Sukses

Hakim Kabulkan Praperadilan Dugaan Pemerkosaan Anak di Aceh, Polisi Keliru?

Keputusan mengeluarkan SP-3 oleh polisi atas kasus dugaan pemerkosaan anak di bawah umur di Aceh ternyata tidak berdasar. Hakim yang menyatakannya.

Liputan6.com, Aceh - Permohonan gugatan praperadilan yang diajukan korban dugaan pemerkosaan anak di bawah umur oleh ayah tiri di Kabupaten Pidie Jaya, Provinsi Aceh, dikabulkan hakim, Selasa (2/22/2022). Putusan hakim itu jadi bainah alias bukti nyata bahwa keputusan polisi untuk melakukan SP-3 atas kasus tersebut adalah keliru jika tidak dikatakan sesat.

Sebelumnya, diberitakan bahwa kepolisian Pidie Jaya menghentikan penyidikan kasus tersebut melalui Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP-3) nomor S.Tap/03.a/III/Res.1.24./2021/Reskrim. Polisi berdalih bahwa perkaranya belum memenuhi unsur pasal seperti yang disangkakan kepada tersangka.

Pasal yang dimaksud adalah 76D UU Perlindungan Anak. Bunyinya, setiap orang dilarang melakukan kekerasan anak atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Ancamannya mulai dari 5 sampai 15 tahun penjara atau denda paling banyak Rp5 miliar. Jika pelaku adalah orangtua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, atau residivis, maka pidananya dapat ditambah sepertiga dari ancaman hukuman.

Jika menimbulkan korban lebih dari 1 orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, korban meninggal dunia, maka pelaku akan dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun. Ketentuan baru dalam UU ini bahkan mengatur pidana tambahan seperti pengumuman identitas (kecuali jika pelakunya anak), kebiri kimia, serta pemasangan cip.

Korban diperkosa pertama kali semasa dirinya masih di kelas V sekolah dasar dan kembali berulang sampai menginjak kelas III sekolah menengah pertama. Kasus ini dilaporkan ke polisi pada 14 September 2020 sebelum dihentikan oleh polisi lantas dipraperadilankan melalui pihak kuasa hukum korban dari LBH Banda Aceh pada 2 Februari 2022.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 2 halaman

Keliru Berat

Kesalahan fatal polisi dilihat dari dasar hukum yang mereka kemukakan sebagai alasan untuk melakukan SP-3 atas kasus tersebut. Mekanisme SP-3 sendiri diatur dalam pasal 109 ayat 2 KUHAP.

SP-3 dapat dilakukan jika tidak diperoleh bukti yang cukup; peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana; dan penghentian penyidikan demi hukum atau ne bis in idem, yaitu sudah pernah dihukum, tersangkanya meninggal dunia, perkaranya kedaluwarsa.

Sementara itu, alasan polisi menghentikan penyidikan karena tidak terpenuhinya unsur pasal sama sekali tidak tertera di antara ketiga alasan tersebut. Hal ini juga disadari betul oleh hakim sehingga gugatan praperadilan yang diajukan oleh korban via kuasa hukumnya dikabulkan.

Dalam salinan putusan praperadilan nomor W1-U21/331/HK 01/II/2022 yang diterima oleh Liputan6.com, terdapat empat poin bunyi dari putusan hakim yang telah dibacakan di muka pengadilan. Yaitu, mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya.

Menyatakan tindakan penghentian penyidikan yang dilakukan termohon atas Laporan Polisi Nomor LP-B/531/IX/Res.1.24/2020/SPKT Polres Pidie Jaya tanggal 14 September 2020 berdasarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan Nomor: SPP/03/III/Res.1.24/2021 Reskrim tanggal 24 Maret 2021 Jo Surat Ketetapan Nomor: S.Tap/03a/III/Res.124/2021 Reskrim Tentang Penghentian Penyidikan tanggal 26 Maret 2021 adalah tidak sah dan bertentangan dengan hukum.

Memerintahkan kepada termohon untuk melanjutkan kembali proses penyidikan terhadap Laporan Polisi Nomor LP-B/531/IX/Res.1.24/2020/SPKT Polres Pidie Jaya tanggal 14 September 2020. Dan, menghukum termohon untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini sejumlah nihil.

"Kita sudah mengabarkan kepada korban dan keluarganya. Kita akan terus memantau dan berupaya agar kasus sampai selesai, sampai tuntas," ujar Siti Farahsyah Addurunnafis, salah satu pengacara yang tergabung dalam tim kuasa hukum korban.