Liputan6.com, Jambi - Suara Adi Ismanto (41) terbata-bata ketika menjawab pertanyaan moderator soal normalisasi sungai kuno di Desa Jambi Tulo, Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi. Mengawali diskusi budaya dengan "kearifan lokal sungai dusun" itu tak banyak yang bisa diutarakannya. Dia hanya bisa meluapkan kemasygulannya.
"Kami sedih," kata Adi Ismanto.
Baca Juga
Kesedihan Adi bukan tanpa sebab. Pengerukan sungai kuno yang dibungkus atas nama proyek normalisasi dinilai bakal menghilangkan budaya kearifan lokal dan tradisi masyarakat lokal.
Advertisement
Warga di Desa Jambi Tulo secara turun temurun telah menggantungkan sungai kuno untuk sumber pencaharian, salah satunya mencari ikan. Warga lokal kata Adi, menyebutnya dengan bahasa batelek.
Tradisi mencari ikan ini dilakukan menggunakan alat tombak kail bermata dua sebagai alat utamanya. Seseorang akan memanjat akar atau vegetasi pohon untuk membidik ikan besar yang bersembunyi di dalam sungai.
Sungai kuno di Jambi Tulo memang memiliki aneka vegetasi rimbun yang banyak ditemui tumbuh di tengah dan di pinggir sungai. Vegetasi itu tumbuh sejak lama. Vegetasi itu menjadi rumah ikan besar seperti toman, gabus, dan jenis beberapa jenis ikan lainnya.
Tradisi batelek sekarang sudah jarang ditemui. Sebab selain hanya generasi tua yang masih melakoni, kondisi sungai yang cepat mengering dan ikan-ikan besar semakin langka. Kondisi ini diperparah dengan normalisasi.
Sekarang setelah sungai dinormalisasi, akar dan vegetasi rimbun yang melintang di permukaan air yang biasanya digunakan untuk batelek itu telah hilang digaruk buldozzer. Belum lagi lubuk dan vegetasi sungai yang menjadi rumah ikan juga ikut tergaruk.
“Kami sedih tradisi batelek akan hilang kalau normalisasi sungai kuno ini masih dilakukan dengan cara yang tidak mengindahkan aspek kearifan lokal,” ujar Adi Ismanto dalam diskusi yang diinisiasi komunitas Gerakan Muaro Jambi Bersakat, Sabtu (1/1/2022).
Program normalisasi sungai kuno yang melewati Desa Jambi Tulo itu selesai dilakukan Oktober tahun lalu. Menurut Adi, cara normalisasi yang dilakukan dengan pengerukan secara masif itu tidak sesuai dengan semangat pelestarian alam dan budaya masyarakat setempat.
“Ketika pohonnya ditebang, warga tidak bisa batelek karena tak ada lagi tempat berpijak untuk mengintai ikan,” ujar Adi.
Termasuk bila normalisasi masih terus berlanjut dan dilakukan dengan cara yang sama, yakni menumbang pohon dan menghilangkan rimbunnya vegetasi, Adi bilang, tak hanya tradisi batelek yang akan hilang. Namun tradisi lainnya seperti mencari ikan di malam hari atau nyolo, nangkul, dan najur perlahan akan ditinggalkan karena kondisi sungai berubah.
“Kalau masih dilakukan dengan cara yang sama ada banyak kearifan lokal yang akan hilang,” ucap Adi.
Selain menumbangkan vegetasi pohon dan akar, Adi bilang normalisasi itu juga telah mengubah bantaran sungai. Tanah sisa pengerukan itu dijadikan tanggul di sepadan sungai sehingga merusak kondisi sungai seperti semula.
“Ada banyak sekali pohon besar di tengah-tengah dan bantaran sungai yang ditumbang. Pohon-pohon itu menjadi habitat anggrek alam,” kata Adi.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Evaluasi
Proyek normalisasi di Jambi Tulo yang selesai Oktober lalu telah menumbang pohon. Di sungai kuno itu terlihat bekas tumbangan pohon berdiameter besar itu masih tersisa. Sementara batang pohonnya tak tersisa entah kemana. Di sisi kiri dan kanan sungai sisa galian ditumpuk menjadi tanggul.
“Ini sekarang kita berada di Sungai Parit Panjang, coba tengok sungai kuno ini sekarang diubah sudah seperti kanal-kanal perusahaan,” kata Adi kepada Liputan6.com, yang ikut menengok sungai kuno di Desa Jambi Tulo pada Rabu 18 Desember 2021.
Jaringan sungai kuno di desa itu terhubung ke kanal-kanal kuno bagian situs Cagar Budaya Nasional Komplek Percandian Muarajambi. Saat melihat normalisasi di Jambi Tulo, Adi menunjukan beberapa serpihan keramik.
Sementara ke arah Desa Baru, kanal kuno yang lebih dulu dinormalisasi sudah mulai ditumbuhi gulma di permukaannya. Rencananya kanal kuno itu akan dijadikan sebagai destinasi wisata yang menghubungkan ke situs Percandian Muarajambi, namun sampai sekarang belum jelas pengelolaannya.
Adi Ismanto dan Gerakan Muaro Jambi Bersakat--sebuah komunitas pelestari anggrek alam dan budaya, beberapa bulan belakang menyoroti normalisasi sungai kuno di Jambi Tulo. Menurut mereka normalisasi yang melewati di desanya dilakukan tanpa melalui kajian.
Adi telah meminta Balai Wilayah Sungai Sumatera (BWSS) VI selaku pemilik proyek normalisasi untuk mengevaluasi cara normalisasi. Pihaknya menyarankan, agar normalisasi itu menggunakan cara-cara yang arif tanpa mengubah bantaran sungai dan menumbangkan vegetasi pepohonan.
“Kami tidak melarang normalisasi, tapi caranya yang harus diubah. Saran kami yang diangkat cuma gulmanyo bae, tanpa mengubah bentuk sungai,” kata Adi.
Advertisement
Tidak Mengetahui Ada Tradisi Kearifan Lokal
Sementara itu, Koordinator Teknik Satker Peningkatan Jaringan Sungai pada Balai Wilayah Sungai Sumatera (BWSS) VI Imam Nurdin mengatakan, awalnya normalisasi itu hanya didesain di sungai Berembang di Desa Dano Lamo sepanjang 10 kilometer dengan anggaran senilai Rp12 miliar.
Namun ketika diukur ulang, terjadi kelebihan anggaran. Akhirnya kelebihan anggaran itu kata Imam, mereka alihkan untuk normalisasi sungai di Jambi Tulo.
“Jadi enggak mungkin anggaran itu dikembalikan, jadi kita adendum dan normalisasi diperpanjang menjadi 13 kilometer sampai ke Jambi Tulo,” kata Imam dalam sebuah diskusi budaya dengan "kearifan lokal sungai dusun" yang dihelat Komunitas Gerakan Muaro Jambi Bersakat.
Normalisasi di Jambi Tulo diakui dilakukan tanpa melalui kajian. Sebab kajian semula hanya untuk Sungai Berembang. Soal normalisasi itu Imam mengaku tidak mengetahui ada kearifan lokal yang terdampak dari normalisasi.
Dirinya berjanji kedepan normalisasi lanjutan akan didesain dengan tanpa mengubur kearifan lokal. Normalisasi yang sudah terjadi lanjut Imam, akan menjadi pembelajaran. Dia sepakat kalau sungai sudah menjadi urat nadi kehidupan masyarakat sehingga kearifan lokal perlu dijaga.
“Kedepan kalau ada lagi (normalisasi) kita pertimbangkan lagi sistemnya. Nanti kita akan satu suara bagaimana konsepnya agar normalisasi ini tidak meninggalkan budaya,” kata Imam seraya menambahkan selama proyek normalisasi kanal kuno itu tidak ditemukan artefak cagar budaya.
Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi Agus Widiatmoko mengatakan, kajian normalisasi kanal kuno yang menjadi bagian tinggalan peradaban dilakukan hanya sampai batas Desa Baru. Sementara normalisasi yang melewati Desa Jambi Tulo, dia mengakui belum melalui kajian.
“Konsentrasi kami hanya di kawasan Cagar Budaya Muarajambi saja. Saya tidak tahu kondisi di sini (Jambi Tulo),” kata Agus.
Agus mengatakan, normalisasi itu mesti dilakukan karena kekhawatiran sungai-sungai kuno itu bisa hilang. Normalisasi itu klaim Agus, bukan sekadar pekerjaan teknis pengerukan saja, namun harus ada pelestarian alamnya.
“Nanti ada hal yang harus diperbaiki sama-sama, kita semakin lama nanti semakin bijak lah,” ujar Agus.
Normalisasi sungai yang sejak lama telah menjadi urat nadi kehidupan masyarakat sebaiknya harus memperhatikan aspek lingkungan dan kearifan lokal. Ketika budaya dan tradisi leluhur yang bergantung pada sungai telah terkubur, lantas siapa lagi nanti yang akan menjaga sungai.