Sukses

Membantah Mitos Sajen Identik dengan Hal Irasional, Begini Faktanya

Forum Gerakan Budaya Nusantara (FGBN) Yogyakarta membedah seluk beluk sajian atau sajen dalam sarasehan budaya bertajuk Edukasi Sesaji-Literasi di Pendopo Aneka Dharma Pasar Seni Gabusan Bantul, Jumat (11/3/2022).

Liputan6.com, Yogyakarta - Forum Gerakan Budaya Nusantara (FGBN) Yogyakarta membedah seluk beluk sajian atau sajen dalam sarasehan budaya bertajuk Edukasi Sesaji-Literasi di Pendopo Aneka Dharma Pasar Seni Gabusan Bantul, Jumat (11/3/2022). Dalam diskusi itu terungkap sajen yang kerap diidentikkan dengan hal irasional justru bisa dijelaskan secara rasional.

Menurut pegiat budaya sekaligus pemrakarsa kegiatan ini Hangno Hartono, kegiatan ini ingin mengangkat ritus-ritus Jawa bisa dipahami secara rasional dan bukan irasional atau klenik.

“Jadi, perlu disosialisasikan dengan cara kajian, diskusi, dan saresehan secara kontinu,” ujarnya di Yogyakarta.

Perkembangan sajen atau sajian dimulai dari masa Mataram Kuno dan Mataram Islam. Pada masa Mataram Kuno sajen bercorak kosmosentris dan pada era Mataram Islam bercorak antroposentris.

Sajen kosmosentris adalah uba rampe atau perlengkapan upacara sajian dilihar sebagai proses pergerakan siklus alam. Misalnya, sajen tumpeng robyong yang merepresentasikan proses pergerakan gunung api yang sedang meletus mengeluarkan magma.

Muntahan abu vulkanik tersebut adalah siklus alam memyeimbangkan diri dan justru menghidupi semua jenis flora dan fauna. Oleh karena itu, dalam sajen tumpeng robyong terdapat aneka jenis flora yang menjadi subur pasca gunung erupsi yang menjadi gambaran proses alami kesuburan atau kehidupan.

Sementaran gunungan berangkat dari mitologi pengadukan gunung mandaragiri pada naskah Samudramantana yang bertujuan untuk mendapatkan air keabadian atau kehidupan.

“Maka bicara tentang gunung sama saja bicara tentang siklus hidup bagi masyarakat agraris,” ucapnya.

Hangno menilai sisi rasional sajen tergambarkan dalam penjelasan itu. Sajian bisa dilihat dari ekologi agraris dan bukan sebagai bentuk pemujaan penguasa gunung karena ketidakberdayaan manusia yang selama ini dinarasikan di masyarakat.

Saksikan video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

Makna Antroposentris

Hangno tidak menampik ketika sajen dimaknai dengan antroposentris, maka ada kekuasaan lain yang membuat manusia tidak berdaya kemudian melakukan negoisasi. Misal, dalam mitologi klasik seorang raja Jawa beristrikan penguasa gaib laut selatan untuk membantu biar menjadi raja atau menang perang.

“Kemudian digambarkan melalui negoisasi dengan sesaji, pola antroposentris inilah yang cenderung klenik atau meminta tolong dengan entitas yang gaib,” tuturnya

Hangno berpendapat makna terakhir ini yang banyak dipahami oleh masyarakat, sehingga perlu edukasi pola lain narasi sajen sisi kosmosentris yang lebih rasional karena jelas berbicara konsep kosmologi.

“Kosmologi tentang tiga alam, yakni alam bawah,alam tengah dan alam atas, dalam dunia filsafat konsep tersebut khas filsafat timur,” kata Hangno.

Sarasehan Sesaji diikuti oleh 25 komunitas kebudayaan Jawa di Yogyakarta dan luar Yogyakarta. FGBN Yogyakarta adalah sebuah jaringan komunikasi komunitas olah spiritual Jawa dan budaya Jawa.

“Sarasehan akan terus dilakukan kontinu untuk menggagas Hari Kebudayaan Nasional,” ujar Mamoek Wijaya, ketua panitia.

Semula sarasehan ini untuk merespons kasus sajen Gunung Semeru, tetapi FGBN sepakat merespons dengan literasi yang lebih mengedepankan pengetahuan. Alasannya, selama ini sajen hanya dipahami secara negatif, tidak rasional, hanya sebagai sarana klenik atau memberi makan, memuja, menyembah entitas lain (peyoratif: demit).