Sukses

Merekam Jejak Mataram Islam di Gumelem Banjarnegara

Plh. Bupati Banjarnegara juga meminta seluruh pihak terkait untuk terus memperkuat upaya mitigasi atau pengurangan risiko bencana menyusul peningkatan intensitas curah hujan di wilayah setempat

Liputan6.com, Banjarnegara - Kerajaan Mataram Islam meninggalkan peradaban adiluhung di Kabupaten Banjarnegara. Di Dusun Karang Pace, Desa Gumelem, Kecamatan Susukan, ada tradisi menempa logam menjadi benda pusaka dan beraneka alat pertanian.

Seorang pendidik di SMPN 1 Mandiraja mendokumentasikan tradisi yang berlangsung sejak era Mataram Islam ini dalam bentuk film dokumenter sebagai bagian dari Program Organisasi Penggerak (POP). Film dokumenter ini akan digunakan sebagai media pembelajaran digital untuk para pelajar.

Selama ini, masyarakat lebih mengenal Gumelem sebagai desa pelestari batik. Namun selain batik, Gumelem juga memiliki tradisi padai besi yang diturunkan dari genarasi ke generasi sejak era Mataram Islam.

Sejak era Kademangan Gumelem, seni menempa logam menghasilkan dua jenis karya, keris dan bedema atau alat-alat pertanian. Empu pembuat keris sudah jamak dalam pemahaman publik. Namun empu pembuat bendema terdengar asing.

"Kegiatan ini berjalan beriringan dengan seni pembuatan keris. Jadi, ada dua jenis penempa logam yang ada pada masa itu, yaitu empu pembuat bedama dan empu pembuat keris," kata Sukin, generasi ketujuh dari salah satu pandai besi di Gumelem, Banjarnegara yang masih bertahan.

Alat-alat pertanian di Gumelem menempati posisi yang penting karena masyarakat kala itu kebanyakan adalah petani. Begitu pentingnya, Demang Gumelem sampai bertitah Kademangan Gumelem tak boleh bergantung pada siapapun selain diri sendiri, termasuk pemenuhan peralatan pertanian.

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

 

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

2 dari 3 halaman

Pandai Besi Bedama

Maka terciptalah tradisi pandai besi bedama. Ketika itu empu bedama dan keris berjalan beriringan. Mereka saling membantu satu sama lain dalam menuntaskan pekerjaannya. Jika empu bedama selesai lebih awal, ia membantu empu keris. Begitupun sebaliknya.

“Hampir semua warga Karang Pace bekerja sebagai empu bedama,” ujar empu tertua di Gumelem itu.

Satu di antara bedama yang dihasilkan di yaitu kudi. Kudi merupakan alat semacam golok khas masyarakat Banyumasan.

Kudi memiliki filosofi mendalam bagi masyarakat Gumelem. Makna kudi terurai dari akronim nama kudi sendiri, yaitu “laku sing adi” atau perilaku yang luhur. Selain makna filosofis yang dalam, kudi pun berbentuk unik dengan segudang manfaaat. Dari bentuknya, jika golok memilik sisi datar pada bagian yang tajam, maka kudi memiliki bulatan di bagian pangkal.

Bagian yang rata berfungsi untuk memotong. Ujung kudi yang meruncing berguna untuk mencungkil kelapa dan semacamnya.

Bagian melengkung keluar seperti perut semar berfungsi seperti kapak untuk menebang pohon, membelah kayu atau memotong bambu. Sementara sisi yang tumpul pada punggung kudi bisa digunakan untuk memecah tempurung kelapa dan menggeprek benda lain.

“Harga satu buah kudi bila dijual satuan sekitar Rp125 ribu dan bila dijual per-kodi bisa lebih murah lagi,” kata empu tertua di Gumelem ini.

Dalam menjalankan usahanya, Mbah Sukin dibantu sekitar tiga hingga empat orang pegawai dengan gaji antara Rp70 ribu hingga Rp100 ribu per hari. Mereka bekerja dari pukul 08.00 pagi hingga 16.00 WIB.

Dalam sehari mereka dapat menghasilkan sekitar 25 hingga 30 bedama, mulai dari kudi, arit, pancong dan lain sebagainya. Biasanya ada pengepul yang mengambil ke rumah Sukin yang berasal dari luar daerah.

3 dari 3 halaman

Turun Temurun

Selama menjadi pengrajin Bedama, Sukin tidak memiliki kesulitan berarti baik dari aspek pemasaran maupun mendapatkan bahan baku. Hanya saja, selama menjadi menjalankan usaha tersebut, tidak pernah ada bantuan dari pemerintah untuk memajukan usaha.

Selain itu, ia masih merasa sedih karena tidak semua anaknya berminat meneruskan usaha penempaan logam ini. Dari delapan putranya, hanya Kemis, anak tertuanya, yang konsisten dalam mengikuti jejak sebagai empu.

Kemis meneruskan usaha bapaknya dengan mengawali pekerjaan sebagai asisten. Ia kemudian belajar membuat pisau hingga bedama lain yang lebih rumit.

“Saya tidak punya harapan khusus kepada pemerintah. Misalpun ada, ya bantuan modal,” ucapnya.

Kemis konsisten memilih jalan sebagai pandai besi karena yakin pekerjaan itu sebagai jalan hidupnya. Ia tak mempelajari keterampilan lain selain menempa besi. Keterampilan ini pula yang ia wariskan ke anak-anaknya.

“Sehari-hari daya dibantu anak-anak,” tuturnya.

Kisah empu bedama yang lestari sejak Kerajaan Mataram Islam ini didokumentasikan menjadi film. Guru SMPN 1 Mandiraja Dian Agustin mengungkapkan, ia mengangkat tema ini agar nantinya siswa memahami ada jejak Mataram Islam di daerah tempat tinggalnya.

Selama ini, sejarah mengisahkan Mataram Islam hanya ada di Yogyakarta atau Solo saja. Pemahaman sejarah ini juga diharapkan bisa mengembangkan rasa bangga terhadap kekayaan budaya lokal.

"Juga ada nilai karakter yang ingin kami tanamkan tentang kemandirian. Harapannya setelah film ini jadi dan ditonton siswa, mereka termotivasi untuk berdikari sebagaimana warga Dusun Karang Pace," jelas Dian.

Kepala SMPN 1 Mandiraja Suleman sebagai produser film mengatakan, setelah sekolahnya menjadi sasaran POP, ia semakin bersemangat untuk memperbanyak konten pembelajaran audiovisual di sekolahnya.

"Ini sejalan dengan apa yang sedang saya kembangkan. Kita ingin siswa memiliki literasi digital yang baik dan berkarakter. Karena ini zaman digital, maka pembelajaran kita pun harus menuju ke arah sana," ujar Suleman.