Sukses

Nasib Petani di Pelalawan Usai Diduga Tebang Pohon Milik Perusahaan

Pengadilan Negeri Kabupaten Pelalawan menggelar sidang penebangan pohon akasia PT Persada Karya Sejati dan penggunaan surat palsu oleh Lurah Pelalawan.

Liputan6.com, Pekanbaru - Empat terdakwa penebangan kayu akasia PT Persada Karya Sejati (PKS) dan pemalsuan surat tanah di Kelurahan Pelalawan, Kabupaten Pelalawan, kembali disidang di pengadilan negeri setempat. Jaksa menghadirkan tiga saksi, salah satunya direktur perusahaan tersebut, Dodi.

Adapun empat terdakwa dimaksud adalah Ketua DPW Non Governmental Organization atau NGO Topan AD Wilayah Riau bernama M Iriyansyah, Ketua Umum NGO Topan AD Muara Sianturi, Lurah Pelalawan 2019 Tengku Makhrudin, dan Ketua Kelompok Tani Pelalawan Makmur Abadi, Alimun.

Hampir tiga jam lebih Dodi memberikan keterangan sebagai petinggi PT PKS yang membuat laporan ke Polda Riau pada pertengahan 2020. Pertanyaan bertubi-tubi datang dari kuasa hukum Muara Sianturi, Sarma Silitonga.

Hanya saja, Dodi tidak mampu menjelaskan secara gamblang terkait izin ini. Menurutnya, di perusahaan ada bidang perizinan yang mengetahui tentang status lahan di kelurahan tersebut.

Sarma menanyakan izin perusahaan yang menurut anggota kelompok tani masuk dalam tanah ulayat. Di mana kelompok tani itu berniat mengolah lahan karena sudah lama tidak diolah.

Selain ulayat, alasan lainnya adalah terdakwa Tengku Makhrudin sebagai lurah tidak pernah didatangi menajemen PT PKS untuk memberi tahu ada lahan perusahaan di sana. Lurah, bahkan mengantarkan surat ke PT PKS di Pekanbaru tapi tidak mendapatkan jawaban.

"Terdakwa ini memakai sepeda motor ke sana, mengantarkan surat tapi tidak ada balasan," kata Sarma, Kamis siang, 28 Oktober 2021.

 

*** Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Simak video pilihan berikut ini:

2 dari 4 halaman

Tidak Ada CSR

Saksi Dodi dalam sidang juga mengakui tidak pernah melihat surat dari lurah itu. Dia pun juga tak mendapatkan pemberitahuan dari bawahannya.

"Tidak saya ketahui dan tidak pernah melihat surat itu," ucap Dodi kepada hakim.

Dodi juga mengakui tak ada program CSR kepada masyarakat sekitar. Dia juga mengatakan tidak pernah datang menemui warga sekitar perusahaan.

Berdasarkan laporan dari bawahannya di lokasi, kelompok tani mulai masuk ke lokasi pada Desember 2019. Sempat berhenti tapi berlanjut lagi pada tahun 2020, di mana menurutnya ada alat berat yang dikerahkan.

"Ada 33 hektare yang dibersihkan kelompok tani, mulai ditanam sawit," kata Dodi.

Selain itu, Dodi mengakui tak ada kantor perusahaan di lokasi. Hanya ada pos sekuriti yang menurutnya dijadikan sebagai kantor.

3 dari 4 halaman

Banyak Tidak Sesuai

Sementara itu, Sarma menyatakan kliennya Muara Sianturi keberatan dengan keterangan Dodi. Khususnya soal penebangan pohon akasia pada Desember 2019.

Berdasarkan bukti-bukti yang dimiliki, kliennya dan anggota kelompok tani membersihkan lahan pada 5 Februari 2020. Mereka menolak disebut sebagai perusak lahan perusahaan karena tanah itu diakui warga sebagai miliknya.

Surat pembersihan ini diberitahukan NGO Topan AD ke Polsub Sektor Pelalawan. NGO ini ikut mendampingi kelompok tani karena melakukan advokasi setelah mendapat kuasa dari kelompok tani.

"Keterangan saksi tidak tepat, tidak sesuai dengan data yang kami miliki," tegas Sarma.

Selain itu, Sarma juga menyebut ada beberapa saksi yang dihadirkan ke pengadilan, termasuk sekuriti PT PKS yang menyatakan penebangan pohon akasia terjadi pada Februari 2020.

"Persidangan masih panjang, kami tidak mau menyimpulkan tapi ada indikasi tidak banyak benarnya," tegas Sarma.

Di sisi lain, Sarma menyebut di persidangan ada fakta 200 hektare lahan PT PKS sudah diolah warga sekitar. Hal ini menurutnya menjadi bukti perizinan perusahaan ada yang tidak benar.

Sarma menambahkan, kliennya Muara Sianturi juga keberatan dengan dakwaan jaksa. Pasalnya, tidak ada kalimat yang menyatakan Muara Sianturi merusak atau menebang kayu.

Terkait dakwaan perusakan kayu akasia, Sarma menyebut ada seseorang bernama Armed yang terlibat langsung. Orang ini pernah diminta keterangan tapi kemudian tidak menjadi tersangka.

"Jadi antara dakwaan, fakta sidang, BAP tidak sesuai," kata Sarma.

4 dari 4 halaman

Saran Gugatan Perdata

Terkait kasus ini, Sarma tak menampik adanya kriminalisasi terhadap warga dan kliennya. Hal itu berdasarkan pengamatannya selama sidang karena apa yang diamanatkan KUHP tidak sejalan dengan KUHP.

"Kami sempat praperadilankan Polda Riau, khususnya Subdit II Reserse Kriminal Umum," tegas Sarma.

Sebagai informasi, awalnya NGO Topan AD melakukan advokasi terhadap kelompok tani tersebut. NGO ini mengawal agar warga membuka kebun yang ternyata diklaim oleh PT PKS sebagai miliknya.

Warga berani menggarap karena ada surat keterangan tanah dari Lurah Pelalawan saat itu, Tengku Makhrudin. Surat ini menjadi dasar warga membuka lahan, ditambah lagi tidak ada balasan surat lurah kepada PT PKS terkait keberadaannya di sana.

Warga juga memberitahu Polsub Sektor Pelalawan tentang pembersihan ini. Kelompok tani juga disebut membawa alat berat membersihkan lahan dari Februari 2020.

Belakangan, PT PKS melaporkan NGO dan kelompok tani ke Polda Riau. Ada empat orang menjadi tersangka dengan sangkaan perusakan dan penggunaan surat palsu.

Polisi menyebut surat tanah yang dikeluarkan lurah saat itu tidak sah atau palsu.

Persidangan ini juga mengungkap PT PKS baru mendapatkan izin usaha perkebunan pada tahun 2020. Sementara terkait hak guna usaha, perusahaan menyebut tengah mengurus dan tengah dilakukan pengukuran.

Di sisi lain, HGU ataupun IUP biasanya diperoleh perusahaan bidang perkebunan untuk menanam sawit. Sementara yang dilaporkan oleh PT PKS adalah pohon akasia yang biasa izinnya dari bidang perusahaan hutan tanaman industri.

Terkait keanehan izin oleh PT PKS yang menjadi perdebatan dalam sidang, majelis hakim mendorong NGO dan warga membuat gugatan perdata.

"Kalau izin itu perdata, kemudian terdakwa menyebut pengeluaran izin tidak benar karena ada instruksi Presiden untuk tidak memberikan izin baru, gugat, itu lebih baik," tegas hakim.