Liputan6.com, Bandung - Seorang pria berpakaian jas collar hitam lengkap dengan pin salib yang talinya beruntaian, berdiri tepat di belakang mimbar berkaca yang dihiasi kain berwarna hijau. Kedua tangannya saling berpaut, matanya menyapu ke seluruh ruangan.
Sejurus kemudian ia menundukkan kepala dan memejamkan mata, lantas memimpin ibadah dan mengantarkan doa-doa.
Rahmadi Putra, Pendeta Gereja Kristen Indonesia (GKI) Pasirkoja itu tak sendiri bertugas memimpin kebaktian Minggu. Di depan mimbar bagian kanan, terlihat seorang pria dengan kemeja biru terang dipadu celana katun hitam menggerakkan jari jemarinya.
Advertisement
Mengenakan alat pelindung diri (APD) berbahan plastik transparan di bagian wajah, pria berkepala plontos itu bertugas sebagai juru bahasa isyarat bagi jemaat tunarungu atau tuli.
Hery Yeremia Hermanus, nama pria dengan pelindung muka itu, terus mengarahkan pandangan pada 23 umat yang duduk di depannya. Tugasnya menerjemahkan kalimat demi kalimat yang diucapkan Pendeta Rahmadi Putra menjadi gerak isyarat agar dipahami tuli.
Baca Juga
Tampak para orang-orang yang memiliki keterbatasan dalam pendengaran ini fokus menatap ke arah Hery selama ibadah berlangsung. Mereka bisa mengikuti dengan khidmat ibadah sama seperti orang lain pada umumnya.
Selain Hery, seorang jemaat tuli maju ke depan altar. Serupa dengan yang dilakukan Hery, pria berkemeja putih itu terlihat memberikan gerak isyarat saat kidung pujian dinyanyikan para jemaat.
Syahdan, senyum mengembang dari wajah Jeffry Wijaya, penerjemah disabilitas tunarungu sekaligus Ketua Komisi Tunarungu GKI Pasirkoja. Senyuman ini menjadi ajakan kepada para tunarungu untuk bersukacita bersama.
Para disabilitas tunarungu pun menyanyikan lagu yang mereka persembahkan kepada Tuhan dengan tubuh mereka. Mereka bergerak, setiap liriknya diterjemahkan ke dalam gerakan tubuh dan mereka menari setiap kali bernyanyi.
Meski tidak dapat bernyanyi dengan suara, hal tersebut sama sekali tidak menjadi hambatan untuk mereka bernyanyi dan memuji Tuhan. Jemaat tunarungu bernyanyi bukan dengan mulut tetapi dengan hati dan dengan tubuh mereka.
Dengan raut wajah yang gembira dan senyum yang tulus, mereka mengikuti kebaktian Minggu yang mengambil tema khotbah: 'Ayo Memberi, Jangan Mencuri'.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Simak Video Pilihan di Bawah Ini
Ibadah Tatap Muka Perdana
Minggu (7/11/2021) pagi itu, GKI Pasirkoja yang berada di Jalan Terusan Pasirkoja 57 Bandung, melangsungkan kebaktian Minggu yang digagas Komisi Tunarungu. Ibadah inklusif yang dimulai pukul 10.30 WIB ini untuk pertama kalinya digelar GKI Pasirkoja secara tatap muka setelah lebih dari satu tahun setengah pandemi Covid-19 melanda negeri.
Diperbolehkannya ibadah tatap muka sejalan dengan aturan Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) No 57 Tahun 2021 dan Peraturan Wali Kota Bandung No 103 Tahun 2021. Rumah ibadah dapat mengadakan kegiatan peribadatan berjamaah selama masa penerapan PPKM level dua dengan maksimal 75% kapasitas dengan menerapkan protokol kesehatan secara lebih ketat dan memperhatikan ketentuan teknis dari Kementerian Agama.
Pendamping Komisi Tunarungu GKI Pasirkoja Indrawati mengatakan, sebanyak 23 jemaat disabilitas tunarungu yang mengikuti kegiatan kebaktian Minggu, menginginkan pihak gereja memperbolehkan kembali ibadah tatap muka. Merespons hal itu, pengurus gereja pun akhirnya menyiapkan keperluan seperti penerapan protokol kesehatan.
Selain menyediakan cuci tangan, para pengurus gereja juga menyiapkan tanda jarak bagi para jemaat. Mereka juga tak diperkenankan untuk berkerumun seusai ibadah.
"Kami memang sudah berencana ibadah on site satu bulan sebelum kegiatan hari ini. Setelah dibahas melalui rapat pengurus, diputuskan untuk menggelar ibadah 7 November. Kegiatan sendiri berjalan lancar sesuai rencana," katanya ditemui Liputan6.com seusai ibadah.
Melihat jalannya ibadah tatap muka ini, Komisi Tunarungu GKI Pasirkoja akan menggelar ibadah rutin setiap Minggu untuk pekan selanjutnya. Namun, apabila ada perubahan aturan dari pemerintah, pihak gereja akan mengevaluasi kembali ibadah tatap muka bagi tunarungu.
Sebelum digelarnya ibadah tatap muka, Indrawati menuturkan, pihaknya sudah memastikan jemaat disabilitas tuli untuk mendapatkan vaksin Covid-19. Sejak Juni 2021 lalu, GKI Pasirkoja turut memfasilitasi jemaatnya untuk divaksin. Tidak terkecuali para tunarungu turut difasilitasi vaksinasi.
"Untuk yang ikut ibadah Minggu, kami samakan keharusan bagi mereka agar sudah dapat vaksin dua kali. Kalau baru bepergian dari luar kota, mereka harus menunjukkan hasil antigen," ujarnya.
Indrawati melihat sulitnya jemaat disabilitas tunarungu mengakses ibadah di gereja selama pandemi Covid-19. Hal ini dikarenakan pembatasan kegiatan masyarakat agar tetap di rumah.
Sebelum pandemi, GKI Pasirkoja biasa menggelar ibadah rutin tiap Minggu dengan jumlah kehadiran jemaat disabilitas tuli sebanyak 30-40 orang. Namun, serupa dengan ibadah umum, ibadah khusus untuk disabilitas tunarungu terhenti sejak dikeluarkannya keputusan pemerintah agar semua tempat ibadah ditutup pada Maret 2020.
"Awalnya, kami memutuskan tidak beribadah di gedung gereja. Dan sejak itu kami memiliki masalah sulit menjangkau mereka. Kami akhirnya hanya bisa melawat ke rumah masing-masing jemaat dengan menerapkan social distancing," ungkap Indrawati.
Dalam kunjungan ke rumah jemaat, Komisi Tunarungu melihat kehidupan para anggota mengalami kesulitan dalam ekonomi. Pihak gereja, kata Indrawati, berupaya meringankan beban jemaatnya dengan memberikan sembako.
Tak cukup sampai di situ, jemaat tunarungu yang belum terbiasa dengan ibadah daring acapkali kesulitan jaringan internet, teknologi telepon pintar yang kurang memadai hingga gagap teknologi.
"Hingga pertengahan Juni 2020, kami tidak ada ibadah on site. Akhirnya, pertengahan Juli 2020, kami mengadakan ibadah dengan Zoom tetapi banyak kendala sehingga kami evaluasi lagi dan ibadah virtual dari Zoom diganti ke Youtube. Sejak saat itu mereka kembali bersemangat ibadahnya," tutur Indrawati.
Advertisement
Sukacita Tetap Melimpah di Tengah Wabah
Kembalinya gereja menggelar ibadah tatap muka membuat sukacita Intan Tobing berlipat ganda. Usai ibadah, wanita paruh baya berusia 51 tahun ini membagikan kue yang dibuatnya untuk dibagikan kepada para jemaat.
"Hari ini senang. Sudah lama tidak merasakan ibadah, sangat rindu ke gereja," kata Intan kepada Liputan6.com didampingi seorang penerjemah bernama Ria Elisawati.
Di lorong dekat pintu keluar gereja, Intan membawa kue coklat yang khusus ia bagikan untuk menyambut hari ulang tahun temannya sesama disabilitas tuli, Leni.
"Ini untuk Leni. Dia ulang tahun," ucapnya.
Ibu dua anak ini bersama dengan anggota jemaat tunarungu lainnya sering mengalami masalah mengikuti ibadah daring. Khususnya terkendala jaringan internet.
"Lewat Zoom tidak bisa, sinyal sulit dan gambarnya kecil. Pakai Youtube oke," ucap Intan.
Intan merupakan jemaat disabilitas tunarungu GKI Pasirkoja sejak 2005. Wanita kelahiran Siantar itu sempat kembali ke Sumatera Utara sebelum akhirnya ia dan keluarga menetap di Bandung pada 2008 silam.
Intan bercerita, sebelum 2005 ia bergereja di HKBP. Dirinya mengikuti kebaktian umum dengan orang normal. Setiap kebaktian, Intan hanya bisa pasrah mengikuti rangkaian peribadatan.
"Saya tidak mengerti karena sudah tunarungu dari usia enam tahun. Sampai mau menjelang nikah, saya enggak mengerti isi Alkitab. Sering baca tapi tidak tahu artinya apa," ujarnya.
Singkat cerita, Intan pun tinggal di Bandung. Ia sempat mengikuti gereja yang menggelar ibadah untuk disabilitas tuli. Namun tidak ada yang kontinyu.
"Leni, teman tunarungu saya mengajak ke gereja di GKI. Saya senang, jadi lebih semangat karena khotbah pendetanya mudah mengerti. Suami juga ikut ibadah ke sini," tuturnya.
Menumbuhkan Rasa Percaya Diri
Kaum disabilitas tunarungu Kristen memiliki kebutuhan yang sama dengan orang normal pada umumnya. Mereka membutuhkan eksistensi, relasi dan bertumbuh di dalam pelayanan gereja. Tentulah mereka juga memiliki kebutuhan untuk dapat mengakses Alkitab serta penyampaian firman Tuhan agar hidup mereka berubah lebih baik.
Kaum disabilitas fisik terutama para jemaat tunarungu di gereja memiliki keterbatasan untuk mendapatkan kabar baik tentang Kristus. Namun hal tersebut bisa diterima oleh mereka dengan mengkomunikasikannya melalui bahasa asli mereka yaitu bahasa isyarat.
Ernest Tanumihardja (48), salah seorang juru bahasa isyarat GKI Pasirkoja mengatakan bahwa gereja sudah sepatutnya menyediakan akses bagi mereka yang tuli untuk bisa mendengarkan kabar baik itu.
“Pada 2001, kita melihat adanya kebutuhan dari mereka. Waktu itu mereka datang ke sini awalnya hanya pinjam tempat untuk persekutuan. Setelah lihat dari sana, kita tanya ternyata mereka ada kesulitan dalam beribadah,” katanya.
Ernest mendengarkan keluhan para disabilitas tunarungu yang setiap Minggu ikut ibadah hanya sebatas ikut ke gereja. Tanpa mereka paham apa yang terjadi di dalam ibadah itu.
Melihat kebutuhan itu, pihak gereja akhirnya memfasilitasi para jemaat tunarungu agar bisa mendapatkan akses ibadah seperti halnya orang normal. Sejak 2001, dibentuklah komisi khusus tunarungu di GKI Pasirkoja.
“Butuh proses setahun baru ada komisi tunarungu. Dalam kegiatannya, mereka tidak hanya ibadah tetapi juga membentuk tim paduan suara, dan paduan suaranya ini sering dibawa keluar dari gereja agar mereka bisa melihat dunia luar bisa dan bersosialisasi dengan orang normal,” tutur Ernest.
Ernest bercerita soal dirinya menjadi penerjemah bagi kaum tunarungu. Berawal dari pertemuan dengan segelintir umat tunarungu di gereja, ia belajar secara otodidak menjadi juru bahasa isyarat.
"Saya belajar sendiri. Setiap ketemu mereka langsung saya pelajari dan ada bukunya buat bantu bahasa isyarat. Karena untuk pelatihan bahasa isyarat waktu itu belum ada, jarang sekali," ucapnya.
Ernest mengatakan, ada beberapa beberapa hal yang harus diperhatikan ketika bekerja menjadi penerjemah. Jika ada kata yang asing dan tidak dimengerti, dirinya mengeja kata tersebut.
"Kalau lagi saat pendeta khotbah, ada bahasa isyarat yang harus sesuai dengan padanan katanya. Kadang ada yang ngomongnya cepat jadi saya ambil intisarinya untuk disampaikan," ujarnya.
Untuk melatih paduan suara, Ernest mengaku menekankan jemaat tunarungu dengan gerakan. Keserasian gerak menjadi kunci agar paduan suara tunarungu menjadi harmonis.
"Untuk kita orang normal dalam paduan suara itu kan suaranya harus sama dengan nada, kalau tunarungu gerakannya harus serasi sesuai dengan lirik lagu yang dibawakan," ungkapnya.
Ia menambahkan, juru bahasa isyarat yang melayani di gereja saat ini sudah cukup banyak bertambah. Apalagi saat ini dalam berbagai kesempatan ibadah sudah menyediakan penerjemah bahasa.
"Kalau untuk sekarang gereja sudah mulai terbuka dibanding dulu waktu awal saya bergabung. Saya sendiri merasa senang melihat bahwa gereja sudah membuka diri untuk melayani kaum disabilitas," katanya.
Selama 20 tahun menjadi relawan penerjemah bagi komisi tunarungu di gereja, Ernest mengaku mendapat pelajaran berharga. Wadah yang disediakan gereja kepada mereka yang mengalami masalah pendengaran ini dapat meningkatkan kepercayaan diri masing-masing individu.
"Sekarang mereka di sini ketemu dengan jemaat yang lain tidak ada yang malu lagi. Mereka sekarang lebih terbuka lebih percaya diri untuk berkomunikasi, bertemu dan bahkan mereka bisa belajar berorganisasi terlibat dalam rapat-rapat menyusun rencana untuk komisinya, kegiatan, program, dan anggaran," katanya.
Advertisement
Semangat Kasih Inklusif
GKI Pasirkoja adalah salah satu gereja di Kota Bandung yang mempunyai kebaktian khusus tunarungu. Sejarah perjalanan jemaat GKI Pasirkoja dimulai sejak 69 tahun lalu. Bermula dari pelayanan sekolah minggu yang dirintis oleh GKI Kebonjati di mana persekutuan anak mulai berkegiatan di rumah keluarga Efrajim Kosasih yang berada di Gang Entit, sekitar 700 meter dari lokasi gereja saat ini.
Tak lama kebaktian Minggu yang dilayani oleh jemaat Kebonjati, dimulai di tahun yang sama dengan delapan orang jemaat. Dari jumlah yang kecil itu, jemaat ini pun terus bertumbuh dan berkembang menjadi jemaat GKI di sebelah selatan Kota Bandung.
Meski beberapa kali harus menunggu pendeta yang menjadi penggembala tetap di sini, juga mengalami kendala saat kaum muda kebanyakan tidak lagi tinggal di wilayah dekat gereja, GKI Pasirkoja terus mencoba bertumbuh mengisi kebutuhan masyarakat kota yang modern. Salah satunya dengan memperhatikan kebutuhan khusus pada anak.
Pernah merintis kebaktian khusus untuk anak dengan autisme, pelayanan di GKI Pasirkoja pun berkembang pula untuk menjangkau mereka yang tunarungu. Di tengah segala keterbatasan sarana dan prasarana yang ada GKI Pasirkoja mencoba untuk hadir menjawab kebutuhan.
“Karena kita sadar bahwa kehidupan bergereja tidak lagi eksklusif untuk suku dan golongan tertentu, dari semangat itu kita pun dalam derap pelayanan membuka diri tidak lagi dibatasi siapapun," kata Pendeta GKI Pasirkoja Rahmadi Putra.
Oleh karenanya, GKI Pasirkoja memfasilitasi umat disabilitas tunarungu dalam beribadah serta kegiatan pembinaan iman. Dan bahkan dalam ibadah Minggu pun mereka dilibatkan dengan ibadah umum.
"Terkait dengan Komisi Tunarungu, mereka ini difabel dan mereka juga perlu diterima sebagai bagian gereja bahkan mendapatkan hak yang sama seperti warga gereja non difabel. Tujuannya, kita mau menyadarkan umat GKI punya semangat kasih yang inklusif," ujar Rahmadi.
Selain ibadah Minggu yang inklusif, pembauran antara jemaat umum dengan tunarungu dalam beberapa kesempatan ibadah dilakukan GKI Pasirkoja. Paduan suara disabilitas tunarungu dihadirkan bersama jemaat yang normal.
"Efeknya bagus, mereka juga jadi lebih percaya diri, tidak merasa dibeda-bedakan,” ucap Rahmadi.
Menurut Rahmadi, kasih yang inklusif adalah kasih yang merangkul semua, memberi tempat bagi semua. Kasih yang inklusif tidak mementingkan diri tetapi memberi diri. Dalam kerangka berpikir semacam itulah, GKI Pasirkoja memberikan tempat terhormat kepada disabilitas tunarungu.
“Kita membangun konsep berpikir buat seluruh jemaat bahwa kita berangkat kita dari kasih Allah yang universal. Tuhan menciptakan manusia tidak satu jenis, tidak sama. Artinya, Tuhan memang menyukai perbedaan, kalau Tuhan menyukai perbedan kenapa kita harus membeda-bedakan orang?,” ungkapnya.
“Terkhusus kaum difabel, mereka juga tidak minta dilahirkan begitu. Makanya sikap kita sebagai orang dilahirkan dengan sempurna atau lebih baik seharusnya tidak menutup diri pada mereka,” kata Rahmadi menambahkan.
Dibentuknya Komisi Tunarungu di GKI Pasirkoja, tidak lepas dari pengejawantahan dari kasih yang inklusif. Komisi yang dibentuk sejak 2001 tersebut, setara dengan komisi lain di GKI Pasirkoja seperti komisi anak, remaja, dan pemuda.
“Intinya kita mendukung ketika ada ide yang kreatif untuk mengembangkan mereka, dari dana dan fasilitas gereja yang bisa dipakai. Kita ingin menyetarakan dengan komisi yang lain, ketika mereka punya kegiatan apapun kita dukung,” ucap Rahmadi.
Pun dengan status keanggotaan umat disabilitas tunarungu tidak dibeda-bedakan oleh GKI Pasirkoja. Mereka yang masih berstatus simpatisan tetap diperkenankan mengikuti pelayanan di gereja.
“Memang ada yang merespons baik, mereka yang belum menjadi anggota jemaat mau mengurus ikut katekisasi dan ada yang belum dibaptis. Tapi ada juga yang merasa keanggotaan itu tidak penting, yang penting ibadah rutin. Intinya, kita tetap membuka seluasnya peribadatan disabilitas,” tutur Rahmadi.