Sukses

Filosofi Warga Baduy Merawat Alam, Gunung Teu Menang Dilebur...

Hidup berdampingan mesra dengan alam adalah kunci warga baduy menjaga alam.

Liputan6.com, Jakarta - Suku baduy identik dengan alam. Warga baduy memang menjaga dan hidup berdampingan mesra dengan alam. Hutan dan pegunungan di kawasan Baduy di Lebak, Banten masih terjaga alami.

Tak heran Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, jugabanyak pihak lain, mengapresiasi kontribusi wrga baduy dalam merawat alam. "Suku Baduy itu sangat menjaga hutan," kata Erick Thohir dalam acara Penanaman Pohon BUMN Serentak, Jakarta, Minggu (28/11/2021).

Dalam hidup keseharian, warga baduy menggenggam nilai yang selaras dengan alam dan budi pekerti. Beberapa prinsip hidup baduy yang sering disampaikan, sebagai berikut;

"Gunung teu meunang dilebur; Lebak teu meunang diruksak; Pendek teu meunang disambung; Lojong teu meunang dipotong (Gunung tidak boleh dihancurkan; Lebak tak boleh dirusak; Pendek tidak boleh disambung; Panjang tidak boleh dipotong).

Demikian filsafat hidup dalam menjaga alam dan kelestarian lingkungan di wilayah adat Baduy. Selain itu sikap menerima ketetapan dari Tuhan penguasa alam.

Kedekatan dengan alam merasuk dalam kehidupan sehari-hari warga baduy. Salah satunya tercermin dalam pakaian khas baduy. Warna biru pada ikat kepala yang biasa dikenakan warga baduy luar adalah warna pertama yang dihasilkan dari daun-daun kayu.

Warga baduy memang terdiri dari dua kelompok besar yakni baduy dalam dan baduy luar. Keduanya sama-sama hidup secara sederhana dan menyatu dengan alam. Perbedaannya hanya pada penerimaan atas teknologi dan pengaruh dunia luar.

Secara penampilan, suku baduy dalam memakai baju dan ikat kepala serba putih. Sedangkan suku baduy luar memakai pakaian hitam dan ikat kepala berwarna biru.

Masyarakat baduy dalam masih memegang kuat konsep pikukuh (aturan adat yang isi terpentingnya mengenai keapaadaan) secara mutlak dalam kesehariannya, sehingga banyak pantangan yang masih sangat ketat diberlakukan. Sementara masyarakat baduy luar relatif menerima budaya luar secara selektif.

Masyarakat baduy luar atau urang penamping memiliki kelompok besar berjumlah ribuan orang yang menempati puluhan kampung di bagian utara Kanekes seperti daerah Kaduketuk, Cikaju, Gajeboh, Kadukolot, Cisagu, dan lain-lain.

Sementara, pada bagian selatan yang terletak di pedalaman hutan ditempati masyarakat baduy dalam atau urang dangka hanya berpenduduk ratusan jiwa serta tersebar di tiga daerah, yaitu kampong Cibeo, Cikeusik, dan Cikartawana.

 

Saksikan Video Ini

2 dari 2 halaman

Cara Baduy Menjaga Ketahanan Pangan

Persediaan pangan masyarakat baduy melimpah dan belum pernah mengalami krisis pangan. Ketahanan pangan masyarakat ditopang kearifan lokal. Jika musim panen, padi hasil bercocok tanam ladang tidak dijual. Padi itu disimpan di leuit atau rumah pangan untuk persedian kebutuhan pangan keluarga.

Warga baduy mendirikan rumah-rumah pangan lokasinya tidak jauh dengan permukiman. Seluruh rumah pangan itu diisi penuh stok padi huma hingga menampung 10 ton gabah per lumbung.

Masyarakat Baduy tmemiliki ribuan rumah pangan dan belum pernah terjadi kehabisan gabah dari hasil panen padi huma. Selain prinsip penyimpanan itu, warga baduy hingga kini bercocok-tanam dikembangkan di lahan darat karena menanam padi di areal persawahan bertentangan adat mereka.

Masa produksi padi huma bisa dipanen selama enam bulan ke depan karena menggunakan benih lokal. Semua hasil panen padi huma disimpan di rumah pangan sebagai simbol ketahanan pangan keluarga.