Sukses

Kie Art Purbalingga Pentaskan Kesenian Berumur 111 Tahun di Pulau Dewata

Komunitas pegiat seni Kie Art Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga baru-baru ini menampilkan kekayaan seni tradisi lokal di Pulau Dewata

Liputan6.com, Purbalingga - Komunitas pegiat seni Kie Art Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga baru-baru ini menampilkan kekayaan seni tradisi lokal di Pulau Dewata. Satu di antara yang dipentaskan ialah ritual Ujungan yang telah berusia 111 tahun.

Para pemuda didikan Kie Art menampilkan ritual Ujungan dalam bentuk gerak tari yang dikoreografi seorang putra daerah Purbalingga, Desi Indah Fitria. Ujungan yang semula ritus masyarakat agraris untuk memanggil hujan diadaptasi menjadi tarian yang menggambarkan peperangan melawan keangkaramurkaan.

“Ujungan kini adalah untuk menghadapi keangkaramurkaan manusia, rasa iri, dengki yang semakin memuncak hingga datang pandemik untuk membuat kita ingat kepada kebesaran Yang Maha Kuasa,” kata pegiat Kie Art, Yohanna Thomdean.

Pengingat menjadi penting agar umat manusia tak lupa jalan kembali kepada Yang Maha Kuasa. Karena itu, pertunjukan ini mengambil tema “Eling” yang artinya ingat.

Pada pertunjukkan ini, ada seni tradisi lain selain ujungan yang dipentaskan. Pertunjukkan diawali dengan tarian tunggal seorang perempuan Jawa yang menyimbolkan ibu pertiwi yang sedang berduka.

Tarian ini diiringi sulukan jawa dari seorang tetua desa yang didampingi seorang gadis desa berambut panjang. Gadis ini menerjemahkan suluk dalam bahasa Jawa ke dalam puisi berbahasa Indonesia.

“Menjadi sangat unik karena Lagu pengiring tarian tersebut merupakan lagu yang diciptakan khusus oleh pemuda desa, Lintang Kencoro, mahasiswa ISI Surakata yang memperkenalkan karawitan kepada seluruh pemuda desa,” ujar dia.

Pertunjukan berlanjut. Kali ini lampu penerang padam secara tiba tiba. Seorang gadis muncul dalam remang cahaya lentera. Bersamaan dengan itu, narasi mengalun melalui pengeras suara.

Bersihkan jiwa kami hingga kembali menyala kembali. Nyalakan kembali welas asih dihati kami Karena kami ingin sepertiMu untuk menjadi terang dan sangat terang, untuk menebar kebaikanMu Gusti”.

Demikianlah penggalan narasi yang mengalun. Narasi ini mengajak penonton merenungkan wabah yang melanda dan mengingat kembali kebesaran Ilahi.

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

2 dari 2 halaman

Ebeg dan Flash Mob

Dari suasana sunyi yang khidmat, ritme pertunjukkan kembali naik. Kesunyian pecah setelah lagu Eling-eling dimainkan. Muncullah para pemuda seni Rupa Kie Kartun dengan gerakan yang tak beraturan dan diakhiri dengan goresan kuas raksasa di atas kanvas.

Chune, pelukis senior Purbalingga dengan gaya nyentrik memberikan sentuhan akhir dengan tinta emas dan merah yang melambangkan cahaya yang berada dalam diri seorang manusia.

Sejurus kemudian penunggang kuda lumping alias ebeg muncul sebagai ciri khas seni tradisi Banyumasan. Ebeg merupakan warisan budaya adiluhung yang melambangkan spirit kuda yang gagah berani, kuat, tangguh, dan bermartabat.

Pertunjukkan diakhiri flash mob Ujungan. Seorang pemuda seni mengajak seluruh hadirin mengikuti gerakan tarian Ujungan. Ajakan itu mendapat sambutan hangat setiap pengunjung.

Pertunjukkan ini merupakan bagian dari acara Gathering Dua Collective yang diselenggarakan Dua Lighting, penata lampu profesional di Legian, Bali. Acara ini dihadiri 100 pebisnis dari seluruh daerah di Indonesia.

Robby Permana, CEO Dua Lighting menyatakan antusiasme dan respon yang sangat baik dari para tamu. Ia sendiri mengaku terkesan dan memberi sinyal pentas kali ini bukan pentas yang terakhir kali.

“Ini merupakan pertunjukkan perdana yang sangat apik dan bahkan beberapa orang berstatemen untuk merencanakan keliling nusantara,” tuturnya.