana Kerja Tahunan Teknis dan Lingkungan (RKKTL) selama lima tahun terakhir. Ditambah lagi belum menyerahkan laporan triwulan dan tahunan," jelas Edy.
Advertisement
Potensi Kerugian Negara
Terdapat potensi kerugian negara dari kedua perusahaan karena tidak membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) setiap tahun. Untuk 2015 saja, sebut Edy, terdapat tunggakan PT BA sebesar Rp211 juta, sementara PT PBM sebesar Rp267 juta.
"Kami juga mendesak Pemerintah Aceh tidak tinggal diam mengatasi persoalan di lapangan. Hal ini sebagaimana Instruksi Gubernur Aceh Nomor 12/INSTR/2020 Tentang Kewenangan Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara di Aceh," pungkas Edy.
Sebagai informasi tambahan, pada Minggu (19/9/2021), terjadi pemblokiran jalan di Desa Kuta Makmu dan Gunong, Kecamatan Kuala. Jalan yang diblokir selama ini menjadi lintasan truk pengangkut milik PT PBM, juga berkaitan dengan dugaan bahwa perusahaan kurang menyerap tenaga lokal.