Liputan6.com, Aceh - Dalam tambo Dinasti Han (abad 1—6 masehi) konon terdapat sebuah negeri bemama Huan-Tche. Penduduk negeri itu sama dengan penduduk Hainan, yang hidup dari berdagang dan merampok.
Disebutkan bahwa Kaisar Wang-Mang pernah meminta kepada penguasa negeri itu untuk mengirim seekor badak. Negeri yang dimaksud itu disebut-sebut identik dengan Aceh, dilihat dari bentuk hadiah serta letaknya.
Eksistensi Aceh dalam notasi asing tentu bukan cuma itu. Aksioma pada paragraf awal sendiri dikutip dari Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional (1991).
Advertisement
Sebagai tambahan, Geographike Hypogesis karangan Claudius Ptolomaeus pernah menyebutkan beberapa negeri yang terletak di jalur perdagangan India dan China. Di antara negeri itu terdapat Barousai, yang kemungkinan besar terletak di Aceh dan menunjukkan letak Barus, yang juga dikenal dengan sebutan Fansur.
Barus disebut-sebut sebagai salah satu daerah yang pernah diserap ke dalam wilayah kekuasaan kesultanan Aceh. Pada zaman kiwari, Barus adalah sebuah kecamatan di dalam wilayah administrasi Kabupaten Tapanuli Tengah dan ditetapkan oleh presiden sebagai titik nol dari peradaban Islam di Nusantara pada 27 Maret 2017, kendati keputusan tersebut dianggap keliru oleh beberapa sejarawan serta pemerhati sejarah.
Keputusan Presiden Jokowi dinilai sangat politis ketimbang akademis. Barus atau Fansur sendiri sering disebut berdekatan dengan Lamuri, yaitu sebuah kerajaan yang berpusat di Kabupaten Aceh Besar saat ini, yang berdiri lebih dahulu dahulu ketimbang Aceh Darussalam, apa dasarnya?
Sejarah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional (1991) menyebutkan sebuah daerah bernama Poli.
Kabar tentang Poli dijumpai dalam catatan China. Antara lain dalam catatan Dinasti Loang, Dinasti Sui, dan Dinasti Tang. De Casparis mengatakan bahwa Poli dapat disamakan dengan puri, yang disebut Lamiri oleh orang-orang Arab atau Lumbiri oleh Marco Polo.
Dalam sahifah Aceh seperti Hikayat Aceh disebut bahwa Kerajaan Lamuri dieja dengan L.m.ri. Pengucapan Lamuri dilakukan dengan cara meniadakan huruf vokal di antara huruf m dan r, karena itu tidak mungkin pengucapannya Lumuri atau Lamiri.
Dalam naskah Negara Kertagama dicantumkan nama Lamuri sebagai sebuah negeri yang takluk kepada Maharaja Majapahit. Sementara dalam Sejarah Melayu disebutkan sebuah negeri dengan nama Lamiri (L.m.y.r.y), yang telah mengalami islamisasi jauh hari.
Simak video pilihan berikut ini:
Di Mana Lokasinya?
Berita mengenai Lamiri juga datang dari Ibnu Khordadh-beh (844—848), Sulaiman (955), Mas'udi (943) dan Buzurg bin Shahriar (955). Semuanya merupakan penulis dari tanah Arab.
Mereka menyebut negeri tersebut sebagai Ramni dan Lamuri, yaitu sebuah negeri penghasil kapur barus dan hasil bumi penting lainnya. Mas'udi menyebut bahwa Ramni takluk di bawah kekuasaan Maharaja Sriwijaya.
Tercatat pula adanya catatan China tahun 960 yang menyebutkan sebuah negeri bernama Lanli, yaitu sebuah tempat yang dapat disinggahi oleh utusan·utusan Parsi yang baru saja kembali dari Cina sesudah berlayar selama 40 hari untuk menanti musim teduh sebelum kembali berlayar pulang.
Prasasti Tanjore (1030) yang memuat laporan ekspedisi Rajendracola Dewa I, menyinggung salah satu daerah taklukan Sriwijaya pada 1025 yang oleh N J Kroni identik dengan Lamri.
Chau-Yu-Kwa dalam bukunya Chay Fan-chi yang terbit dalam tahun 1225 menyebutkan bahwa di antara negeri jajahan San-fo-ts'i (Sriwijaya) termasuk juga di dalamnya Lan-wu-li. Disebutkan bahwa raja Lan-wu-li adalah seorang Raja beragama Islam yang memiliki dua buah ruang penerima tamu di istananya.
Sang raja diusung atau mengendarai seekor gajah ketika bepergian. Jika seseorang bertolak di musim timur laut dari negeri itu, maka dirinya akan tiba di Ceylon dalam waktu 20 hari.
Lan-wu-li pernah mengirim utusan ke negeri China dalam tahun 1286. Sang utusan berdiam di sana sambil menunggu berakhirnya ekspedisi Kubilai Khan di tanah Jawa.
Ketika Marco Polo tiba di Jawa Minor (Sumatera) pada 1292, ia mendapati delapan buah kerajaan di sana, yang di antaranya bernama Lamri. Lamri katanya tunduk pada kaisar China, dan diwajibkan membayar upeti.
Seseorang bernama Fra Odorigo yang pernah singgah di sebuah tempat yang disebutnya Lamori mengatakan bahwa negeri itu sering disinggahi oleh para pedagang dari negeri jauh dan terlibat perang dengan Sumoltra atau Samudera yang terletak di bagian selatan.
Dalam buku tahunan Dinasti Ming dijelaskan bahwa kerajaan mereka telah mengirim sebuah tera serta surat kepada Lam-bu-li pada 1405. Beberapa tahun kemudian, Lam-bu-li mengirimkan upeti beserta utusan kepada Dinasti Ming yang tiba bersama dengan perutusan dari negeri lain, yang kembali bersama ekspedisi Cheng-Ho.
Selanjutnya, pada 1412 Raja Maha-ma-shah (Muhammad Syah) dari Lambu-li bersama-sama Samudera mengutus sebuah delegasi ke Cina dengan membawa serta upeti. Disebut pula bahwa Lamri juga memperoleh bagiannya saat Laksamana Cheng-Ho berkeliling membawa serta hadiah-hadiah ke seluruh negeri pada 1430.
Salah satu hadiah dari kerajaan China yang sampai saat ini masih bisa dilihat yaitu lonceng Cakra Donya. Lonceng tersebut dibubuhi tulisan beraksara China dan Arab dengan angka tahun 1409, yang menyiratkan bahwa hadiah dari Cina datang ke Aceh jauh sebelum ekspedisi Cheng-Ho dimulai.
Lantas di manakah letak lokasi kerajaan Lamuri yang dimaksud? T lskandar dalam bukunya De Hikayat Aceh mengutip Valentijn (1725) dalam karangannya berjudul Beschrijvinge van het eiland Sumatera, Lamri tidak lain adalah Jambi. Pendapat serupa dikemukakan oleh Wemdly dan Marsden (1725 dan 1818).
Sebaliknya, Yule mengatakan bahwa Lamri merupakan tempat pertama di Sumatera yang disingggahi oleh pelaut-pelaut Arab dan India. Tempat ini berada di ujung utara pulau Sumatera, yang tidak lain adalah Aceh atau lebih tepatnya Aceh Besar saat ini.
Menurut catatan yang tercantum dalam buku Ying-Yai-Shenglan, oleh Ma-Huan disebutkan bahwa Lamri berada sejauh tiga hari berlayar dari Samudera jika angin sedang baik. Di sebelah timur, negeri ini berbatas dengan Litai, utara dan barat berbatas dengan laut yang dinamakan juga Laut Lamri (Lautan Hindia), dan di sebelah selatan berbatas dengan pegunungan.
Berdasarkan hal ini, Groenevelt menarik kesimpulan bahwa letak Lamri mestilah di Sumatera bagian utara, tepatnya di Aceh Besar. Cowan, de Casparis, dan T. Iskandar turut memperkuat pendapat tersebut.
Demikianlah selayang pandang tentang eksistensi Lamuri dalam catatan asing. Lamuri disebut-sebut juga sebagai cikal bakal terbentuknya kesultanan Aceh Darussalam, sebuah kerajaan yang kekuasaannya diakui oleh dunia barat.
Advertisement