Sukses

Menjaga Kesehatan Mental Pekerja Sistem Remote di Masa Pandemi

Di Indonesia, gangguan kesehatan mental mungkin jadi topik yang belum banyak dibicarakan. Namun bagi pekerja perusahaan rintisan, baik pendiri maupun karyawan pemahaman mengenai kesehatan mental harus mulai dipahami.

Liputan6.com, Bandung - Suatu siang di Ciparay, Kabupaten Bandung, Ojat sang pemilik tambak lele tengah menonton tayangan Youtube di ponsel pintarnya. Berbeda dari petani ikan pada umumnya, Ojat tak lagi pergi ke tambak.

Ia sudah terbiasa melewati siang terik tanpa merasakan kulit tersengat sinar mentari, alih-alih memberi pakan ikan-ikan lelenya. Kebiasaan dulu sudah ia tinggalkan sejak semua pakan ikan ia kendalikan melalui aplikasi di telepon pintar.

Bila sudah tidak ada masalah, Ojat cukup menonton tayangan hiburan di media sosial.

Apa yang dialami Ojat saat ini adalah segelintir kisah yang bisa dirasakan oleh para peternak ikan di era teknologi. Ia telah merasakan manfaat salah satu teknologi yang hadir di peternakan ikan, yakni Efishery Smart Feeder.

Sesuai namanya, teknologi ini membantu para penambak dalam pemberian pakan secara otomatis, akurat, efektif dan efisien. Mereka yang bisa merasakan manfaat teknologi untuk keperluan ternak ikan dengan harga terjangkau saat ini didukung kemajuan teknologi yang terus berkembang pesat.

Dibandingkan dengan cara konvensional, pemeliharaan lele dengan sistem baru ini lebih efektif dan tingkat keberhasilannya lebih maksimal. Selama ini pembenihan dan budidaya ikan lele di kawasan Bandung selatan baru sebatas selingan dari pembudidayaan ikan lele Majalaya.

Seperti Ojat, pembudidaya udang di Subang bernama Carwadi juga mengambil bagian dari budidaya perikanan dengan mengikuti program Efishery Disease Prevention System. Melihat keuntungan penggunaan aqualisan dan bimbingan yang ditawarkan Efishery, Carwadi mulai mengikuti program tersebut sejak awal 2020.

Ia menggunakan Efishery Smart Feeder untuk udang demi meningkatkan efisiensi dan kemudahan pemberian pakan. Penggunaan program ini untuk udang dan aqualisan selama satu siklus berpengaruh positif terhadap hasil panen Carwadi.

Dengan peningkatan Survival Rate (SR) sebanyak 7.72%, hasil panen beliau meningkat sebanyak 10,11%, dengan rata-rata bobot udang 23,16 gr/ekor atau naik sebanyak 1,72 gr/ekor.

Kisah sukses pembudidaya lele dan udang seperti Ojat dan Carwadi tentu tidak lepas dari dampak nyata pendampingan para pekerja perusahaan rintisan atau start up Efishery. Perusahaan yang telah bekerja sama dengan lebih dari 6.000 kelompok pembudidaya di lebih dari 250 kota/kabupaten di seluruh Indonesia.

Berkantor pusat di Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, start up Efishery memang tidak mewajibkan karyawannya yang tersebar di berbagai daerah untuk berkantor. Misalnya saja, petugas point coordinator yang biasa mendampingi langsung para pembudidaya ikan di daerah agar bisa terus mendapatkan fasilitas dan layanan dari perusahaan mereka.

Bekerja jarak jauh juga dilakukan oleh petugas regional coordinator di daerah. Mereka bertugas untuk mengontrol para pekerja di lapangan dan melaporkan hasil produktivitas perikanan yang tersebar di 120 titik kantor cabang dari Sumatera hingga Sulawesi.

Bekerja jarak jauh sebenarnya bukan praktik baru yang dilakukan Efishery. Sebelum masa pandemi Covid-19 pun, para petugas di lapangan yang melakukan pendampingan secara langsung kepada pembudidaya ikan sudah terbiasa bekerja secara remote. Namun, penyebaran Covid-19 yang ganas membuat tren bekerja jarak jauh sudah berlaku permanen.

Terapkan WFA Secara Permanen

Co-founder dan Chief of Staff Efishery Chrisna Aditya mengatakan perusahaannya menerapkan sistem yang disebut dengan work from anywhere (WFA) secara permanen kepada para karyawan. Kebijakan WFA ini sudah diuji coba oleh Efishery sejak awal pandemi 2020.

“Kita punya 120 titik (cabang) di Indonesia namanya Efishery Point. Sampai sejauh ini karyawan masih terkoordinir dengan baik karena ketika mereka bekerja di manapun, tetap bisa berkomunikasi dengan tim di pusat,” kata Chrisna saat ditemui Liputan6.com, Jumat (28/12/2021).

Sejak berdiri 2013 lalu, perusahaan akuakultur ini memiliki lebih dari 900 karyawan. Selain mereka yang bekerja di lapangan, para karyawan di kantor juga diperbolehkan untuk bekerja dari mana saja. Seperti di rumah, kafe, dan berbagai tempat yang dirasa nyaman oleh pekerjanya.

“Untuk absensi, kita sudah ada sistem talentanya. Tapi kita tidak mengikat jam berapa ke jam, fleksibel. Misalnya, ada beberapa tim yang dia baru kerja sore sampai pagi seperti engineer itu ada sementara dia siangnya istirahat,” ujar Chrisna.

Bagi Efishery, efektivitas bekerja dapat diukur dari produktivitas dan output-nya. Dengan situasi bekerja jarak jauh, kedua hal ini terkadang sulit untuk dioptimalkan.

Namun, untuk mengakomodasi kedua hal tersebut, pihaknya memanfaatkan sejumlah aplikasi “ruang kerja” mereka. Mulai dari aplikasi perpesanan instan, hingga rapat secara virtual dengan aplikasi rapat daring.

“Kalau dari kita, selama kita chat, selama kita kontak dan dia merespons. Terus, kita monitor kerjanya dari output-nya seperti apa berarti menandakan mereka sudah bekerja,” ucap Chrisna.

Pemberlakukan sistem kerja jarak jauh ini tidak dilakukan serta merta tanpa mempersiapkan akomodasi yang cukup matang. Saat merekrut karyawan, perusahaan rintisan Efishery memperkenalkan ponsel pintar terutama tim lapangan mereka karena perlu temu tatap muka dengan para mitra.

Chrisna mengatakan, pihaknya mengajarkan penggunaan aplikasi sehari-hari termasuk mengenalkan aplikasi Efishery.

“Jadi, sebelum pandemi kita memang sudah biasa bekerja dari mana saja, cukup fleksibel. Cuma pas pandemi ini lebih membuat kita menyesuaikan dengan situasi karena adanya pembatasan," ujarnya.

Penerapan sistem bekerja jarak jauh ini, menurut Chrisna, juga dilakukan lantaran banyak dari karyawan yang merasa dapat bekerja lebih santai namun tetap produktif karena memiliki work-life balance yang lebih terasa.

“Ketika WFA, karyawan merasa mendapatkan “privilege”. Jadi, ketika mereka datang ke kantor seolah refreshing bisa ngobrol ketemu langsung tetapi di rumah mereka bisa konsentrasi kerjanya,” tuturnya.

2 dari 5 halaman

Cerita Pekerja Jarak Jauh Lainnya

Bekerja di perusahaan rintisan alias start up belakangan jadi primadona. Kebebasan bekerja dari mana saja atau remote menjadi salah satu daya tarik orang bekerja di start up.

Selain suasana kerja yang kubikel dikelilingi tembok, alih-alih ingin tetap fokus kerja dengan sengaja menjauhi gosip dari rekan kantor, bekerja secara remote justru dirasakan lebih fleksibel.

Nur Fidhiah Shabrina, salah satu jurnalis perempuan di sebuah start up media menjelaskan, komunikasi dengan redaktur di kantornya di Jakarta merupakan unsur terpenting yang harus ia jaga ketika bekerja di Bandung. Komunikasi ini membuat kerja dengan rekan sekantor jadi lebih optimal.

"Sejauh ini selalu mengandalkan jaringan internet untuk koordinasi dengan redaktur karena lokasi kantor dan penugasannya beda kota," kata Fidhiah.

Menurut Fidhiah, kebutuhan koneksi internet yang handal untuk berkomunikasi menjadi hal yang krusial. Di luar penugasan harian, setiap minggunya selalu ada rapat virtual dengan seluruh jurnalis di berbagai daerah. Karena itu, koneksi internet yang baik selalu dibutuhkan perempuan berusia 26 tahun ini.

"Internet sangat penting, karena balik lagi, aku kerja mulai dari koordinasi penugasan redaktur dengan wartawan di lapangan mau enggak mau pakai internet, karena kan kita tidak ada ketemu langsung," ujarnya.

Fidhiah berprinsip, tak masalah kerja dari luar, asalkan selalu responsif dan gampang dihubungi atasan. Walau demikian, bekerja sebagai jurnalis secara remote memiliki jam kerja yang "abu-abu".

Bisa dipastikan tidak ada batasan 8 ke 5 ala pekerja kantoran. Adapun kantor tempat Fidhiah bekerja memberi kebebasan bagi tim redaksi untuk bekerja di mana saja, bisa di rumah, kafe, co-working space atau melancong ke tempat yang diinginkan.

"Baru dua bulan kerja remote sejauh ini masih dinikmati sih, entah belum stres karena kerja remote. Lagian kerjaan aku pun bukan yang harus 12 jam diam di kantor, pergi pagi pulang sore, lebih fleksibel. Jadi enggak masalah," tuturnya.

Agak berbeda dengan Mega Dwi Anggraeni (37). Penulis lepas yang bekerja di perusahaan rintisan media ini membolehkan ia untuk kerja remote. Tapi, di luar keseharian kerja, ia bisa mengerjakan proyek lain di luar editorial, yang didapatkan dari kantor lain.

Menurut pandangan Mega, kebebasan yang diberikan dari bekerja jarak jauh dengan status pekerja lepas membuat ia bisa mengambil proyek sampingan. Kuncinya adalah bisa membagi waktu, agar tidak mengganggu performa pekerjaan utama.

"Untuk komunikasi dan apa yang dikerjakan yang penting ada internet. Internet sudah kebutuhan banget, enggak internet sama dengan enggak makan karena enggak bisa kerja," cetusnya.

Selama pandemi, Mega merasa perlu menambah cuan. Namun, mengambil pekerjaan dengan beban yang terlalu berat ternyata memengaruhi kesehatan mental.

Sebagai pekerja remote yang cukup banyak menerima pekerjaan dari berbagai media membuat Mega perlu memilah mana yang lebih mudah dan cepat dikerjakan. Untuk seorang pekerja lepas yang bekerja jarak jauh, pekerja di Bandung ini melindungi diri dengan mengikuti BPJS mandiri.

"Pekerjaan ditambah situasi pandemi bikin overthinking. Aku sempat enggak bisa nerima telepon atau Whatsapp, bunyi notifikasi bikin sesak napas sampai bikin menangis," ujarnya.

Puncak dari beban kerja yang tinggi dirasakan Mega cukup berat. Ia mengaku tidak bisa tidur selama dua minggu sehingga akhirnya memutuskan konsultasi ke psikiater.

"Diagnosanya anxiety (kecemasan), cuma anxiety ternyata dari OCD (Obsessive Compulsive Disorder). Dan dari hasil pemeriksaan aku baru tau kalau aku punya OCD," ucapnya.

3 dari 5 halaman

Stigma Gangguan Kesehatan Mental

Dengan sistem bekerja jarak jauh, para pekerja sebenarnya dapat menentukan kapan, di mana dan berapa lama waktu untuk mengerjakan pekerjaannya sehingga menjadi lebih fleksibel.

Namun, sejak Covid-19 merebak di tanah air, sistem remote yang dinilai efektif untuk mencegah penularan virus ternyata dapat menimbulkan ancaman yang besar terhadap kesehatan dan keselamatan kerja para pekerja.

Hal ini menuai banyak pro dan kontra, karena sebagian bidang pekerjaan memang tidak dapat dilakukan, apalagi belum tentu semua tempat kerja memiliki kesiapan dengan sistem jarak jauh.

Ditinjau dari segi kesehatan dan keselamatan kerja (K3) pada para pekerja, sistem remote juga dapat menyebabkan penyakit akibat kerja, salah satunya menyangkut gangguan kesehatan mental. Dalam beberapa kasus, perusahaan atau institusi tempat kerja justru menambah beban kerja karyawan dan memaksimalkan pengawasan terhadap waktu kerja sehingga para pekerja justru bekerja lebih lama dari semestinya.

Seperti yang dialami Mega, atas nama kreativitas dipacu sedemikian rupa, seorang pekerja bisa mengalami burnout dan bahkan gangguan kesehatan mental. Selain itu, pekerja dituntut mandiri dengan interaksi yang minim, sehingga tidak sedikit pekerja yang merasa stres dan membuat kesehatan mental menjadi menurun.

Pekerja jarak jauh juga berpotensi tidak ergonomis karena ruang kerja dan peralatan kerja memiliki standar yang berbeda dengan standar tempat kerja.

Berdasarkan studi yang dilakukan Michael A. Freeman, M.D dan tim mengenai hubungan antara kewirausahaan dan kesehatan mental, disebutkan bahwa jika para pekerja lapangan sangat rentan terhadap kelelahan fisik. Selain itu, para pekerja kreatif dan pebisnis dihadapkan pada kelelahan mental.

Sementara, menurut American Psychiatric Association (APA), bekerja dengan sistem jarak jauh memperoleh dampak yang lebih buruk daripada sistem bekerja di kantor. Melalui survei penelitian daring terhadap 1.000 pekerja jarak jauh antara 26 Maret dan 5 April 2021, ditemukan adanya satu di antara lima karyawan kantor di mana atasan mereka menawarkan layanan konsultasi kesehatan mental.

Masih menurut survei tersebut, jumlah karyawan yang mengatakan mereka dapat berbicara secara terbuka tentang kesehatan mental dengan rekan kerja ditemukan sebanyak 56% dan supervisor sebesar 56% atau turun dari tahun lalu (masing-masing 65% dan 62%).

Hasil ini menyiratkan bahwa banyak mungkin sistem kerja jarak jauh tidak menjadi lebih baik. Karyawan berjuang untuk mendapatkan perawatan kesehatan mental, dan stigma masih menjadi masalah utama di tempat kerja.

Survei tersebut juga mengemukakan, mayoritas karyawan yang bekerja dari rumah mengaku mengalami dampak kesehatan mental negatif, termasuk isolasi, kesepian dan kesulitan untuk menjauh dari pekerjaan pada akhir pekan.

Meski demikian, sebanyak 54% karyawan melaporkan atasan mereka telah menjadi lebih akomodatif terhadap kebutuhan kesehatan mental mereka sejak awal pandemi sementara 15% mengatakan kurang dan 31% tidak tahu.

 

4 dari 5 halaman

Harus Disikapi Positif

Di Indonesia, gangguan kesehatan mental mungkin jadi topik yang belum banyak dibicarakan. Namun bagi pekerja perusahaan rintisan, baik pendiri maupun karyawan pemahaman mengenai kesehatan mental harus mulai dipahami.

Menurut Chrisna Aditya dari Efishery, tekanan atau stres yang dialami pekerjanya harus disikapi dengan positif. Langkah awal yang dilakukan Efishery adalah membuka konseling. Apabila ada karyawan yang membutuhkan psikolog, Efishery telah menyediakan layanan Efishery Clinic.

“Efishery Clinic ini tujuannya ada dua. Pertama, pengembangan kemampuan karyawan seperti menggelar pelatihan. Kedua, yaitu healing,” ujarnya.

Chrisna menyadari akan pengaruh burnout terhadap karyawan dan juga kinerja perusahaan. Burnout dapat berpengaruh pada performa karyawan yang tentunya akan berdampak pada perusahaan.

“Buat teman-teman yang burnout, yang merasa stres baik yang stres karena pekerjaan atau karena lingkungan eksternal, kita fasilitasi penyembuhan. Kita dengarkan apa masalahnya sampai kita bisa selesaikan masalahnya,” katanya.

Jika ditemukan ada yang bermasalah, human resource (HR) perusahaan sudah punya alur penanganan. Oleh karena itu, Efishery menyediakan hotline yang bisa digunakan karyawan untuk melaporkan bila membutuhkan konseling.

Perusahaan akan memantau apakah terdapat perubahan dari karyawan yang merasakan gangguan mental. Opsi pemulihan bisa jadi memberikan waktu untuk cuti atau bahkan pendampingan langsung ke psikolog.

“Nanti mereka akan mengisi formulir sehingga kita bisa lebih tepat mengarahkan solusinya ke siapa. Ada kaji cepat dari tim dan kita siapkan sesinya untuk bertemu. Karena WFA, kita lakukan secara daring atau tatap muka,” tutur Chrisna.

Chrisna juga selalu mengedukasi leader. Sehingga, HR harus mengedukasi leader dengan tanda-tanda umum masalah kesehatan mental.

Paling penting, perusahaan menggunakan sistem rujukan untuk penanganan kesehatan mental karyawan. Apabila kategorinya sudah butuh penanganan profesional atau psikolog, maka dirujuk ke lembaga psikologi yang sudah bekerjasama dengan perusahaan.

“Saat pandemi Covid-19, kalau ada karyawan yang positif itu kan dia harus isolasi mandiri. Kita berikan pendampingan kepada mereka buat menanyakan kondisinya karena yang bikin mereka lebih stres adalah momen isolasinya. Pikirannya itu bisa merembet kemana-mana, makanya pendampingan perlu agar mereka merasa ada perhatian,” tuturnya.

Selain penerapan WFA, perusahaan rintisan Efishery juga menerapkan Efishery Campus demi meningkatkan kapabilitas dari para karyawannya. Program ini terinspirasi dari berbagai perusahaan teknologi sukses di Silicon Valley.

“Kami membangun Efishery Campus dengan semangat tumbuh bersama untuk meningkatkan empati dari karyawan dalam mengidentifikasi permasalahan yang ada sehingga bisa membangun kompetensi yang dibutuhkan untuk mendukung tercapainya tujuan bisnis perusahaan dalam memberikan dampak yang besar dengan mengembangkan produk-produk secara tepat guna untuk sektor akuakultur dan para pembudidaya," kata Chrisna.

Pada 2022 ini, Efishery mendapatkan pendanaan seri C senilai US$90 juta, yang merupakan pendanaan terbesar di dunia yang diperoleh perusahaan rintisan di bidang teknologi akuakultur. Perusahaan agritech ini juga akan menambah karyawannya hingga 2.000 orang.

Bagi Chrisna, rencana ekspansi ini harus didukung dengan keselamatan dan kesehatan pekerja. Selain kesehatan fisik, kesehatan mental juga dipandang penting karena ketika pekerja ini tidak sehat, otomatis tidak bisa mengerjakan pekerjaannya dengan optimal. 

Selain itu, keamanan di lingkungan kerja juga penting karena menciptakan rasa aman dalam bekerja juga bakal menunjang karyawan lebih optimal untuk menghasilkan produk.

“Pekerja itu bukan sumber daya yang bisa kita eksploitasi sebesar-besarnya untuk hasil yang maksimal, tapi mereka ini manusia yang perlu kita kelola selayaknya manusia. Makanya kita namanya K3 ini penting untuk perusahaan,” ujar Chrisna.

5 dari 5 halaman

Dukungan Kesehatan Mental dalam Kerja Hibrida

Kemunculan varian Covid-19 baru yang menimbulkan berbagai ketidakpastian terkait pandemi mendorong perusahaan-perusahaan di seluruh dunia untuk membuat rencana jangka panjang dan model kerja. Baik bekerja di kantor, remote atau jarak jauh dan teranyar adalah bekerja secara hibrida.

Tidak terkecuali bagi start up, pola kerja di tengah masa transisi ini menurut Entrust dalam penelitian terbarunya yang berjudul “Securing the New Hybrid Workplace”, mengungkap bahwa mayoritas pemimpin bisnis (64%) dan karyawan (54%) secara global mengatakan bahwa perusahaan mereka saat ini menggunakan model kerja hibrida.

Bahkan, 89% pemimpin bisnis dan 87% karyawan mengaku yakin dengan keamanan data perusahaan saat bekerja di luar kantor. Namun, saat mereka bekerja di kantor, 77% pemimpin bisnis dan 93% karyawan secara global setuju bahwa penting bagi perusahaan untuk memiliki sebuah sistem yang mencatat dan melacak pengunjung yang keluar-masuk gedung saat karyawan bekerja di kantor.

Keamanan data saat ini, menurut laporan Entrust, menjadi prioritas bagi mayoritas pemimpin bisnis, sehingga 81% mengatakan perusahaan mereka sudah menawarkan pelatihan keamanan data untuk para karyawan. Namun hanya 61% karyawan mengatakan perusahaan mereka menawarkan pelatihan tersebut, yang bisa menjadi indikasi ada kesenjangan dalam komunikasi.

Dalam penelitian ini Entrust melakukan survei terhadap 1.500 pemimpin bisnis dan 1.500 karyawan di Amerika Serikat, Inggris, Australia, Jerman, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Indonesia, Jepang dan Singapura. Responden dari Indonesia meliputi 150 pemimpin bisnis dan 150 karyawan.

Survei ini digelar untuk lebih memahami bagaimana pekerja dari level manajer hingga ke jajaran direksi menyiapkan ruang kerja berbasis hibrida. Temuan-temuan utama dari penelitian ini di Indonesia, mayoritas pemimpin bisnis (82%) mengatakan perusahaan mereka menggunakan model hibrida dan 65% karyawan setuju akan hal ini.

Sebanyak 53% karyawan di Indonesia melaporkan sebanyak enam contoh kehilangan produktivitas yang hilang ketika bekerja secara hibrida, namun para pemimpin perusahaan menyebut kebocoran data penting perusahaan (35%), keamanan internet rumah (19%), dan serangan siber (19%) sebagai tantangan keamanan terbesar mereka.

Survei selanjutnya datang McKinsey. Kerja hibrida memiliki persentase tertinggi. Sebanyak 40% pekerja memilih hibrida, 21-50% ke kantor dan sisanya remote.

Kemudian, 40% pekerja berikutnya memilih 51-80% ke kantor dan sisanya remote. Secara garis besar, banyak pekerja yang ingin hibrida.

Model kerja hibrida yang menggabungkan sistem kerja gabungan kantor dan remote dianggap lebih fleksibel. Hal tersebut diungkapkan psikolog Ikhsan Bella Persada seperti dikutip dari laman Klikdokter.

Menurut Ikhsan, model kerja ini memberikan kebebasan dan keleluasaan bagi karyawan untuk bekerja di mana saja.

“Hal ini agak berbeda dengan konsep work from home (WFH) yang membuat pegawainya untuk terus bekerja di rumah. Metode ini tidak membuat Anda terus-menerus kerja di rumah, tetapi tidak selalu di kantor juga,” ujarnya. 

Lebih jauh Ikhsan menjelaskan, penggabungan aspek sosial yang didapatkan di tempat kerja dengan fleksibilitas kerja jarak jauh akan memberikan efek yang baik terhadap karyawan. 

“Bisa saja bekerja di kafe atau lokasi lain yang menurut Anda nyaman dan koneksinya stabil. Ada juga yang akhirnya tidak membatasi jam kerja dari jam 9 pagi sampai 5 sore,” katanya

Kendati kerja hibrida terasa lebih bebas dan “kurang diatur”, peran human resource department (HRD) tetap penting di sini. Karena itu, harus ada banyak syarat dan kebijakan baru yang mesti dirancang agar kerja jarak jauh ini bisa terjadi secara lancar tanpa merugikan perusahaan dan pegawai.

Di sisi lain, kerja hibrida di masa Covid-19 membawa efek positif untuk kesehatan mental para karyawan. Adapun manfaat yang bisa dirasakan, antara lain, meningkatkan produktivitas kerja, menurunkan stres dan konflik pegawai, meningkatkan kreativitas, serta menjadi solusi saat rumah tidak sepenuhnya nyaman untuk kerja.

Memasuki 2022, semua mulai kembali perlahan-lahan namun pasti kembali ke normal. Vaksin sudah mulai berjalan, semua sudah mulai kembali masuk kerja dengan mengikuti protokol kesehatan.

Dukungan terhadap karyawan di perusahaan secara lebih efektif dalam kehidupan pribadi mereka dan dengan kesejahteraan emosional mereka memungkinkan pekerja untuk tidak hanya memiliki kehidupan yang lebih baik, tetapi juga untuk bekerja di tingkat yang lebih tinggi. 

Perusahaan yang berpikiran maju akan terus berupaya menghilangkan stigma terhadap kesehatan mental dengan memperluas manfaat dan membangun kesadaran di seluruh angkatan kerja tentang masalah kritis ini.