Liputan6.com, Manggarai Barat - Pendidikan, bagi sebagian orang merupakan sesuatu yang mewah. Terlebih, bagi anak-anak di pedesaan yang terkadang menghabiskan waktunya membantu orangtua di ladang atau sekadar bersenda gurau dengan teman sebaya sambil menggembala hewan ternak peliharaan. Pendidikan yang minim ini pun berbanding lurus dengan tingkat literasi.
Untuk meningkatkan kebiasaan membaca bagi anak-anak dibutuhkan upaya dari berbagai pihak, termasuk warga sekitar. Di Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), ada seorang sarjana pendidikan, Yuliana Ida (31) namanya. Dia kini membuka Rumah Baca Woang (RBW) untuk bisa dimanfaatkan bagi semua anak-anak di kampung Woang, Desa Terong, Kecamatan, Satarmese Barat, kabupaten Manggarai Barat.
Advertisement
Baca Juga
Liana, sapaan akrabnya, menceritakan awal ia membuka rumah baca itu pada Juli 2021 silam. Kala itu, Covid-19 tengah merebak. Semua sektor kehidupan hampir lumpuh, termasuk pendidikan. Anak-anak sekolah tidak lagi ikut belajar tatap muka. Mereka belajar dari rumah dengan sistem online.
Di tengah situasi itu, lanjut dia, banyak siswa-siswi SMP dan SMA harus mengerjakan tugas online. Sementara, mereka tidak memiliki buku bacaan sebagai panduan dalam mengerjakan tugas tambahan dari sekolah itu. Apalagi, pada umumnya di kampung, banyak anak yang tidak memiliki handphone, sehingga dibutuhkan perpustakaan atau rumah literasi sebagai tempat mereka menambah ilmu pengetahuan untuk mengerjakan tugas sekolah.
"Waktu itu mereka ramai-ramai datang ke rumah dan kita belajar di situ. Lihat begitu anak-anak SD juga mau ikut itu pekan keduanya. Saya termotivasi untuk menjadikan rumah sebagai tempat belajar bagi anak sekolah di desa," tutur Liany saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (16/3/2022) melalui sambungan telepon.
Ia menuturkan awalnya dia hanya bermodal nekat membuka tempat belajar bagi anak-anak sekolah di rumahnya dengan nama Rumah Baca Woang (RBW). Nama itu diambil sesuai tempat rumah baca itu yakni Kampung Woang.
"Saya buat itu atas dasar keprihatinan pribadi, melihat anak-anak bermain tidak jelas karena tak ada belajar tatap muka. Saya punya hati tergerak. Sesuai moto hidup saya, coba bermanfaat bagi orang lain tanpa pamrih," ungkap alumnus Universitas Dwijendra Denpasar itu.
Ia mengatakan, di Rumah Baca Woang itu, dirinya memberikan materi sesuai permintaan anak-anak sekolah. Setelah itu, ada literasi selama 10 menit.
"Saya memberi materi-materi dasar khusus Bahasa Inggris. Anak-anak juga senang. Selain itu, saya juga ajarkan mereka bagaimana mengakses internet dan mengoperasikan laptop," katanya.
Ia mengaku, Rumah Baca Woang masih kekurangan buku-buku. Namun, didorong rasa kepedulian terhadap generasi muda di desanya, kekurangan itu bukan halangan. Api literasi tetap menyala di desa itu.
"Untuk membeli perlengkapan, jujur saya ojek di hari-hari kerja. Uang hasil ojek saya gunakan untuk pelan-pelan beli buku untuk anak-anak belajar. Ya, lumyan lah. Bisa tambah buku-buku yang saya bawa dari Bali. Sekarang, yang masih kurang masih buku gambar buat anak-anak TK, kelas 1 atau 2 SD," ungkapnya.
Ia mengaku, awalnya agak susah membimbing anak-anak yang datang belajar di Rumah Baca Woang. Anak-anak masih susah diatur karena baru berhadapan dengan situasi dan tempat baru.
Namun, seiring berjalannya waktu, anak-anak sudah mulai mengikuti kegiatan belajar di tempat itu dengan penuh antusias. Mereka semua senang, sebab waktu luang mereka terisi dengan belajar.
"Tidak hanya anak-anak yang senang. Orangtua di kampung juga turut senang. Mereka sangat mendukung dengan apa yang saya buat. Saya akhirnya termotivasi untuk terus semangat menggelorakan literasi di desa tercinta ini," imbuh dia.
Â