Liputan6.com, Jambi - Tatapan mata Ahmad nanar ketika melihat deretan cabai yang ditanam di sebidang lahannya mengering. Anggota kelompok tani Sekato Jaya asal Bukit Rinting, Desa Lubuk Mandarsah, Kabupaten Tebo, Jambi itu, kelimpungan karena tanamannya mati akibat terkena semprot racun oleh perusahaan hutan tanaman industri (HTI).
Ahmad yang ketika itu di lokasi melihat langsung bagaimana perusahaan menerbangkan pesawat tanpa awak (drone) dan menyemprotkan racun herbisida hingga mengenai tanaman produktif lainnya anggota kelompok tani. Perbuatan perusahaan itu terjadi pada awal tahun 2020 atau saat pertama kali pandemi Covid-19 dilaporkan masuk ke Indonesia.
Baca Juga
“Kami tidak mau ribut, tapi sekarang tengoklah, tanaman kami mati, kuning-kuning sampai mati busuk, kemungkinan dosis untuk gulma yang dipakai besar,” kata Ahmad menceritakan tindakan perusahaan yang memberanguskan tanaman mereka.
Advertisement
Apa yang terjadi pada petani kecil seperti Ahmad adalah contoh kecil dari konflik agraria yang terjadi di negeri ini. Hal ini menjadi sebuah sebuah ironi di negeri yang agraris. Alih-alih memberikan kesempatan petani untuk menggarap pertaniannya, pelbagai kriminalisasi masih terjadi, dan malah menggusur lahan pertanian produktif.
Bagi anggota kelompok tani Sekato Jayo di Desa Lubuk Mandarsah, menanam adalah profesi. Mereka bercocok tanam–hasilnya untuk bekal kehidupan sehari-hari. Namun, petani di desa itu belum mendapatkan keadilan. Selain masih berkonflik dengan korporasi besar, lahan garapan petani itu juga belum diakui negara.
Desa Lubuk Mandarsah, berdasarkan hasil kajian yang dilakukan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi merupakan satu di antara ratusan desa yang sampai sekarang mendera konflik agraria dengan perusahaan. Konflik-konflik agraria itu memunculkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berupa kekerasan, baik itu berupa kriminalisasi, intimidasi dari aktor relasi kuasa yang lebih tinggi.
Manajer Kantor Program Pemantauan, Monitoring, dan Evaluasi Walhi Jambi Eko Mulia Utomo mencatat seyogyanya jumlah konflik agraria di Provinsi Jambi mencapai 156 kasus konflik yang sampai sekarang belum terselesaikan. Dari total jumlah kasus konflik ini di antaranya 19 desa, termasuk Kelompok Tani Sekato Jayo di Desa Lubuk Mandarsah menjadi prioritas untuk penyelesaian yang diadvokasi Walhi.
Dari 19 desa yang berkonflik dengan korproasi ini tersebar di Kabupaten Tebo, Muaro Jambi, Batanghari, Tanjung Jabung Barat. Jumlah masyarakat yang berkonflik mencapai sekitar 3.500 kepala keluarga (KK).
Perusahaan pemegang izin konsesi HTI masih mendominasi konflik dengan masyarakat atau mencapai 70 persen, kemudian disusul perkebunan kelapa sawit 20 persen, dan konsesi perusahaan restorasi ekosistem 10 persen.
"Kami mengklasifikasi ada 7 proses pelanggaran yang dilakukan pemegang izin, mulai daripenggusuran lahan pertanian, pembukaan lahan masyarakat, penyeobotan lahan. Ini tentu sangat berdampak kepada petani dan hilangsnya akses wilayah kelola rakyat," kata Eko Mulia Utomo di Jambi, Selasa (28/9/2021).
Dalam pemaparan hasil kajian strategis "urgensi penyelesaian konflik agraria oleh pemerintah daerah dan DPRD Provinsi Jambi" itu Eko bilang, banyak masyarakat yang menggantungkan dari sektor pertanian untuk mencukupi kehidupan.
Faktanya yang terjadi saat ini konflik agraria telah menghilangkan sumber kelola masyarakat. Masyarakat yang tadinya menanam pertanian produktif, namun karena muncul konflik dengan perusahaan masyarakat tani tak produktif dan terpaksa menjadi buruh di perusahaan untuk menyambung kehidupan.
"Seluruh masyarakat di desa yang kita dampingi semua petani, artinya kalau sumber pertanian kehidupan di dalam desa dihilangkan, ini berdampak pada kemisikinan struktural yang itu dibuat oleh negara itu sendiri," kata Eko.
Setelah 61 tahun UU Pokok Agraria diundangkan, ketimpangan struktur agraria dan konflik agraria masih terus terjadi. Hampir seluruh sektor telah terjadi penguasaan secara besar-besaran atas sumber agraria.
Secara nasional, Walhi mencatat penguasaan agraria sebesar 70 persen dikuasai oleh perusahaan kehutanan, 16 persen perusahaan perkebunan, dan 7 persen dikuasai golongan kaya, sementara sisanya dikuasai oleh masyarakat miskin. Dampaknya 10 persen orang kaya telah menguasai 77 persen kekuasaan nasional
Kebijakan pertanian yang tidak pro terhadap petani turut memperparah kemiskinan pedesaan. Catatan Aliansi Petani Indonesia (API) rata-rata terdapat 59 rumah tangga tani yang keluar dari sektor pertanian/jam. Kondisi yang terjadi itu adalah tak bisa dilepaskan dari dampak penguasaan lahan secara-besaran oleh korporasi sehingga berdampak pada konflik agraria yang tak berujung.
"Tapi malah negara dalam hal ini pemerintah masih cenderung menutup mata terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh korporasi untuk menghancurkan tatanan pertanian," ujar Eko.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Mendesak Penyelesaian Konflik Agraria
Sementara itu, masih dalam hasil kajian strategis (policy brief) tentang "urgensi penyelesaian konflik agraria oleh pemerintah daerah dan DPRD Provinsi Jambi" yang susun Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jambi Prof Elita Rahmi dan staf Walhi Jambi itu merekomensaikan beberapa hal untuk penyelesaian konflik agraria di Jambi.
Eko Mulia Utomo yang juga masuk anggota tim kajian mengatakan, ada beberapa peraturan atau dasar yang bisa digunakan pemerintah untuk menyelesaikan konflik agraria. Mulai dari UUD 1945 hingga peraturan setingkat surat edaran pun mengatur penyelesaian konflik tersebut.
"Misalnya dalam Peraturan Pemerintah No.38 tentang Pembagian Urusan Pemerintah, bahwa Pemda juga punya wewenang yang besar untuk penyelesaikan konflik," ujar Eko.
Penyelesaian konflik agraria secara berkeadilan bagi masyarakat menurut Eko, mendesak dilakukan pemangku kebijakan. Secara tidak langsung izin yang diberikan negara kepada korporasi telah menghilangkan akses masyarakat di sekitar desa.
"Desa yang merupakan ruang terkecil untuk mendapatkan sumber-sumber penghidupan itu telah hilang. Tidak ada transpasi yang diberikan perusahaan, pemerintah, dan pemegang izin konsesi," kata Eko.
Pihaknya memberikan beberapa rekomendasi untuk pemerintah dalam menyelesaikan konflik agraria yang terus berlarut itu. Menurutnya, proses penyelesaian konflk harus dibarengi dengan pemberian sanksi terhadap perusahaan yang telah merampah hak atas tanah masyarakat.
Eko mengatakan, rekomendasi itu di antaranya pemerintah daerah harus memberikan sanksi adminisitratif berupa pecabutan izin secara keseluruhan kepada korporasi yang tidak menyelesaikan konflik agraria yang terjadi di areal konsesinya.
"Kemudian DPRD Jambi juga harus melakukan inventarisasi penguasaan areal konflik antara masyarakat dengan perusahaan," kata Eko.
Advertisement
DPRD Bentuk Pansus
Pada akhir Agustus lalu, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jambi membentuk panitia khusus (Pansus) penyelesaian konflik lahan. Pansus yang diketuai oleh Anggota DPRD Jambi Warton Triyankusumo itu telah melakukan rapat bersama mengundang sejumlah non-gorvemental organization (NGO) untuk berkoordinasi penyelesaian konflik agraria.
Pembentukan Pansus tersebut dilatarbelakangi banyaknya aduan masyarakat tentang konflik lahan yang terjadi hampir di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jambi. Sebagaimana diketahui, Jambi merupakan peringkat kedua terbanyak kasus konflik lahan di Indonesia.
Ketua DPRD Jambi Edi Purwanto mengatakan, permasalahan konflik lahan harus dapat diurai dan diselesaikan dengan baik sehingga masyarakat punya kepastian hukum terhadap lahan yang mereka sudah garap. Kemudian di sisi lain korporasi juga akan memiliki batas wilayah yang jelas.
“Jadi baik korporasi maupun rakyat tidak bisa berbuat seenaknya. Korporasi untung, rakyat juga sejahtera,” kata Edi Purwanto dikutip dari situs resmi DPRD Jambi.
Menurut Edi, Pansus yang dibentuk para wakil rakat itu, ingin melihat berapa banyak konflik lahan di Jambi dan sejauh mana penanganannya. Kemudian Pansus juga akan mendalami sejauh mana pengelolaan Hak Guna Usaha (HGU) yang sudah dilakukan oleh perusahaan.
"Misalnya perusahaan dikasih HGU 15 ribu hektar, tapi yang dikerjakan hanya 7 ribu hektar, tentu ini kita tanyakan kenapa, kalau tidak ya dikembalikan ke negara saja," lanjutnya.
Sementara itu, Dewan Daerah Walhi Jambi Ikuten Barus menyambut baik pembentukan Pansus tersebut. Namun, kerja Pansus tersebut harus tetap dikawal untuk segera membuat peta jalan penyelesaian kasus konflik agraria.
"Kami tidak mau Pansus ini hanya menjadi program mereka (DPRD) saja. Tapikami juga mendesak agar Pansus ini untuk segera memanggil perusahaan yang sedang berkonflik," kata Ikuten.
"Kami akan tetap mengawal dan mendesak pemerintah untuk penegakan hukum terhadap perusahaan bermasalah yang telah merampas tanah-tanah masyarakat," sambung Ikuten.