Liputan6.com, Padang - Konflik antara manusia dan satwa liar beberapa waktu terakhir mengalami peningkatan, hal itu ditenggarai karena semakin sempitnya ruang hidup satwa liar, salah satunya harimau sumatra.
Sekretaris Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK, Suharyono mengatakan dirinya tak menampik bahwa manusia butuh ruang untuk memenuhi kebutuhannya seperti permukiman, pembukaan lahan, hingga kebun kelapa sawit.
"Namun hal itu juga merebut ruang main dan ruang hidup satwa liar seperti harimau sumatra," katanya, Kamis (13/1/2022).
Advertisement
Oleh sebab itu, ia menyebut ketika ada konflik antara manusia dan harimau, siapa pun tak bisa serta merta menyalahkan harimau tersebut.
Baca Juga
Namun demikian, lanjutnya, persoalan terus terjadinya konflik antara manusia dan harimau sumatra merupakan pekerjaan rumah bersama mulai dari pemerintah pusat hingga masyarakat.
"Berbicara konservasi itu bukan hanya tugas pemerintah pusat, apapun yang terjadi, yang merasakan masyarakat. Sehingga ini juga tanggungjawab pemerintah daerah, aparat kepolisian, TNI dan masyarakat harus punya komitmen bersama," ujarnya.
Â
Saksikan juga video pilihan berikut ini:
Kearifan Lokal Harimau di Sumbar
Data dari KLHK, pada 2021 terjadi sekitar 40 konflik antara manusia dan harimau di Sumatra, kemudian di Sumbar ada sekitar 16 kasus.
Menurutnya, data itu menunjukkan bahwa Sumbar cenderung lebih kondusif untuk harimau karena memiliki pegunungan yang cukup untuk habitatnya.
"Kemudian juga ada kesadaran dari masyarakat sama-sama masyarakat untuk tidak memburu harimau," jelasnya.
Kondisi ini juga didukung kearifan lokal, seperti penyebutan inyiak. Ini juga bagian dari konservasi, diharapkan ada kesadaran bahwa manusia bukan penduduk tunggal.
"Yang melindungi bukan hanya Sumbar atau pun Indonesia, namaun juga dunia, kalau ada harimau yang mati dan terluka itu hebohnya internasional,"Â ucap Suharyono.
Advertisement