Sukses

Cerita Wa Bhia dan Wa Maasi, Perempuan Generasi Ketiga Penenun Sarung Khas Buton

Sarung tenun khas Buton memiliki keunikan dan cara pembuatan yang saat ini sudah diturunkan sejak ratusan tahun lamanya.

Liputan6.com, Kendari - Wa Bia, sedang memutar gantara, alat pemintal benang tradisional khas Buton, di rumahnya di Kelurahan Sulaa, Kecamatan Betoambari Kota Baubau, Selasa (7/12/2021). Wanita berambut putih itu, sudah tampak renta.

Dia mengaku sudah berusia hampir 100 tahun. Namun, ia terlihat kuat duduk sejak pagi menarik dan memundurkan kayu tapua, alat penenun kain sarung.

Dia bercerita, sudah menenun kain sejak berusia 15 tahun. Perempuan dengan 7 orang anak, belasan cucu dan cicit ini mengaku sudah menjadi generasi ketiga penenun kain di desa tempat tinggalnya.

"Saya sudah bekerja menenun kain khas Buton sejak zaman penjajahan Belanda, muai dari subuh sampai sebelum zuhur kemudian mulai lagi setelah zuhur sampai sore," ujarnya.

Wa Bia mengaku sebagai generasi ketiga penenun kain sarung Buton. Almarhumah ibunya, Wa Ode Ifa juga merupakan seorang penenun kain. Kemampuan mendiang ibunya, juga dipelajari dari ibunya yang bernama Wa Ode Irani.

"Setelah nenek saya, saya tidak tahu apakah orangtuanya menenun juga," ujar Wa Bia sambil tertawa, memperlihatkan gusi yang sudah tak lagi memiliki gigi.

Wanita renta ini, memiliki 7 orang anak, enam perempuan dan seorang anak laki-laki. Enam orang anak perempuannya, semua pandai menenun, bekerja membantu suami yang rata-rata bekerja sebagai nelayan.

"Dulu waktu masih remaja dan pertama menenun, kapas untuk benang kami tanam sendiri dan kami pintal sendiri. Sekarang, benang sudah kami beli di pasar," Katanya.

Saat ini, meskipun bahan sudah mudah didapat, banyak generasi muda di kampungnya enggan meneruskan keterampilan menenun. Mereka lebih memilih kegiatan lain di luar jam sekolah dan menyibukkan diri dengan teknologi.

"Kurang sekali yang mau jadi penenun, ya tinggal beberapa orang saja. Rata-rata sudah kawin yang jadi penenun," Ujarnya.

Dia mengaku bisa membuat sarung tenun bhia wolio, katamba mpuu, dan katamba gawu. Tiga jenis sarung ini, kerap dipesan warga di daratan Buton. Bahkan, ada juga turis yang datang dari Jawa dan Sumatera lalu membawa pulang oleh-oleh sarung khas Buton buatannya.

Saksikan juga video pilihan berikut ini:

2 dari 4 halaman

Keunikan Sarung Khas Buton

Wa Bhia menerangkan, dia kerap menjahit tiga jenis utama sarung Buton, yakni, sarung Bhia wolio, katambha gawu, dan bhetano katambha mpuu.

Bhia wolio merupakan sarung yang bisa dipakai pria dan wanita dalam acara keagamaan dan acara sosial. Sedangkan, pada saat acara adat, berbeda jenis sarung untuk perempuan dan laki-laki.

Untuk kain sarung perempuan, disebut bhetano katamba mpuu. Sarung laki-laki memiliki nama katambha gawu.

"Kalau sarung laki-laki, dia ada motif yang membedakan di bagian atas. Ada jahitan berbentuk motif kotak-kotak, kami penenun menyebutnya kepala. Sedangkan sarung untuk perempuan, bagian atasnya yang dipakai hingga menutupi dada, tiada motif dan polos," dia bertutur.

Menurut seorang penenun lainnya, Wa Heni (37), membuat sarung untuk dipakai kaum laki-laki, lebih sulit dibanding wanita. Sarung laki-laki, memiliki motif kotak-kotak pada bagian kepala.

"Jadi, benang dimasukkan dalam alat tenun, tidak seperti biasanya. Mesti bersilang-silang, jadi kalau salah silang, salah motif," terangnya.

3 dari 4 halaman

Lama Sarung Ditenun

Seorang penenun, Wa Ode Maasi (56) menjelaskan, harga sebuah sarung Buton, mulai dari Rp250 ribu hingga Rp500 ribu per lembar. Motifnya berupa garis-garis horizontal yang memanjang ke arah samping saat digunakan.

Wanita yang memiliki 6 anak ini, mengatakan, sudah menenun sejak usia kelas 6 SD. Dia tak mampu menghitung berapa lembar sarung yang sudah dihasilkan sejak dia masih belajar hingga menjadi salah satu pembuat sarung tenun terkenal di kampungnya.

"Kalau masih gadis, lima atau enam hari bisa satu lembar sarung. Malah kalau buru-buru, ada yang bisa sampai 3 hari saja. Sekarang, sudah tua, pinggang sudah sakit-sakit," katanya.

Hari ini, dia paling banyak menyelesaikan dua lembar sarung tenun selama satu bulan. Padahal, pesanan cukup banyak.

Saat kami temui di rumahnya, dia sedang menyelesaikan empat lembar pesanan tetangga. Namun, dia menolak diberi batas waktu.

"Kalau saya mampu buat satu bulan, saya selesaikan dan kasih tahu pemesan dengan baik baik. Kalau tidak, ya saya tidak mau buat buru-buru," ujar Wa Maasi.

Menurutnya, membuat sarung membutuhkan ketelitian dan kesabaran. Sebab, jika tak hati-hati, benang akan putus atau motif yang dihasilkan bakal tidak rapi.

 

4 dari 4 halaman

Minim Generasi Pembuat Sarung

Saat ini, tersisa sekitar 50 orang lebih penenun kain di kampung tenun Kelurahan Sulaa, Kota Baubau. Rata-rata, mereka sudah berusia lanjut dan sudah menikah. Hanya sedikit anak remaja yang mau belajar menenun sarung.

Hal ini diungkapkan Wa Ode Maasi. Sambil bercanda dia menyebut, salah seorang anaknya enggan belajar menenun. Padahal, dia akan memberi upah setiap kali membantu.

"Tapi dia tak mau, banyak alasan, lebih sering main handphone, alasan capek karena sekolah atau alasan mencuci baju kalau hari libur," ujarnya sambil tertawa.

Dia bercerita, anak perempuannya mungkin trauma saat pernah mencoba membuat sarung. Saat itu, dia diminta membantu. Ternyata, kayu tenunnya patah. Sejak saat itu, dia tak mau lagi mencoba membantu membuat sarung.