Liputan6.com, Bandung - Ketika membicarakan tongkat, Dian Syarief masih mengingat pengalaman yang membekas ketika terpisah dari pendamping penyandang difabel di Bandara Kualanamu, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, beberapa tahun lalu. Wanita dengan lupus (odapus) serta berpenglihatan terbatas (low vision) seperti Dian, merasakan kesulitan karena harus menjawab pertanyaan yang tak mungkin dijawab.
"Saya sendiri kan low vision. Waktu itu, saya terpisah dari caregiver saya padahal waktu itu sudah mau berangkat. Di situ saya rasakan benar sulitnya harus menjelaskan ketika ditanya 'kamu tuh di mana'," kata Dian saat berbincang dengan Liputan6.com, Kamis (11/11/2021).
Dian atau penyandang lovis manapun sudah tentu merasa dongkol. Tak berhasil ditemukan, Dian waktu itu terpaksa ditinggal oleh penumpang lain.
Advertisement
Namun, pengalaman pahit itu pula yang membuat wanita kelahiran Bandung, 21 Desember 1965 ini melahirkan gagasan untuk mendorong perubahan bagi penyandang lovis maupun tunanetra. Ia ingin agar tunanetra dilengkapi alat yang bisa melacak keberadaan mereka ketika sedang tersesat.
"Prinsipnya harus dibalik, bukan disabilitas netra yang harus menjelaskan lokasi dia berada. Justru dia harus dilacak di mana keberadaannya sehingga bisa ditemukan," cetus peraih penghargaan Sasakawa Health Prize 2012 dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) itu.
Dian menuturkan, gagasannya itu diharapkan agar meningkatkan kesadaran masyarakat atas penyakit lupus dan low vision. "Solusinya bisa dengan dia kontak caregiver melalui emergency button kemudian dia bisa ditemukan dan kalau mengalami disorientasi," ungkapnya.
Seraya mendirikan organisasi untuk membantu sesama penderita lupus dan low vision bernama Syamsi Dhuha Foundation (SDF), Dian memulai mimpinya untuk menciptakan tongkat kekinian bagi disabilitas netra (DN) yang memiliki banyak kelebihan dibanding tongkat biasa.
Lembaga yang didirikan Dian, mengadakan lomba desain alat bantu DN yang diadakan dalam rangka World Sight Day (WSD) pada 2017 lalu. Pemenang lomba pada waktu itu menggagas iStick, sebuah tongkat untuk mendeteksi penghalang yang dilengkapi kamera.
Istick yang dirancang oleh tiga alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) yaitu Elektro Desain Produk & Perminyakan itu, baru dilengkapi dengan sensor untuk pendeteksi penghalang, panas, dan genangan air. Belum ada tombol darurat seperti yang diharapkan Dian.
Adapun lomba yang digagas Dian dan kawan-kawan bukan bertujuan semata memamerkan kecanggihan teknologi. Namun dilihat dari apakah alat yang dihasilkan dari inovasi ini merupakan kebutuhan masyarakat luas atau hanya untuk kalangan tertentu.
"Awalnya, kita pernah bikin lomba desain alat bantu penyandang disabilitas tunanetra. Waktu itu ada beberapa pemenang, yang akhirnya kita putuskan untuk dikembangkan dulu karena kita pikir alat itu yang kita butuhkan," ujarnya.
Dibantu Startup
Pun dewan juri mengungkapkan kriteria penilaian meliputi berbagai aspek yaitu, manfaat produk untuk membantu aktivitas difabel netra, kemudahan, keamanan, kenyamanan saat menggunakan produk, serta bagaimana produk tersebut digunakan secara informatif dan mudah.
"Teknologi sangat berperan penting bagi difabel netra, karena dengan adanya teknologi dapat mempermudah banyak hal, mempermudah kegiatan termasuk mobilitas, membaca, dan seterusnya. Pokoknya dengan adanya teknologi itu sangat membantu," kata difabel netra yang berprofesi sebagai dosen di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Didi Tarsidi.
Selama tiga tahun berlalu, Dian dan tim terus bersemangat menyempurnakan tongkat DN yang digagas dari perlombaan. Tim pengembang SDF yaitu Hardtmann Mekatroniske, yang terdiri dari sekelompok anak muda alumni ITB pengembang alat kesehatan. Tak hanya itu, pengembangan didukung pula oleh tim relawan dari Prodi Desain Produk & Biomedika ITB.
Mereka melakukan serangkaian uji coba beraneka jenis tongkat dan perangkat. Selain itu, mereka mencoba beberapa kali perubahan dengan mempertimbangkan pula hasil uji coba dan masukan para pengguna DN.
Sampai ke tahap yang sekarang ini, tongkat alat bantu disabilitas netra yang dibuat SDF diberi nama Brilliant Cane atau kini disingkat menjadi Bricane.
"Bricane ini mengalami beberapa fase dari awal digagas. Terakhir, pas mau produksi kita kerja sama dengan Hardtmann Mekatroniske untuk mengembangkan alat bantu disabilitas netra ini," tutur Dian.
Simak video pilihan berikut ini:
Dilengkapi Berbagai Sensor
Bricane adalah tongkat pintar yang dirancang untuk individu yang memiliki keterbatasan penglihatan yang digunakan bersama dengan aplikasi seluler. Alat bantu mobilitas difabel netra ini menjadi tongkat putih pertama yang menggunakan sensor ciptaan mahasiswa Indonesia.
Di pasaran, ada beberapa jenis tongkat putih yang dilengkapi sensor buatan India dan Turki. Namun SDF tetap berusaha mengembangkan penelitian dan pengembangan alat bantu low vision dengan dukungan para relawan dan donatur untuk tetap bisa berkreasi hasilkan produk dengan muatan lokal.
Dian Syarief menuturkan, memang lebih mudah mengimpor barang dari India atau Turki. Tapi dia yakin sumber daya manusia Indonesia mampu menciptakan alat yang bisa membantu dan dibutuhkan oleh penyandang disabilitas netra.
"Kalau cuma cari gampangnya, untuk produk dari luar negeri sudah ada dan kita bisa kapan saja pesan. Tapi nanti kita ujung-ujungnya impor dan sama sekali tidak memanfaatkan sumber daya yang ada di sini," ungkapnya.
Mengenai harga tongkat Bricane, Dian mengatakan lebih murah sekitar 45 persen dari tongkat bersensor dari luar negeri, yaitu sekitar Rp3 juta. Harga tongkat ini pun memang jauh lebih mahal ketimbang tongkat putih tanpa sensor.
Namun, harga tersebut sebetulnya untuk membiayai produksi yang tinggi. Selain itu, SDF menjual tongkat SDF untuk subsidi silang pembuatan tongkat bersensor bagi difabel netra yang membutuhkan.
"Kalau dari luar negeri, harga satu unitnya Rp9 juta sedangkan kalau kita bisa bikin sendiri Rp3 juta. Makanya, kita pertimbangkan agar tongkat ini dikembangkan oleh anak-anak Indonesia," tutur eks karyawati kantor bank itu.
Bricane sendiri merupakan tongkat tunanetra kekinian yang dilengkapi dengan aplikasi, sensor untuk mendeteksi halangan, tombol darurat untuk dapat melokalisir keberadaan DN yang disorientasi atau tersesat dan ujung tongkat yang kokoh untuk bertumpu. Hadirnya Bricane jadi alternatif bagi DN untuk memperoleh harga lebih murah 60-70% dari tongkat impor.
Selain sensor pada pegangan tangan, keistimewaan Bricane terletak ujung tongkat yang dibuat dinamis. Ujung tongkat Bricane berbentuk bulat dan membuat penggunanya fleksibel dalam bergerak.
Advertisement
Tingkatkan Kualitas Hidup Penyandang Difabel
Manajer SDF Laila Panchasari mengatakan, saat DN mengalami disorientasi atau tersesat, aplikasi Bricane dilengkapi fitur rekam dan kirim video untuk bantu DN berikan informasi situasi di sekitarnya. Hasil rekaman video otomatis akan terkirim ke pendamping DN yang datanya telah tersimpan di aplikasi.
"DN juga dapat pilih respon sensor yang diinginkannya, bisa getar saja, suara saja atau keduanya," kata Laila.
Laila menuturkan, bahan dasar Bricane hampir sama seperti tongkat putih pada umumnya, yaitu dari besi berbahan ringan dan berwarna putih. Tongkat dengan panjang sekitar 110 centimeter ini dapat dilipat menjadi empat bagian.
Sedangkan, pada bagian pegangan tongkat berbentuk lebih besar karena berisi peranti elektronik tempat menyimpan baterai untuk memfungsikan sensor. Dari sensor yang diletakkan pada bagian pegangan tongkat, dapat mendeteksi benda-benda yang letaknya lebih tinggi dari paha DN.
"Tujuannya untuk menghindari difabel netra terbentur benda yang letaknya lebih tinggi dari ujung tongkat putih karena tidak terdeteksi," ungkap Laila.
Sebanyak 30 unit Bricane membutuhkan waktu sekitar tiga bulan untuk bisa diproduksi. Sebabnya, tongkat ini tidak diproduksi massal, melainkan harus memesan dulu.
"Kita memang masih mengandalkan self funding, mencari dana sendiri karena belum ada bantuan dari pemerintah atau pihak lembaga. Untuk produksi sendiri kita menggandeng Hardtmann Mekatroniske," kata Dian.
Dari ke-30 unit Bricane yang diproduksi, Syamsi Dhuha Foundation (SDF) memberikan secara gratis sebagai apresiasi bagi 20 DN yang tetap berkarya di bidangnya masing-masing. Pemberian Bricane pada 18 Februari 2021 lalu itu merupakan hasil penelitian dan pengembangan selama tiga tahun terakhir.
Bricane senilai total Rp58 juta itu diberikan kepada 20 DN dari berbagai daerah seperti Medan, Lombok, Bali, Makassar, Sidoarjo, Magelang, Purwokerto dan Bandung.
"Ada yang justru kita berikan secara gratis sebagai penghargaan untuk penyandang disabilitas netra yang kita istilahkan, low vision bright passion. Kita cari terlebih dulu disabilitas netra yang bekerja menjadi relawan dan kerja untuk orang banyak karena salah satu kriteria penerima adalah mereka yang mobilitasnya tinggi," tutur Dian.
Dian berharap dapat merealisasikan niatnya membantu memberi dukungan kepada para penyandang low vision, melakukan edukasi publik tentang penyakit ini serta melakukan advokasi untuk menggalang kepedulian pemerintah dan pihak terkait untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan kualitas hidup penyandang lupus dan low vision.
Mengurangi Ketergantungan Impor
Ria, seorang guru honorer SLB yang juga trainer computer for blind, mengaku terbantu dengan mendapatkan Bricane dari SDF. “Saat ini kondisi penglihatan saya semakin menurun, dengan adanya Bricane bisa membantu mobilitas saya,” ungkap Ria.
“Dengan Bricane ini, kita bisa beritahukan lokasi kita berada kepada orang-orang terdekat,” tutur Hani, guru honorer SLB dan wirausaha yang juga penerima Bricane Awards 2021.
Sementara itu kalangan medis juga menyambut baik kehadiran Bricane ini. Salah satunya Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami) Jawa Barat Andika Prahasta.
"Saat ini alat bantu bagi penyandang DN masih banyak didatangkan dari luar negeri. Kami mengapresiasi inisiatif SDF tuk adakan lomba desain alat bantu DN dan kemudian hasilnya dikembangkan menjadi produk yang dapat langsung dimanfaatkan oleh para DN. Semoga upaya ini akan terus berkelanjutan dan dapat mempermudah aktivitas para DN," tutur Andika.
Mencapai Inklusi Melalui Pengembangan Teknologi
Perkembangan teknologi asistif dalam mendukung aksesibilitas diharapkan dapat mengubah disabilitas menjadi inklusi. Perusahaan rintisan seperti Hardtmann Mekatroniske menunjukkan kepedulian mereka tentang isu inklusi melalui fitur-fitur dan aplikasi terkini yang dapat memfasilitasi interaksi orang-orang berkebutuhan khusus dengan teman, keluarga, maupun pendamping.
Hardtmann Mekatroniske adalah perusahaan rintisan health tech yang memprakarsai akses layanan kesehatan jadi lebih terjangkau. Perusahaan rintisan baru ini berhasil masuk ke dalam 12 besar startup yang bersaing di fase Grand Final National Pitching The NextDev Talent Scouting 2020 yang digelar oleh salah satu provider telekomunikasi untuk mewakili kategori Health Tech Innovation.
Galih Nugraha, salah satu pendiri Hardtmann Mekatroniske mengatakan, ada tiga masalah yang dihadapi oleh penyandang difabel netra di Indonesia. Pertama, ketergantungan difabel netra terhadap pendampingnya.
Kedua, kekhawatiran pendamping ketika difabel netra sendirian. Terakhir, ketidakmampuan tongkat konvensional untuk membantu dalam kondisi hilang arah.
“Ketiga masalah tersebut kami coba selesaikan dengan tongkat terintegrasi mobile apps bernama Bricane atau Brilliant Cane, yang memiliki empat fitur utama, yakni desain ringan dan ergonomis, sensor untuk bantu deteksi rintangan, pengiriman pesan darurat, dan mobile apps untuk mengirim video, menelepon pendamping, serta konfigurasi,” tutur Galih.
Startup ini menargetkan tongkat Bricane ke 3,7 juta difabel netra di Indonesia (totally blind) dan 10,8 juta (low vision). Adapun keunggulan dari Bricane ini adalah harganya yang terjangkau dari kompetitor utama.
Tingkatkan Taraf Hidup Disabilitas
Perkembangan teknologi pada era digital mempermudah berbagai aspek dalam kehidupan. Salah satunya dalam pemberdayaan penyandang disabilitas.
Chief Executive Producer Hardtmann Mekatroniske M. Rizka Faisal mengatakan, pada dasarnya, semua kaum disabilitas membutuhkan sebuah teknologi yang dapat membantu mereka beraktivitas dan tidak perlu bergantung kepada orang normal.
"Sebenarnya visi kita ke depan tidak hanya berhenti di Bricane. Sudah ada aplikasi, software dan hardware kenapa enggak mengembangkan hardware lain yang tersistem dengan aplikasi Bricane. Intinya, karena kita terlanjur nyemplung di disabilitas, bagaimana caranya kita bisa meningkatkan taraf hidup disabilitas tunanetra dengan teknologi," kata Faisal.
Faisal menuturkan, teknologi merupakan salah satu pemacu peningkatan taraf hidup manusia yang sangat besar perannya dalam kehidupan. Selain itu, teknologi mempermudah berbagai aspek yang sebelumnya tak terpikirkan, misalnya membuat kacamata baca bagi tunanetra.
"Yang ingin saya tekankan kenapa kita harus melakukan ini adalah untuk perubahan. Siapa yang mau memerhatikan penyandang disabilitas kalau bukan dari kita, dan yang namanya produk alat bantu ini kita tidak mengambil profit di sini," ungkapnya.
Advertisement
Teknologi Kesehatan Berkembang pada Masa Pandemi
Hardtmann diambil dari bahasa Norwegia yang artinya manusia tangguh. Perusahaan rintisan ini berfokus pada peningkatan kualitas taraf hidup manusia melalui penerapan teknologi terkini.
Didirikan 2017 di Salatiga dan diresmikan di Balikpapan, perusahaan ini adalah perwujudan dari passion tiga orang pendiri Hardtmann Mekatroniske, Faisal, Ahmad, dan Wisnu. Dimulai dari perkumpulan hobbyist, didorong oleh passion untuk berinovasi secara terus menerus, mereka terus berupaya menjadi perusahaan yang sukses dan sustain di bidang teknologi industri.
"Dari sekian startup banyak yang bergerak di software. Karena hardware lebih besar risiknya dan modalnya gede. Tapi di situlah tantangannya," tutur Faisal.
Teknologi kesehatan atau health tech, merupakan sebuah konsep teknologi digital pada bidang kesehatan. Layanan teknologi kesehatan memegang peranan yang sangat penting di masa pandemi Covid-19. Bahkan dalam laporan e-Conomy SEA 2020 menyebutkan bahwa pengguna layanan health tech tumbuh empat kali lipat selama pandemi.
Pertumbuhan tersebut membuat investasi untuk kesehatan digital semakin meningkat. Masih dalam laporan yang sama, jumlah investasi di sektor health tech pada semester pertama di 2020 berjumlah 50 investasi dengan nilai USD 22 juta. Angka tersebut naik cukup signifikan dibanding periode yang sama di 2019, di mana hanya ada 45 investasi dengan nilai USD 19 juta.
Teknologi kesehatan adalah domain multi-disiplin yang melibatkan banyak tim penting, termasuk para dokter, peneliti maupun ilmuwan berbagai keahlian bidang kesehatan, teknik, ilmu sosial dan manajemen data. Konsep ini mencakup berbagai program perawatan digital yang berisi informasi serta pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
Faisal menuturkan, pihaknya tidak bisa menuntaskan pekerjaan sebagai perusahaan kesehatan digital sendiri. Untuk itu, Hardtmann selalu berusaha menjalin hubungan baik dengan praktisi-praktisi teknologi, baik komunitas maupun individu, sehingga selalu terbuka peluang untuk menyelesaikan suatu permasalahan.
"Khusus untuk alat bantu disabilitas ini, kita coba arahkan dengan sistem crowdfunding di mana masyarakat bisa berkontribusi. Hasil penggalangan dana bisa dipakai selain untuk produksi, bisa juga untuk membiayai riset. Karena kita yakin produk dan pelayanan di dunia teknologi akan terus berkembang mengikuti zaman," tuturnya.