Liputan6.com, Jambi - Susilawati mengarahkan pandangannya ke sawah yang sudah sebulan ini terendam banjir di desanya. “Sekarang umo cepat sekali tergenang air,” ujar perempuan 50 tahun itu, Rabu 12 Januari 2022 lalu. Susilawati adalah warga Desa Sogo, Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi.
Umo yang dia maksud adalah sawah. Lahan pertanian sawah itu dulunya selalu ramai dengan aktivitas petani perempuan. Berjarak sekitar setengah kilometer dari kantor desa, petak lahan persawahan itu sejak empat tahun terakhir tak lagi produktif dan selalu tergenang air.
Baca Juga
Di petak sawah itu tersisa sebuah pondok. Pondok yang biasanya menjadi tempat berlindung petani, kini hanya tersisa tiangnya, sementara atapnya entah kemana.
Advertisement
Desa Sogo adalah satu dari ratusan desa gambut di Jambi. Keberadaan Desa Sogo saat ini dikepung ekspansi perusahaan perkebunan sawit. Di sisi barat ada perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Puri Hijau Lestari (PHL), anak usaha Makin Group, sementera di sisi selatan desa hutan gambut telah digarap PT Wahana Seponjen Indah (WSI).
Sedangkan PT Bukit Bintang Sawit (BBS) merangsek di sisi timur desa. Di desa itu misalnya PT BBS membangun tanggul untuk membatasi area produksinya. Setiap blok tanaman kelapa sawit dibangun jaringan kanal primer dengan lebar sekitar tiga meter dan memiliki kedalaman tiga meter lebih.
Area perkebunan PT BBS berada paling dekat dengan Desa Sogo. Alih-alih membangun sekat kanal untuk membasahi gambut, perseroan justru masih mengandalkan sekat timbun untuk infrastruktur pengelolaan air. Jika memasuki musim penghujan kanal akan digali, begitu pula sebaliknya saat musim kemarau kanal akan ditutup.
Humas PT BBS, Suherman mengakui kalau perusahaannya yang memiliki luas 1.800 hektare itu masih mengandalkan sekat timbun. "Pakai sekat timbun, cuman di antara sekat itu kita kasih paralon. Ketika posisinya sudah pada level 40 sentimeter kita tutup semua, biar air nggak ada keluar lagi," ujar Herman saat di wawancarai dalam kesempatan sebelumnya.
Sengkarut tata kelola gambut, ditambah eksploitasi perkebunan kelapa sawit berimbas nyata ke warga. Susilawati hakulyakin ekspansi sawit di lahan gambut berdampak pada lahan-lahan pertanian produktif warga.
“Sekarang kalau hujan cepat sekali banjir, dan saat mulai masuk musim kemarau itu sudah cepat kering,” kata Ndo Lati--sapaan akrab Susilawati.
Sebagian besar warga desa bekerja sebagai petani. Namun kehadiran perusahaan kebun sawit yang mengepung desa gambut itu telah berdampak pada sumber lahan pertanian menjadi tak produktif.
Kehadiran perusahaan sawit juga mengubah fungsi ekosistem gambut yang selama ini menjadi resapan air. Gambut adalah sebuah ekosistem yang unik. Gambut tak lain terbentuk dari endapan materi organik, jasad hewan, pepohonan, jasad makhluk hidup yang terkubur dan membusuk selama ribuan tahun.
Kiprah perusahaan yang mengeringkan gambut, tak hanya berdampak pada kebakaran saat musim kemarau, tetapi juga berdampak pada daya dukung lingkungan di sekitar desa.
Dalam sebuah penelitian yang dipublikasikan Pantaugambut.id menyebutkan bahwa lahan gambut berperan penting untuk alam dan kehidupan masyarakat. Kerusakan gambut berdampak besar tidak hanya bagi lingkungan setempat, namun juga lingkungan sekitarnya.
Sedikitnya ada empat dampak kerusakan gambut antara lain: banjir, kebakaran (kabut asap), pencemaran tanah, dan terganggunya aktivitas masyarakat sehari-hari.
Kerusakan lahan gambut tidak hanya berakibat pada terjadinya kebakaran lahan yang menyebabkan bencana kabut asap, banjir, dan pencemaran tanah, tapi juga berpengaruh bagi kehidupan masyarakat.
Akibat lahan gambut rusak, masyarakat kesulitan memperoleh ekonomi, sumber pangan dan mata pencaharian yang sebelumnya mereka kerjakan perlahan lesap.
Susilawati masih ingat betul betul bagaimana kondisi kampungnya sebelum ada perkebunan sawit. Ketinggian air dan musim tanam padi masih bisa diprediksi oleh petani.
Dulu sebelum adanya perkebunan sawit tinggi air mencapai hanya empat centimeter, namun sekarang ketinggian air bisa mencapai satu meter menggenangi sawah.
“Kalau sekarang mau nanam susah, sudah dua tahun ini kena banjir terus,” ujar Atika, seorang petani perempuan di Desa Sogo.
Kondisi kerusakan gambut tersebut berdampak pada produksi padi semakin menurun. Jika biasanya dalam kondisi normal dengan menggarap lahan satu hektare, ia bisa menghasilkan 70-100 kaleng gabah kering.
Setiap kaleng berisi 10 kilogram gabah kering. Artinya jika dalam satu hektare dapat 100 kaleng, maka hasilnya adalah satu ton gabah kering.
Sejak gambut dibabat untuk perkebunan sawit serangan hama seringkali datang menyerang tanaman padi. Serangan hama kepinding (seekor serangga berwarna hitam dengan cangkang yang cukup keras), babi dan tikus. Hama tersebut mengakibatkan padi mudah rusak dan kopong.
“Dulu bisa sampai 100 kaleng, sekarang dak sampai. Cuma 5 kaleng dapat untuk benih bae,” kata Atika.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Simak juga video pilihan berikut ini:
Terkikisnya Peran Perempuan dalam 'Beumo'
Petani perempuan punya peran yang amat sentral dalam pengelolaan tanaman padi, mereka sebut dengan bahasa lokal beumo. Dengan pengetahuannya yang sudah turun-temurun, petani perempuan menjadi penentu asupan makanan bagi keluarganya.
Dalam sebuah riset yang dilakukan Beranda Perempuan--sebuah lembaga nirlaba berkedudukan di Jambi yang fokus pada isu-isu perempuan menyatakan, perempuan memiliki akses kontrol dalam kegiatan beumo.
Riset yang mereka lakukan di Desa Sogo, menunjukan pengelolaan umo hampir semuanya dikerjakan oleh kaum perempuan. Persiapan benih, penanaman, perawatan, hingga proses panen dan penjemuran dilakukan oleh petani perempuan. Sementara peran laki-laki lebih cenderung mengerjakan bagian pembukaan lahan dan juga membantu saat panen.
Dalam studi mereka, sekitar 75 persen perempuan merupakan produsen pangan di Desa Sogo. Selain itu perempuan adalah pihak yang bertanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan nutrisi bagi keluarga.
“Perempuan punya pengetahuan dalam beumo,” kata Direktur Beranda Perempuan Ida Zubaidah.
Begitu pula dalam mengelola lahan gambut, perempuan kata Ida, juga memiliki kearifan lokal yang kuat berhubungan dengan fenomena alam. Perempuan percaya percaya bahwa mulainya musim penghujan biasanya ditandai berbunganya tanaman jambu dan durian.
Mayoritas petani perempuan di lahan gambut memiliki kemampuan dan pengetahuan tentang pelestarian bibit padi lokal yang mereka sebut dengan nama lokal bibit ringgit. Perempuan tetap mempertahankan penggunaan benih lokal itu dibandingkan dengan benih dari pemerintah.
“Kami selalu pakai ringgit (bibit lokal), itu cara kami melestarikan bibit lokal,” ujar Atika, petani perempuan di Desa Sogo.
Dalam mempertahankan bibit lokal, mereka setia menyisihkan dari hasil panen yang akan mereka gunakan pada saat musim tanam selanjutnya. Petani perempuan punya kepedulian untuk menyisakan cukup banyak calon benih padi untuk mengantisipasi gagal panen.
Dulu rata-rata masyarakat Desa Sogo memiliki sistem penyimpanan beras pasca panen untuk bertahan dalam waktu satu tahun. Namun, kondisi ini berbanding terbalik sejak setengah dekade terakhir.
Lahan-lahan umo menjadi tidak produktif akibat dampak eksploitasi lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit. Hilangnya kedaulatan perempuan atas produksi tanaman padi berdampak pada eksistensi perempuan dalam sistem pertanian di desa.
Peran dan pengetahuan perempuan dalam sistem pertanian beumo yang tadinya amat sentral, sekarang perlahan mulai terkikis dampak kerusakan gambut. Akibatnya tak sedikit dari mereka terpaksa memilih menjadi buruh di perkebunan sawit untuk menyambung ekonomi keluarga.
“Perempuan dulu di sini selalu tanam padi di umo. Baru sekarang ini ada yang kerja di perusahaan,” kata Susilawati.
Advertisement
Terpaksa Bekerja Menjadi Buruh di Perkebunan Sawit
Sekar--bukan nama sebenarnya, siang itu sekitar pukul dua siang baru saja pulang dari perkebunan tempatnya bekerja. Ia disambut anaknya setibanya di rumah. Dia pun langsung beres-beres membersihkan badannya.
Sudah empat tahun perempuan 38 tahun itu, menjadi buruh harian lepas di perusahaan perkebunan kelapa sawit PT BBS. Memikul berat di pundaknya sudah menjadi pekerjaannya.
Saban hari Sekar menjadi buruh bagian penyemprotan. Alat semprot sprayer pestisida kapasitas 16 liter menjadi andalannya dan selalu digendong di punggung.
“Alatnya beli sendiri, bayarnya nyicil dipotong gaji,” kata Sekar.
Dalam sehari kerja Sekar bisa mengangkut 10 kali sprayer, artinya jika dikalikan, dalam sehari ia mampu menggotong 160 liter air campuran pestisida dan kemudian berjalan di antara tegakan sawit yang dikelilingi semak.
Di bagian penyemprotan itu kata Sekar, sedikitnya ada 9 perempuan yang bekerja. Dia mengakui pekerjaannya tergolong beresiko tinggi dan dia harus menghirup paparan cairan pestisida. Namun Sekar mengakui terpaksa melakukan pekerjaannya itu demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
Bekerja sebagai buruh lepas di perusahaan, Sekar diupah sistem harian kerja (HK) mulai kerja pukul 07 pagi - 01 siang. Dalam satu hari kerja senilai Rp109 ribu. Baru dua tahun ini, perusahaan memberikan jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan, yang dipotong dari gaji.
“Kebutuhan ekonomi sekarang semakin meningkat,” ujarnya.
Sementara itu, masih berdasarkan hasil studi yang pernah dilakukan Beranda Perempuan tahun 2019, kerusakan lingkungan berdampak pada tercerabutnya budaya perempuan dalam mengolah lahan produktif. Sehingga kondisi ini memaksa perempuan memilih kerja di perusahaan.
“Ketika ada tanaman monokultur yang sifatnya ekspansif itu akan mengubah tata kelola pertanian. Sehingga dampaknya secara umum perempuan kehilangan tanaman yang mereka butuhkan,” kata Direktur Beranda Perempuan Ida Zubaidah.
Rendahnya pendidikan dan sempitnya daya dukung produktivitas lahan pertanian di Desa Sogo menciptakan kerentanan bagi perempuan. Kondisi ini kemudian dimanfaatkan perusahaan untuk merekrut buruh perempuan. Berdasarkan temuan Beranda Perempuan sekitar 200 orang perempuan menjadi pekerja menjadi buruh harian lepas di perusahaan.
“Jadi statusnya berubah, perempuan yang dulunya punya kontrol terhadap apa yang mereka tanam, sekarang berubah menjadi buruh,” ujar Ida seraya menambahkan, seringkali perempuan tidak ada pilihan lain setelah lahan-lahan pertanian tidak produktif.
Hak normatif buruh perempuan menurut Ida Zubaidah, seringkali terabaikan. Misalnya sebut Ida, buruh perempuan tidak mendapatkan masker ataupun sarung tangan sebagai pelindung dari bahaya paparan pestisida dan pupuk kimia.
Selain itu masih berdasarkan hasil studi Beranda Perempuan, ketidaknyamanan buruh perempuan di perkebunan sawit juga terjadi karena kurangnya persediaan air bersih dan tempat privasi seperti kamar mandi.
Ida menemukan buruh perempuan ketika ingin buang air kecil atau besar, mereka akan menuju kanal-kanal yang dibangun perusahaan. Hal itu tentunya menjadi pemandangan yang sangat tidak layak bagi perempuan.
“Di mana mereka cuci tangan, pipis, ya di kanal-kanal perusahaan yang airnya kotor dan tercemar itu,” kata Ida.
Sulaiman, Sekjen Jaringan Masyarakat Gambut Jambi (JMG-J) mengatakan, wilayah kelola masyarakat gambut untuk mengembangkan sektor pertanian semakin sempit. Kondisi itu tak terelakkan lagi karena sebagian besar lahan gambut telah dikuasai korporasi, baik itu untuk Hutan Tanaman Industri (HTI) maupun perkebunan kelapa sawit.
"Sudah bukan rahasia umum kehidupan masyarakat gambut di pedesaan pasti dikepung konsesi. Di desa gambut permasalahannya sangat kompleks," ujar Sulaiman.
Selain wilayah kelola masyarakat gambut yang semakin sempit, eksploitasi lahan gambut secara masif oleh korporasi mengakibatkan wilayah kelola pertanian rakyat tak produktif .
Begitu datang musim hujan Sulai--sapaan akrab Sulaiman mengatakan, masyarakat yang tinggal di sekitar gambut konsesi terkena imbas banjir. Pun saat memasuki kemarau, wilayah kelola masyarakat mengalami kekeringan.
"Di Kabupaten Muaro Jambi itu 99 persen kanal-kanal perusahaan terkoneksi dengan sungai-sungai besar seperti Sungai Batanghari. Gambut yang telah dikanalisasi menjadikan gambut mudah mengering," kata Sulaiman.
Sulaiman sendiri merasakan akhir-akhir ini masa tanam padi sulit diprediksi. Pada tahun 2021 lalu, ia pernah mengalami kegagalan panen karena tanaman padi terendam banjir. “Tahun kemarin sama sekali enggak ada hasil,” kata Sulaiman.
Manajer Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi Dwi Nanto menilai apa yang dialami perempuan di desa gambut ditengarai oleh sistem tata kelola yang seringkali tidak mendukung. Kondisi ini semakin diperparah dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan yang semakin rusak.
“Petani pasti akan sulit kalau daya dukung lingkungan rusak, misalnya kesulitan pada air dan hama,” kata Dwi.
Daya dukung lingkungan menurut dia, sangat penting bagi petani di wilayah gambut. Kalau daya dukung lingkungan tidak baik, maka kata dia, berdampak alih fungsi lahan pertanian sehingga petani beralih menjadi buruh.
Sistem dan kebijakan pertanian turut memperparah kemiskinan pedesaan di Indonesia. Berdasarkan catatan Aliansi Petani Indonesia (API) rata-rata per jam terdapat 59 rumah tangga tani yang keluar dari sektor pertanian. Kemudian rata-rata kepemilikan lahan produksi petani 0,3 hektare dan ditanami padi dengan rata-rata hanya menghasilkan Rp4,290.000 atau Rp1.072.500 setiap bulannya.
Sementara itu, di Kabupaten Muaro Jambi, Kecamatan Kumpeh secara total memiliki luas wilayah 1.185,32 kilometer persegi atau 118.532 hektare. Dari total luasan wilayah ini, berdasarkan Sistem Informasi Geografis (SIG) Pertanian, Kecamatan Kumpeh memiliki luas baku sawah hanya 2.206 hektare.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jambi produksi padi di Kabupaten Muaro Jambi terus merosot. Pada tahun 2018 produksi padi di kabupaten ini sebanyak 28.776 ton gabah kering giling, menjadi 8.930 ton gabah kering giling.
“Banyak faktor yang menyebabkan produktivitas tanaman pangan kita ini menurun, tapi yang paling utama itu soal daya dukung lingkungan,” ujar Dwi.
Eksploitasi Gambut, Antara Ekonomi dan Bencana Ekologi
"Kritis" begitulah diksi yang tepat untuk menggambarkan bagaimana kondisi ekosistem gambut. Kerusakan parah ekosistem gambut di Provinsi Jambi mulai terjadi sejak masifnya pemberian izin untuk sektor industri kehutanan dan perkebunan kelapa sawit.
Luas gambut yang tersebar di Provinsi Jambi mencapai 716.838 hektare. Dari luasan gambut tersebut, menurut kajian Walhi Jambi, sekitar 70 persen atau 400 ribu luas gambut telah dibebankan izin.
Gambut adalah ekosistem yang unik. Lahan gambut adalah timbunan pepohonan, rerumputan, jasad hewan, dan sisa-sisa materi organik lainnya yang terbentuk selama ribuan tahun silam.
Namun sayang, gambut dengan ekosistem yang unik dan mampu menyerap karbon, justru kini mengalami kerusakan. Gambut telah dieksploitasi oleh industri kehutanan dan perkebunan kelapa sawit. Kedua industri tanaman monokultur itu membuka kanal-kanal, mengeringkan air.
Berdasarkan studi Walhi Jambi, terdapat 60 lebih perusahaan perkebunan sawit yang beroperasi di area gambut di Provinsi Jambi. Puluhan perusahaan itu berada di area gambut yang meliputi Kabupaten Muaro Jambi, Tanjung Jabung Barat, dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
Kanalisasi dibangun secara masif untuk mengeringkan gambut dan juga pembakaran. Gambut yang kering menjadi rawan terbakar hingga akhirnya melepaskan karbon ke atmosfer sehingga memperparah laju perubahan iklim.
Gambut sempat dianggap sebagai ekosistem yang dianggap marginal. Lahan gambut kata Dwi, sering hanya dipandang dari kacamata pemanfaatan ekonomi saja sehingga pemerintah jor-joran memberikan izin untuk korporasi.
Data peta sebaran gambut yang dirilis Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, lahan gambut di Jambi yang telah dibebankan izin kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit mencapai 136.396 hektare.
Kondisi ekosistem gambut kini semakin mengkhawatirkan. Pengeringan dan dekomposisi gambut menyebabkan lapisan tanah gambut menjadi lebih tipis. Selain itu, pengeringan di lahan gambut berisiko kebakaran semakin besar.
Perubahan iklim global, ekologi, dan sosial yang berkaitan pemanfaatan lahan gambut harusnya perlu diperhatikan. Rencana mendapatkan manfaat ekonomi dan investasi dari lahan gambut malah menimbulkan ongkos yang lebih mahal.
Ekosistem gambut tidak lagi menjadi wilayah resapan air, tapi lebih banyak mengeluarkan air sehingga relatif rentan terbakar. Kerugian ekonomi dan lingkungan yang luas ini berulang setiap tahun.
“Ini terus menerus terjadi kebakaran sampai sekarang, terutama saat musim kemarau,” kata Dwi.
Berdasarkan publikasi World Bank dengan judul Kerugian dari Kebakaran Hutan Analisa Dampak Ekonomi dari Krisis Kebakaran tahun 2015 menyebutkan, kerugian bagi negara Indonesia akibat kebakaran diperkirakan mencapai Rp221 triliun (16,1 miliar dolar AS). Luas lahan yang terbakar pada tahun 2015 mencapai 2,6 juta hektare atau setara dengan ukuran empat setengah kali lipat Pulau Bali.
Dari luas yang terbakar tersebut di antaranya Sekitar 33 persen dari jumlah lahan yang terbakar merupakan lahan gambut. Menurut publikasi tersebut, pengeringan dan konversi lahan gambut, yang terutama didorong oleh produksi minyak kelapa sawit, berkontribusi terhadap peningkatan intensitas kabut asap dari kebakaran.
Dampaknya menimbulkan kabut asap berbahaya yang mengganggu perhubungan, perdagangan, pariwisata, melumpuhkan pendidikan karena aktivitas sekolah diliburkan,dan memperburuk kesehatan.
Alih-alih merefleksi bencana kabut asap tahun 2015, kenyataanya bencana kabut kabut asap kembali terulang pada tahun 2019.
Pada tahun 2019 Bank Dunia kembali dalam laporannya yang berjudul Indonesia Economic Quarterly Reports mengungkapkan total kerugian Indonesia dampak kebakaran hutan dan lahan sepanjang 2019 mencapai 5,2 miliar Dollar AS atau setara Rp72,95 Triliun. Angka kerugian ini setara dengan 0,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Masih jelas di ingatan Sulaiman, Sekjen Jaringan Masyarakat Gambut Jambi (JMG-J), pada peristiwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi di lahan gambut tahun 2019 lalu.
Karhutla pada 2019 itu menurutnya lebih parah dari karhutla tahun 2015. Akibat bencana tahunan itu, jutaan masyarakat menghirup udara kotor kabut asap dan jarak pandang yang pekat.
Selain di wilayah perkotaan yang juga kena dampaknya, masyarakat pedesaan gambut adalah yang paling menderita. Setiap hari ketika bencana itu datang, masyarakat gambut tak bisa menghindar dari kepungan jerebu asap.
Sementara itu, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahun 2019 lalu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jambi menyampaikan bahwa 63.554 warga Jambi menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) akibat bencana kabut asap.
Data SiPongi KLHK menyebutkan bahwa Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) 2019 di Indonesia menghanguskan 1,65 juta hektare. Sedangkan menurut data dari Global Forest Watch (GFW) Fires menunjukan 42 persen kebakaran terjadi di lahan gambut yang merupakan ekosistem terestrial paling efisien dalam menyimpan karbon dan mengelola sumber daya air.
Lahan gambut yang terbakar tentu sangat berbahaya dan memperburuk krisis iklim. Menurut Copernicus Atmosphere Monitoring Service (CAMS), kebakaran di Indonesia hingga pertengahan November 2019 telah melepaskan 708 juta ton emisi gas rumah kaca.
Ketua Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) Universitas Jambi Dr Aswandi, gambut harus dikembalikan sebagai fungsi lindung. Gambut tidak boleh dipaksakan oleh tanaman yang menghendaki gambut untuk dikeringkan.
"Air itu teman sejati gambut, dan drainase adalah musuh terbesar gambut. Sekarang air dikeluarkan dari gambut untuk ditanami sawit dan akasia, jadi rusaklah gambutnya," ujar Aswandi.
Selain itu, Aswandi bilang, hampir semua gambut di Jambi telah dieksploitasi dengan dua tanaman monokultur, yaitu akasia dan sawit, yang notabene kedua tanaman ini tidak ramah gambut.
"Habis sudah potensi sumber daya alam, fungsi hidrologis. Ekosistem gambut kita rusak,” ujar Aswandi.
“Jadi kasihan petani dan nelayan di gambut tidak bisa ngapa-ngapain lagi, kalau hujan sedikit banjir, kalau kemarau sedikit sudah kering,” terang Aswandi.
Advertisement
Perkuat ISPO
Perkebunan kelapa sawit–sektor yang penting dan bertumbuh di negeri ini. Namun industri sawit kerap tersudut masalah ketenagakerjaan dan bencana kebakaran di lahan gambut.
Saat ini Provinsi Jambi menjadi urutan ke-empat yang masih bergantung pada tanaman bernama latin Elaeis itu. Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jambi Gusrizal mengatakan, luas perkebunan kelapa sawit di Jambi saat ini telah mencapai 1,2 juta hektare ton dengan rata-rata produktivitas crude palm oil (CPO) sebanyak 2,8 juta ton per tahun.
Dari total luas perkebunan kelapa sawit di Jambi ini, kata Gusrizal, di antaranya 700 ribu hektare merupakan sawit rakyat dan 500 ribu hektare dikuasai korporasi. Tercatat saat ini 186 perusahaan perkebunan kelapa sawit beroperasi di Jambi.
Gusrizal mengatakan, terdapat langkah-langkah untuk menjamin keberlanjutan kelapa sawit. Instansinya akan terus mendorong praktik produksi ramah lingkungan, salah satunya melalui standar sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
Ketentuan sertifikasi ISPO ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian No.38 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Perkebunan Sawit Berkelanjutan Indonesia.
Dalam beleid tersebut Pasal 4 disebutkan bahwa salah satunya perusahaan bertanggung jawab dengan pekerja dengan memberikan bayaran yang sesuai dan peningkatan kesejahteraan dan kemampuan pekerja.
Selain itu, sertifikasi ISPO ini penting untuk memastikan perusahaan menerapkan praktik-praktik produksi ramah lingkungan.
Meski penting, Gusrizal mengakui sertifikasi ISPO ini belum sepenuhnya dipatuhi perusahaan. Dari 186 perusahaan perkebunan kelapa sawit di Jambi, data terakhir baru 40 perusahaan yang telah mengantongi ISPO dan sembilan perusahaan masih dalam proses penilaian ISPO.
Gusrizal enggan membeberkan nama-nama perusahaan sawit di gambut yang belum sertifikasi ISPO. Dia hanya memastikan telah menyurati perusahaan agar mereka mematuhi aturan yang telah diberlakukan pemerintah. “Perusahaan sawit di lahan gambut sama, harus ISPO,” demikian Gusrizal.