Liputan6.com, Aceh - Lembaga nonpemerintah di Aceh mengajukan gugatan praperadilan terhadap ketetapan penghentian penyidikan yang dilakukan oleh Polres Pidie Jaya atas kasus dugaan pemerkosaan yang menimpa seorang anak di bawah umur. Tindakan ini dianggap sebagai jalan agar korban dugaan pemerkosaan yang dilakukan mantan ayah tiri itu mendapat keadilan.
Berdasarkan salinan kronologis yang diterima oleh Liputan6.com, dugaan pemerkosaan tersebut terjadi pertama kali saat korban masih di bangku sekolah dasar (kelas V) sementara terduga pelaku berstatus ayah tiri yang menikah dengan ibu korban sejak korban berada di jenjang pendidikan taman kanak-kanak. Pemerkosaan itu terjadi setelah korban dan ibunya pindah ke rumah terduga pelaku.
Baca Juga
Diceritakan bahwa korban sedang tidur-tiduran dengan saudara tirinya di ruang tamu sepulang dari sekolah saat dirinya diduga diperkosa pertama kali. Setelah peristiwa itu, terduga pelaku mulai sering keluar masuk kamar korban ketika korban hendak tidur dengan dalih mau memadamkan lampu.
Advertisement
Korban sempat memohon kepada ibunya agar ia dipindahkan ke sekolah lain yang berdekatan dengan rumah neneknya sampai suatu hari permintaan itu pun akhirnya dikabulkan. Sebenarnya, waktu itu korban cuma ingin menjauh dari terduga pelaku karena waswas bahwa terduga pelaku akan terus menyatroninya jika ia tetap tinggal di rumah tersebut.
Sempat aman dari pelaku hingga memasuki kelas 3 sekolah menengah pertama, peristiwa yang sama pun kembali menimpanya. Waktu itu baru saja terjadi gempa dahsyat di Pidie Jaya, karena itu, korban harus pulang ke rumah serta menginap selama 2 minggu lamanya di sana.
Mimpi buruk itu terjadi pada hari ketiga korban tinggal di sana. Korban sempat melawan bahkan berteriak minta tolong kepada ibunya sampai akhirnya diancam oleh pelaku untuk tutup mulut atau dirinya akan dibunuh.
Setelah itu, korban tidak ingin lagi pergi ke sekolah. Ia mengalami rasa sakit di perut serta di bagian bawah perutnya. Korban pun juga mulai sering melamun.
Namun, belum berhenti sampai di situ. Terduga pelaku masih berkali-kali menyatroni serta memperkosanya hingga ibu korban mengajukan gugatan cerai kepada ayah tirinya pada 2020.
Gugatan cerai tersebut diakui tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan pemerkosaan yang dialami korban. Saat itu, ibu korban mengaku bahwa ia sering cekcok dengan sang suami, dan pada saat yang sama, dirinya juga kurang senang dengan kebiasaan suaminya yang diduga suka mengonsumsi sabu.
Selama proses perceraian berlangsung, terduga pelaku diduga juga sempat melakukan kekerasan dengan cara memaksa ibu korban dan korban, yang saat itu tidak serumah lagi dengan terduga pelaku, untuk kembali ke rumahnya. Setelah korban berani menceritakan apa yang telah dialaminya kepada sang bibi, kasus ini pun dilaporkan kepada polisi pada 14 September 2020.
Sempat didampingi oleh dinas terkait, YLBHI-LBH Banda Aceh akhirnya mengambil alih kuasa atas kasus ini pada Desember 2020. Namun, kasus ini tidak pernah sampai ke pengadilan karena dihentikan di tahap penyidikan berdasarkan S.Tap/03.a/III/Res.1.24./2021/Reskrim—saat itu korban telah berusia 17 tahun. Alasan polisi, perkara belum memenuhi unsur pasal seperti yang disangkakan kepada tersangka.
Simak video pilihan berikut ini:
SP3 Tanpa Dasar
YLBHI-LBH Banda Aceh pun memutuskan untuk mempraperadilankan ketetapan penghentian penyidikan yang dilakukan oleh Polres Pidie Jaya tersebut. Praperadilan diajukan ke PN Meuruedu pada 2 Februari 2022, dan diterima serta dijadwalkan akan digelar untuk pertama kali pada Senin (7/2/2022).
Kepala Operasional YLBHI-LBH Banda Aceh, M Qudrar Husni Putra, mengatakan bahwa ketetapan penghentian penyidikan yang dikeluarkan oleh kepolisian di resor Pijay itu tidak logis. Menurutnya, alasan polisi tidak sesuai dengan Pasal 109 ayat 2 KUHAP.
Pasal tersebut mengatur tentang tiga hal yang menjadi alasan penyidik dalam mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Yakni, tidak diperoleh bukti yang cukup; peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana; dan penghentian penyidikan demi hukum.
"Yang ketiga itu ne bis in idem, yaitu sudah pernah dihukum, tersangkanya meninggal dunia, satu lagi karena perkaranya kedaluwarsa," sebut Qudrat, kepada Liputan6.com, Kamis sore (3/2/2022).
Adapun alasan polisi menghentikan penyidikan karena tidak terpenuhinya unsur pasal sama sekali tidak tertera di antara 3 alasan tersebut. Dengan kata lain, sampai saat ini tidak diketahui polisi sebenarnya berada di atas dasar hukum yang mana dan apa dasar dalam mengeluarkan SP3 kasus tersebut.
"Penyelidikan itu fungsi untuk menentukan apakah suatu laporan merupakan peristiwa pidana atau bukan. Ketika disimpulkan oleh polisi itu bukan peristiwa pidana, maka tidak ditingkatkan ke penyidikan, tapi ketika polisi menyimpulkan ya, maka akan ditingkatkan ke penyidikan," ujarnya.
Kasus dugaan pemerkosaan ini sendiri telah melewati tahap penyelidikan, artinya, kepolisian sepakat bahwa kasus ini merupakan peristiwa pidana. Sementara itu, pada tahap penyidikan polisi seharusnya bertindak untuk menemukan alat bukti serta pelaku bukan malah berkutat kembali di antara pilihan apakah kasus tersebut merupakan tindak pidana atau bukan.
"Kan itu sudah dilakukan di tahap penyelidikan?" ketus dia.
Advertisement
Yakin
Ada beberapa hal yang membuat YLBHI-LBH Banda Aceh yakin untuk memprapradilankan penghentian penyidikan yang dikeluarkan oleh Polres Pidie Jaya. Pertama, sebut Qudrat, adanya hasil visum et repertum oleh pihak RSUD Pidie Jaya pada September 2020 yang menyatakan bahwa korban memang pernah disetubuhi.
"Artinya, peristiwa pidana itu ada. Polisi selanjutnya harus mengumpulkan alat bukti dan menemukan pelakunya. Kan ada dua keyworda-nya, yaitu alat bukti dan pelaku. Mengenai pelakunya, itu terlapor itu awalnya sudah dijadikan tersangka," terang dia.
Dalam menetapkan status tersangka, polisi memiliki minimal dua alat bukti permulaan. Dengan ditetapkannya terduga pelaku sebagai tersangka, maka secara otomatis polisi telah mengantongi bukti permulaan tersebut.
Untuk alat bukti, polisi juga sudah memiliki alat bukti minimal, yakni surat visum dan para saksi. Saksi yang dimaksud, sebut Qudrat, ada tiga, yaitu, korban, ibu korban, dan abang korban.
"Sebenarnya ada satu alat bukti lagi, yaitu alat bukti petunjuk. Akan tetapi, berhubung alat bukti petunjuk merupakan kewenangan hakim, masalahnya sekarang, kasus ini sampai sekarang belum masuk ke meja hakim," jelas Qudrat.
Dengan mengacu pada hal tersebut, terduga pelaku harusnya sudah dimejahijaukan. Andai saja itu terjadi, dan pada saat itu hakim yakin berdasarkan alat bukti petunjuk yang ada, boleh jadi terduga pelaku telah mendekam di dalam penjara saat ini.
"Kalau hakim tidak yakin, ya, dibebaskan. Yang jangan si polisi, belum diajukan ke hakim sudah bilang tidak memenuhi unsur," kata Qudrat.
Bedah SP3
Untuk diketahui, pasal yang disangkakan terhadap terduga pelaku adalah pasal 76D UU Perlindungan Anak. Bunyinya, setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Ancaman hukumannya mulai dari 5 sampai 15 tahun penjara atau denda paling banyak Rp 5 miliar. Jika pelaku adalah orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, atau residivis, maka pidananya dapat ditambah sepertiga dari ancaman hukuman.
Apabila menimbulkan korban lebih dari 1 orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, korban meninggal dunia, maka pelaku akan dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun. Ketentuan baru dalam UU ini bahkan mengatur pidana tambahan seperti pengumuman identitas (kecuali jika pelakunya anak), kebiri kimia, serta pemasangan cip.
"Mari kita bedah kalimat belum memenuhi unsur seperti kata polisi. Setidaknya ada 3 unsur dalam pasal 76D seperti disangkakan. Satu, setiap orang, dua, melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, tiga memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain," ujar Qudrat untuk membuktikan bahwa unsur dalam kasus ini sebenarnya sudah terpenuhi.
Qudrat melanjutkan, menurut pasal 1 angka 16 UU Perlindungan Anak, yang dimaksud setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi. Dalam kasus ini, terduga pelaku masuk dalam kategori orang-perseorangan sehinggga unsur pertama ini sudah masuk.
Untuk unsur melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan semdiri bisa diambil berdasarkan keterangan korban. Korban mengaku bahwa pelaku pernah mengancam akan membunuhnya apabila ia berani buka mulut.
"Unsur ketiga yakni memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain. Persetubuhan itu sendiri tinggal lihat surat visum. Dari memaksa ini, bisa dilihat dari keterangan korban bahwa dia tidak berkenan disetubuhi," pungkasnya.
Advertisement