Liputan6.com, Yogyakarta - Industri tekstil di Indonesia masih ada yang menggunakan pewarna sintetis mengandung gugus azo, amino aromatis, naftol, asam, basa, direct, dan senyawa reaktif lainnya. Padahal, senyawa ini sudah dilarang penggunaannya sejak 1 Juni 1996, karena pewarna tersebut bersifat karsinogen.
Kenyataan ini sungguh mengecewakan mengingat pada awal abad 20, Indonesia merupakan penguasa pasar pewarna alami biru Indigo terbesar di dunia dan Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah, termasuk bahan baku pewarna alami.
"Kita memiliki kekayaan sumber daya pewarna alami secara turun-temurun," kata peneliti pewarna alami UGM Edia Rahayuningsih usai peresmian mini plant pewarna alami di ruang multimedia, Gedung Pusat UGM, Selasa 22 Februari 2022.
Advertisement
Edia mengatakan, ia bersama tim peneliti UGM yang tergabung dalam kelompok riset Indonesia Natural Dye Institute Universitas Gadjah Mada (INDI-UGM) melakukan program hilirisasi produk purwarupa atau teknologi bersama dengan mitra CV Karui Jayapura.
Program ini dengan membangun miniplant produksi serbuk pewarna alami dari limbah industri penggergajian dari kayu Merbau di Jayapura Papua.
Baca Juga
"Limbah dari hasil hutan ini sangat potensial digunakan sebagai sumber bahan baku industri pewarna alami," kata ketua tim INDI UGM ini.
Edia menyebutkan produk samping dan limbah dari hasil hutan di Papua bisa mencapai 20-40% dari total massa pohon. Sayangnya, limbah ini biasanya dibuang begitu saja ke lingkungan atau dibakar sehingga menjadi masalah lingkungan.
Melalui pendanaan dari Kemendikbud pihaknya telah mengirim alat untuk miniplant ini bersumber dari Program Dana Padanan atau Matching Fund ke Papua. Pihaknya telah memproduksi alat untuk pengolahan serbuk alami tersebut yang dikelola oleh CV Karui Jayapura.
"Serbuk pewarna alami ini bisa mencapai 1,4 kuintal per hari karena bahan baku melimpah," katanya.
Ia berharap miniplant produk serbuk pewarna alami pewarna alami ini dapat dikembangkan ke tahap komersialisasi dengan dukungan pemerintah, industri, dan komunitas agar bisa digunakan oleh para perajin batik, industri tekstil, dan mendukung program SDGs.
Selain dari bahan baku Merbau Papua, menurut Edia, pewarna alami juga bisa dibuat dari bahan baku yang berasal dari tanaman indigofera, limbah kakao, limbah sawit, dan limbah kulit kayu mangrove.
Rektor UGM Panut Mulyono mengapresiasi peresmian dimulainya produk serbuk pewarna alami yang berlokasi di Jayapura, Papua tersebut yang bisa menggerakkan perekonomian masyarakat setempat karena dapat memasok bahan baku pewarna alami untuk pengrajin batik dan industri tekstil.
"Pewarna alami ini bisa menjadi substitusi dari pewarna sintetis dan harapannya kita kedepan bisa menjadi eksportir untuk pewarna alami," tegasnya.
Direktur CV Karui Jayapura, Alexander Sorondanya mengaku sangat beruntung dan bersyukur sekali ketika diajak pertama kali bekerja sama dengan para peneliti UGM. Sebab, ia tidak menyangka jika limbah kayu Merbau yang dibuang begitu saja ternyata bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang berguna bagi industri tekstil.
"Tidak terpikirkan sebelumnya. Setelah ketemu Bu Edia kita diberitahu tentang potensi Merbau bisa diolah menjadi zat pewarna alami," ujarnya.