Sukses

Perjalanan Pendiri Ritel Fesyen Farah Button di Yogyakarta yang Mirip Kisah Sinetron (Bagian 2)

Pendiri ritel fesyen Farah Button di Yogyakarta Suta Mahesa bersama dengan istrinya Farah Irawan mengawali usaha dengan bermodalkan Rp 15 juta.

Liputan6.com, Yogyakarta- Pendiri ritel fesyen Farah Button di Yogyakarta Suta Mahesa bersama dengan istrinya Farah Irawan mengawali usaha dengan bermodalkan Rp 15 juta. Uang itu berasal dari mantan klien Suta saat masih kerja di bidang perhotelan.

Suta berpikir keras apa yang harus dilakukan dengan uang itu sehingga bisa menghasilkan keuntungan. Ia bersama dengan istrinya pun memutuskan untuk ke Jogja City Mall (JCM).

Di tempat itu, ia melihat ada stan pameran fesyen yang masih kosong. Stan itu tidak terlalu mencolok perhatian orang. Ia pun tertarik untuk mencoba peruntungannya di pameran itu.

“Saya tanya ke penyelenggaranya kalau mau ikut pameran syaratnya apa,” ujar Sutardi, nama aslinya, dalam media gathering di Yogyakarta, Selasa (27/12/2021).

Ia menjadi semakin yakin untuk mencoba memutarkan modalnya di pameran ini setelah penyelenggara memberitahu jika uang sewa stan bisa dibayar setelah pameran selesai.

Suta menghubungi temannya yang ada di Jakarta untuk meminta dikirimkan baju bermerek sisa ekspor seperti H&M dan Zara.

Keesokan harinya, berkarung-karung baju itu datang dan langsung mengisi stan pameran. Ia hanya mempunyai dua gawangan dan hanger, padahal untuk standar pameran setidaknya butuh lima sampai enam gawangan yang harganya mencapai Rp 5 juta per unitnya.

Pada hari ketiga pameran, Suta dan Farah kembali merasakan kebaikan orang-orang di sekitarnya. Peserta pameran lain menawarkan meminjamkan gawangan. Alasan orang itu, ada gawangan yang tidak terpakai dan bisa digunakan.

Suta mengiyakan dan keesokan harinya sopir orang itu mengantarkan gawangan.

“Ternyata dia beli gawangan baru untuk saya, saya baru ngeh setelah tahu notanya tertinggal, jadi itu bukan gawangan sisa,” ucapnya.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

2 dari 3 halaman

Dari Pameran ke Pameran

Stan penjualan baju bermerek sisa ekspornya laku keras. Lebih dari 50 persen terjual habis.

Di titik ini, Suta dan istrinya menyadari keuntungan dari berjualan baju di pameran. Mereka berdua pun sudah pindah dari musala pom bensin dan menyewa kamar indekos di daerah belakang JCM.

Masa pameran di JCM akhirnya berakhir. Ia pun diajak penyelenggara untuk kembali ikut pameran di Galeria Mall.

“Saya sudah telanjur indekos di belakang JCM, kalau bolak-balik naik taksi mahal juga, waktu itu ojek online belum booming seperti sekarang,” tutur Suta.

Ia memutuskan untuk beli sepeda. Sepeda itu dipakai berboncengan dengan istrinya sembari membawa barang-barang untuk pameran.

Ia mengayuh sepeda dari indekosnya sampai Galeria Mall selama berjam-jam. Suta yang tidak tahu rute di Yogyakarta memilih untuk mengikuti arah mobil.

“Jadi saya mau ke Galeria Mall itu berputar dulu lewat Malioboro,” Suta mengenang kisahnya.

Yang tidak kalah menggelikan, dalam waktu tiga hari sepedanya rusak dan masuk bengkel. Di bengkel sepeda, ia diberitahu jika sepeda itu tidak bisa dipakai untuk berboncengan dengan membawa beban berlebihan. Solusinya, ia membeli sebuah sepeda baru lagi untuk istrinya.

 

3 dari 3 halaman

Bikin Merek Sendiri

Melihat antusiasme orang-orang berbelanja baju bermerek sisa ekspor, Suta kepikiran untuk membuat merek baju sendiri. Ide itu terlintas beberapa bulan setelah ia hidup dari pameran ke pameran.

“Orang di Yogyakarta ketika itu belum terlalu mengenal merek-merek, jadi kenapa tidak bikin merek sendiri,” kata Suta.

Dari sini kelahiran Farah Button dimuai. Nama Farah Button diambil dari istri Suta, Farah, dan button (bahasa Inggris kancing) yang merupakan simbol fesyen.

Ia mendesain baju-baju Farah Button sendiri dan semula memang diperuntukkan bagi istrinya yang bertubuh mungil..

Suta mulai menawarkan produknya sendiri, selain masih menjual baju bermerek sisa ekspor. Nama Farah Button mulai melejit dan semakin mendominasi pameran-pameran produk fesyen di mal Yogyakarta. Suta mendesain sendiri baju-baju Farah Button dan untuk produk-produk awal, ia bekerja sama dengan penjahit di Solo.

Lewat pameran, roda perekonomian Suta mulai bergerak. Dari stan kecil berukuran 2 x 2,5 meter persegi, ia pernah meraup omzet sampai Rp 90 juta per minggu.

Sayangnya, kisah yang mirip sinetron belum berakhir. Suta dan Farah dicekal dari pameran di mal.

Penjualan stan Farah Button yang melonjak drastis membuat sebagian peserta pameran keberatan dan meminta pihak penyelenggara untuk tidak mengajak Farah Button dalam pameran.

“Ya kami memaklumi akhirnya, penyelenggara juga tidak mau rugi ditinggal banyak peserta pameran hanya untuk satu peserta pameran, kami putuskan buka toko sendiri,” ujar Suta.

Pada 2017, berdirilah toko Farah Button yang pertama di Kledokan.

 

Bagaimana perjalanan Farah Button menguasai seluruh mal di Yogyakarta, bahkan hingga ke Bekasi? Perjalanan Pendiri Ritel Fesyen Farah Button yang Mirip Kisah Sinetron (Bagian 3)