Sukses

Mengintip Model Pertanian di Gorontalo Menghadapi Perubahan Iklim

Tidak hanya gagal panen, sebagian dari mereka harus menunda waktu melakukan penanaman.

Liputan6.com, Gorontalo - Iklim yang saat ini seakan tidak bisa diprediksi, membuat sejumlah petani di Provinsi Gorontalo mengalami gagal panen. Tidak hanya gagal panen, sebagian dari mereka harus menunda waktu melakukan penanaman.

Hal itu dikarenakan hujan yang dinantikan mereka tak kunjung turun tepat pada waktu yang sudah prediksi sebelumnya. Kalaupun hujan, pasti hanya sebentar dan setelah itu disusul oleh terik matahari.

Kadang situasi ini membuat mereka jenuh dan frustasi. Patani tidak tahu harus berbuat apa, sementara untuk menyambung hidup mereka harus melakukan pekerjaan itu.

"Kami kerap mengalami gagal panen akibat cuaca yang tidak menentu dan sulit untuk diprediksi," kata Inton Otane salah satu petani Konvensional kepada Liputan6.com Rabu (9/2/2022).

Berbeda dengan Rudy Adam, dulunya merupakan petani konvensional, kini beralih ke pertanian modern. Perubahan iklim menjadi alasan dirinya untuk beralih ke petani hidroponik.

Menurutnya, dampak dari perubahan iklim tersebut tidak hanya gagal panen, tapi cuaca yang tidak menentu membuat hama tanaman lebih cepat berkembang. Bahkan hama tersebut sangat sulit untuk dibasmi.

"Pengalaman saya, biasanya cuaca kadang hujan kemudian panas, hama tanaman pasti dengan cepat menyerang," kata Rudy.

"Apalagi tanaman hortikultura, pasti kewalahan kami membasmi mereka," ungkapnya.

 

Simak juga video pilihan berikut:

2 dari 3 halaman

Tidak Terdampak Perubahan Iklim

Saat ini kata Rudy, bertani dengan menggunakan sistem hidroponik tidak terlalu terdampak signifikan mekipun iklim sering berubah-ubah. Sebab, mulai dari sistem pengairan hingga pemberian nutrisi pada tanaman bisa diatur sendiri.

"Jadi mau cuaca panas, hujan atau semacamnya saya sudah tidak peduli. Tidak ada dampak buruk pada pertanian model seperti ini," ungkapnya.

Berbekal keberhasilan jadi petani hidroponik, ia terus melakukan edukasi ke petani konvensional. Khususnya petani hortikultura yang masih menanam dengan model yang masih sangat tradisional.

"Meskipun sudah berhasil, saya tetap memberikan edukasi kepada petani hortikultura konvensional bahwa inilah solusi menghadapi perubahan iklim," imbuhnya.

Saat ini dirinya telah memiliki kebun hidroponik dengan skala besar. Mulai dari jenis sayuran hingga beberapa jenis buah yang sudah berhasil di tanaminya.

Dirinya berharap, jika pemerintah harus memperhatikan petani konvensional. Sebab, gagal panen yang kerap dialami oleh petani konvensional akibat perubahan iklim juga penyumbang inflasi.

"Saya ilustrasikan tanaman cabai rawit, kalau rata-rata petani Gorontalo gagal panen, pasti harganya naik. Maka tak heran jika cabai di Gorontalo sebagai penyumbang inflasi setiap tahun," imbuhnya.

"Perhatian pemerintah bukan nanti dalam bentuk bantuan, saya rasa informasi terkait waktu tanam dan informasi cuaca sudah cukup membantu mereka," tandasnya.

3 dari 3 halaman

Tanggapan BMKG

Sementara pihak Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Bone Bolango, Noval Arif mengatakan, jika perubahan iklim di Gorontalo sendiri diakibatkan banyak hal. Salah satunya adalah gundulnya hutan.

"Penebangan pohon yang mengakibatkan hutan  menjadi rusak, juga merupakan salah satu faktor perubahan iklim di Gorontalo," kata Noval.

"Belum lagi fenomena-fenomena yang sulit untuk diprediksi sangat berpengaruh pada perubahan cuaca saat ini," ia menandaskan.