Liputan6.com, Yogyakarta - Tujuh perupa Yogyakarta yang melabeli kelompoknya dengan nama Biji Salak memajang karya-karya mereka di Sangkring Art Project sejak 26 Februari 2022. Lewat pameran bertajuk Mari Main-Main dan Buang-Buang Waktu, Hery Sudiono, R Wisnu D, Purwanto, Sigit Bapak, Indra Cahya, Heripe, dan Dwipo Hadi menunjukkan cara mereka bermain.
Jumat (11/3/2022), menjadi hari terakhir mereka memasang karya-karya berupa lukisan dan instalasi dalam pameran ini. Namun bukan berarti, rencana mereka untuk berkarya bersama berhenti sampai di sini.
Mari Main-Main dan Buang-Buang Waktu bukan hanya pameran yang mempertemukan perupa. Lebih dari sekadar pertemuan, ketujuh perupa ini ternyata sudah berteman lama. Mereka pernah tinggal bersama di kisaran 2007 sampai 2008.
Advertisement
“Dulu kami pernah buat kelompok, bahkan sebelum saya ikut berkarya, nama kelompoknya Samar Mesem,” ujar Dwipo Hadi yang akrab disapa Ipo Hadi.
Ia bercerita kelompok ini pernah mengadakan pameran bersama pada 2008. Setelah itu, tidak pernah ada pameran lagi.
Baca Juga
Sekitar satu tahun lalu, Ipo berinisiatif untuk kembali menyatukan semangat kelompok Samar Mesem. Namun, ia tidak mungkin memakai nama Samar Mesem karena merasa tidak punya andil besar saat pameran pertama dulu.
Akhirnya, Ipo mengusulkan untuk membuat kelompok baru bernama Biji Salak. Nama Biji Salak dipilih karena para perupa Yogyakarta ini pernah tinggal bersama di daerah Salakan, sementara biji menjadi representasi bibit.
Setelah nama kelompok terbentuk, konsep pameran pun digodok, Ipo menawarkan konsep mari main-main, sesuai dengan karya yang pernah dibuatnya pada 2008. Perupa lain, R Wisnu D, merespons dan meminta penambahan kata dan buang-buang waktu.
Ipo membawa tema pameran Mari Main-Main dan Buang-Buang Waktu ke hadapan kurator Sudjud Dartanto yang kemudian menyepakati tema ini karena judulnya yang unik dan tidak biasa.
Menurut Ipo, ia mengusulkan konsep itu memang mengajak perupa untuk main-main atau tidak serius. Namun, dalam prosesnnya ternyata perupa-perupa Yogyakarta ini menunjukkan keseriusannya.
“Ada unsur satire juga, seniman main-main saja karyanya seperti ini, apalagi kalau tidak sedang main-main,” tuturnya.
Judul pameran ini juga dianggap mengkritisi keberadaan perupa. Artinya, ketika seniman bermain-main bukan berarti sembarangan. Ada pertanggungjawabannya secara teori, kaidah, dan estetika.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Makhluk Bermain
Dalam catatan kuratorialnya, Sudjud Dartanto memaparkan ada banyak peristiwa non seni yang dilihat sebagai aksi dan bentuk buang-buang waktu di berbagai media sosial. Misal, sosok anak muda yang sanggup berjam-jam enggak berbuat apapun dan uniknya ditonton oleh banyak penonton sampai peristiwa seni seperti aksi perfomer dunia Marina Abramovic yang duduk berjam-jam saling melihat antar mata dengan audiens.
“Itu sekilas seperti aksi dan peristiwa buang-buang waktu, namun yang terjadi bisa makna sebaliknya, justru waktu dimaknai dan diperdalam dengan intens dalam suatu durasi,” tuturnya.
Ia menilai, seni sanggup melemparkan siapapun untuk masuk ke dalam area dan arena bermain. Dalam masa orientasi sekolah dan kampus yang sehat dan benar, bisa dilihat calon siswa dan mahasiswa kembali bermain-main, karena sesungguhnya manusia juga adalah mahluk yang bermain.
Advertisement
Filosofi Jawa
Sigit Bapak memamerkan dua karya lukisan yang berjudul Dan Berbahagialah dan Kembulan. Lukisan Dan Berbahagialah terbilang tidak lazim.
Ia hanya menampilkan tulisan berwarna biru di atas kanvas berukuran 150x100 sentimeter. Tulisan itu bertuliskan, Image may contain: 1 person smiling, motorcycle, plant, ocean, beach, tree, mountain, sky, grass, outdoor, nature and water.
Di tengah kanvas terdapat angka +7.
Melalui karyanya ini, Sigit Bapak ingin mengkritisi fenomena hilang sinyal ketika mengunggah foto di Facebook. Lebih dari sekadar kegagalan unggah, Sigit Bapak justru memiliki pesan tersirat lewat karyanya ini, yakni harapan tidak sesuai kenyataan.
“Di lukisan ini, sudah unggah tujuh foto tetapi yang didapat cuma tulisan saja,” ucapnya.
Ia mempercayai filosofi Jawa, nrimo. Artinya, orang harus bersyukur dan ikhlas dengan apa pun yang dimiliki dan terjadi.
Sementara, lukisan Kembulan menampilkan teknis melukis yang lebih rumit. Lukisan dibuat seolah-olah memiliki tekstur yang tidak rata.
Merespons Teks
Perupa Hery Sudiono untuk pertama kalinya bermain dengan bahan akrilik. Ia melukis karya berjudul Paint The House yang merespons teks karya sastra buatannya.
Melalui karya ini, ia menampilkan rumah sebagai idea yang menjadi identitas personal dan kolektif.
Tema rumah juga muncul dalam karya lain Hery yang dipamerkan dalam pameran ini. Lukisan berjudul Seaside Road mix media di atas kanvas bercerita soal realisme magis.
Penyuka karya sastra Gabriel Garcia Marquez ini merespons realisme magis lewat lukisannya yang menampilkan realita berlapis.
Advertisement
Refleksi Diri Sendiri
Heripe memamerkan dua karya berjudul Bocah Tua yang Membawa Hasil Buruannya, yang Ditemani Dua Kucingnya dan Neo Punakawan.
“Judul pertama itu berdasarkan situasi yang saya alami saat membuat lukisan ini,” ucapnya.
Kucing itu adalah kucing peliharaannya dan secara umum tema besar lukisan itu merefleksikan dirinya sendiri.
Sementara dalam Neo Punawakan, Heripe ingin menunjukkan sifat-sifat orang di dunia yang tidak semuanya baik dan tidak sepenuhnya jahat. Artinya, kehidupan itu seperti ungkapan Jawa, wang sinawang.
Keseimbangan
Indra Cahya memamerkan instalasi karya gambar yang disinkronkan dengan lagu dan video. Ia mengambil judul My Sleeping Flowers untuk karya gambar mirror yang merepsentasikan panas dan dingin atau keseimbangan.
Advertisement
Kampung Halaman
Purwanto mengangkat tema yang dekat dengan kehidupannya sehari-hari dalam pameran ini. Lukisan berjudul Vibes menggambarkan sosok perempuan yang sedang hamil.
“Ini menceritakan kegelisahan suami yang istrinya sedang hamil dan suami ini berpikir tentang bagaimana kehidupan anak-anaknya kelak di tengah situasi sosial politik saat ini,” ujar Purwanto.
Sementara, lukisan berjudul Hello Tobacco terinspirasi dari kampung halamannya di Jember yang merupakan kampung gudang pengering tembakau. Banyak orang menggantungkan hidup dari tembakau, sampai akhirnya tembakau merosot tajam dan tertinggal dengan tembakau Kuba.