Sukses

Sidang Etik, Eks Bendahara Brimob Polda Sulsel Dituntut Pemecatan Tidak Hormat

Sidang tersebut berkaitan dengan pelanggaran kode etik penipuan dengan nominal uang mencapai angka Rp1 miliar.

Liputan6.com, Makassar - Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan (Polda Sulsel) kembali menggelar sidang dugaan pelanggaran kode etik profesi Polri yang mendudukkan Iptu Yusuf Purwantoro sebagai terduga pelanggar etik, Selasa (15/2/2022). Agenda sidang etik kali ini, yaitu mendengarkan pembacaan tuntutan dari Tim Penuntut Umum yang diketuai oleh Kompol Dominin.

Dalam sidang etik yang dipimpin langsung oleh Kepala Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Sulsel, Kombes Pol Agoeng Adi Koerniawan selaku Ketua Majelis Etik, Tim Penuntut Umum yang diketuai oleh Kompol Dominin memberikan tuntutan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) kepada Iptu Yusuf Purwantoro yang merupakan mantan Kaurkeu Subbagrenmin Satbrimob Polda Sulsel atau kerap disebut sebagai Bendahara Brimob Polda Sulsel itu.

Adapun pertimbangan tuntutannya, Tim Penuntut Umum mengungkapkan dua hal. Pertama mengenai fakta-fakta yang meringankan. Di mana terduga pelanggar selama proses pemeriksaan persidangan kode etik bertindak kooperatif dan catatan terduga pelanggar selama bertugas memiliki kinerja yang baik dan belum pernah menjalani proses hukum baik itu pelanggaran disiplin maupun kode etik Polri.

Sementara fakta-fakta yang memberatkan, di mana terduga pelanggar sudah mengetahui perbuatan yang telah dilakukannya sudah merupakan norma kewajiban yang ada pada peraturan kode etik profesi Polri dan seharusnya tidak dilakukan oleh seorang anggota Polri. 

Perbuatan terduga pelanggar, menurut Tim Penuntut Umum, telah dapat dibuktikan dan memenuhi syarat hukum untuk dituntut dan dimintai pertanggungjawaban hukum.

"Oleh karena itu mohon kiranya Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Majelis Sidang Etik menjatuhkan putusan bahwa terduga pelanggar telah terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar ketentuan Pasal 12 ayat 1 huruf a Peraturan Pemerintah RI Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 7 ayat 1 huruf b serta Pasal 11 huruf c Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri," ucap Kompol Dominin dalam tuntutannya.

"Menjatuhkan sanksi, pertama sanksi yang sifatnya bukan administratif berupa prilaku terduga pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela dan kewajiban terduga pelanggar untuk meminta maaf di muka persidangan Komisi Etik Polri atau secara tertulis pada pimpinan Polri dan pihak yang dirugikan serta sanksi yang sifatnya administratif berupa rekomendasi pemberhentian tidak dengan hormat sebagai anggota Polri," Kompol Dominin menambahkan 

Ia berharap tuntutan yang pihaknya telah sampaikan dan bacakan di hadapan persidangan nantinya dapat menjadi pertimbangan Majelis Sidang Kode Etik dalam mengambil keputusan dan menjadikan tuntutan yang ada masuk dalam bagian yang tak terpisahkan dari putusan serta menyatakan terduga pelanggar terbukti secara sah dan meyakinkan telah melanggar ketentuan, kewajiban dan larangan yang dimaksud serta menjatuhkan sanksi sebagaimana dalam tuntutan yang telah dibacakan.

"Namun apabila nantinya Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Majelis Kode Etik berpendapat lain, maka kami Penuntut Umum memohon pemberian putusan dan sanksi yang seadil-adilnya," Dominin menandaskan.

2 dari 3 halaman

Meminta Waktu

Usai pembacaan tuntutan oleh Tim Penuntut Umum, Ketua Majelis Sidang Etik lalu mempersilahkan terduga pelanggar Iptu Yusuf Purwantoro menanggapi isi yang ada dalam tuntutan, apakah ada yang salah atau ingin ia bantah.

"Siap tidak ada," jawab terduga pelanggar etik, Iptu Yusuf Purwantoro dalam persidangan.

Meski demikian, Iptu Yusuf Purwantoro melalui Tim Pendampingnya memohon kepada Majelis Sidang Etik untuk memberikan kesempatan pihaknya memanfaatkan waktu sepekan untuk menyusun nota pembelaan sembari membangun komunikasi dengan pengadu atau pelapor mencari solusi pengembalian uang milik pelapor. 

"Terima kasih majelis, izinkan kami menyusun pembelaan sekaligus membangun komunikasi dengan pelapor sebelum perkara ini diputus pada sidang pekan depan," tutur Iptu Yusuf Purwantoro yang diwakilkan oleh Tim Pendampingnya dalam persidangan.

Menanggapi permintaan terduga pelanggar etik tersebut, Ketua Majelis Sidang Etik selanjutnya memberikan kesempatan sepekan dan berencana akan menggelar kembali sidang Selasa pekan depan dengan agenda pembacaan nota pembelaan oleh terduga pelanggar.

"Sebelum sidang kami tutup. Tentunya diharapkan masing-masing pihak memanfaatkan waktu yang ada. Syukur-syukur mungkin di luar persidangan ada perdamaian itu harapan kami juga," ucap Ketua Majelis Sidang Etik, Kombes Pol Agoeng Adi Koerniawan.

Di luar ruangan persidangan etik, A. Sofyan Rauf Radja selaku Kuasa Hukum pelapor, A. Wijaya mengaku mengapresiasi tuntutan yang telah dibacakan oleh Tim Penuntut Umum dalam persidangan tadi. 

"Soal putusannya nanti kita serahkan seutuhnya pada Majelis Sidang Etik. Namun apa yang telah diuraikan oleh Tim Penuntut Umum dalam pertimbangan tuntutannya tadi, itu sudah sesuai fakta yang ada," ucap Sofyan.

Ia mengatakan, unsur-unsur pasal yang disangkakan kepada terduga pelanggar yakni Pasal 12 ayat 1 huruf a Peraturan Pemerintah RI Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Pasal 7 ayat 1 huruf b serta Pasal 11 huruf c Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri, semuanya telah terpenuhi dengan utuh. 

"Sehingga tuntutan pemecatan tidak hormat itu sudah sesuai fakta yang ada. Selain perbuatan pidana penipuan yang dilakoni oleh terduga pelanggar etik terikat oleh putusan Mahkamah Agung yang sifatnya sudah berkekuatan hukum tetap (Inkratch), juga yang bersangkutan dinyatakan telah mencoreng nama baik institusi Polri dan kabarnya telah terekspose juga di sejumlah media massa," terang Sofyan.

Meski demikian, pihaknya tetap berharap masalah yang dialami kliennya selaku pelapor bisa segera mendapatkan solusi. Uang miliknya yang telah dipakai oleh terduga pelanggar dengan jumlah miliaran rupiah tersebut bisa dikembalikan oleh terduga pelanggar.

"Jadi sampai detik ini kami masih terbuka dan berharap Iptu Yusuf Purwantoro ini punya itikad baik segera mengembalikan uang klien kami. Semoga apa yang dimohonkan oleh terduga pelanggar dalam persidangan tadi yakni ingin menempuh jalur mediasi bisa betul-betul terealisasi. Yah kita tunggu saja niat baik Pak Yusuf ini," Sofyan menandaskan.

Sekedar diketahui, Iptu Yusuf Purwantoro menjalani sidang dugaan pelanggaran kode etik Polri sebagaimana tercatat dalam Laporan Polisi Nomor: LP-A/77/VIII/2020/Yanduan Bidpropam, tanggal 24 Agustus 2020.

3 dari 3 halaman

Iptu Yusuf Sempat Sebut Nama Mantan Dansat Brimob Polda Sulsel

Terduga pelanggar, Iptu Yusuf dalam persidangan Komisi Etik Profesi Polri (KEPP) yang dipimpin langsung oleh Kombes Pol Agoeng Adi Koerniawan sebelumnya mengakui jika uang sejumlah Rp1 miliar yang dipinjam dari korban A. Wijaya itu kemudian diserahkan ke Kombes Pol Totok Lisdiarto yang sebelumnya merupakan mantan atasannya selaku Komandan Satuan (Dansat) Brimob Polda Sulsel .

"Tolong diperjelas, uang yang nilainya Rp1 miliar itu kamu kemanakan. Apakah betul kamu serahkan ke Pak Totok?," tanya Wakil Ketua sidang komisi etik dalam persidangan.

"Iya saya serahkan langsung ke Pak Totok," ucap Yusuf dengan wajah tertunduk saat itu.

Ia bersikukuh tetap akan dibantu oleh Kombes Pol Totok untuk menyelesaikan kewajibannya kepada korban, A. Wijaya tersebut. Hanya saja, saat majelis sidang komisi etik mempertanyakan kepastian waktu sampai kapan menanti realisasi bantuan mantan atasannya itu kepada dia agar bisa segera membayarkan kewajibannya kepada korban, Yusuf mengaku tidak tahu.

"Pak Totok sementara usahakan mengumpulkan. Saya tidak tahu sampai kapan," jawab Yusuf menanggapi pertanyaan Wakil Ketua sidang komisi etik saat itu.

Ia mengaku tak punya sumber lain guna menutupi kewajibannya mengembalikan uang yang ia pinjam dari korban (pengadu) senilai Rp1 miliar tersebut. Gajinya sebagai anggota Polri sebesar Rp6 juta lebih, semuanya tak diterima lagi lantaran Yusuf memiliki kewajiban lain membayar hutang di koperasi yang nilainya Rp200 juta.

"Siap, tak ada lagi," jelas Yusuf menjawab pertanyaan majelis sidang komisi etik mengenai apakah ada sumber lain untuk menyelesaikan kewajibannya itu.

. Simaklah video pilihan berikut ini: