Liputan6.com, Pekanbaru - Perkara Salim bersaudara di Pengadilan Negeri Pekanbaru sudah memasuki tahap akhir. Petinggi perusahaan yang berafiliasi ke Fikasa Grup itu sudah memasuki tuntutan, pledoi atau pembelaan hingga tanggapan jaksa penuntut umum (JPU) terhadap pembelaan.
Di luar sidang, perkara ini mendapat perhatian dari pakar hukum pidana perbankan, Yunus Husein. Dia menilai perkara dengan jeratan penipuan investasi serta pidana perbankan itu masuk ranah perdata sehingga tidak ada dasar kuat mempidanakan Agung Salim Cs.
Advertisement
Baca Juga
"Perkara itu jika dianalisis dengan jujur dan kredibel adalah murni berada dalam ranah keperdataan, soal utang, bukan perkara pidana, baik pidana perbankan maupun pidana umum (penipuan dan penggelapan) seperti dakwaan JPU," kata Yunus, Selasa malam, 15 Maret 2022.
Pendapat hukum Yunus ini sebagai respon pernyataan Prof Jonker Sihombing yang menyebut perkara Fikasa Grup murni pidana. Bahkan, ahli tambahan yang dihadirkan JPU itu menyebut kalau penerbitan promissory notes (PN) atau surat sanggup bayar harus mendapat izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Menurut mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) ini, PN bukanlah aktivitas penyimpanan dana dan bukan pula simpanan sebagaimana dalam pasal 1 angka 5 Undang-Undang Perbankan. Dia menyebut PN berbentuk surat sanggup yang diatur dalam pasal 174 KUHDagang.
Menurut Yunus, surat PN yang diterbitkan oleh PT Wahana Bersama Nusantara (WBN) dan PT Tiara Global Propertindo (TGP) yang terafiliasi dalam Fikasa Grup bukanlah simpanan dana seperti di bank.
"Sehingga unsur 'dalam bentuk simpanan' sebagaimana dalam pasal 46 ayat 1 tidak terpenuhi," terang Yunus.
Â
*** Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Simak video pilihan berikut ini:
Tidak Menghindar
Yunus mengutip surat edaran Mahkamah Agung (SEMA) nomor 7 tahun 2012, di mana dalam poin 4 disebutkan 'jika suatu perkara pidana yang di dalamnya mengandung ikatan perjanjian, penyelesaiannya harus masuk ke ranah perdata'.
Yunus tidak menemukan adanya iktikad buruk dari PT WBN dan PT TGP dalam PN dan pelaksanaan perjanjian yang timbul dalam penerbitannya karena diterbitkan secara transparan.
PN juga mengatur hak dan kewajiban para pihak serta mekanisme teknis isi perjanjian tersebut, kemudian perusahaan telah menjalankan kewajibannya membayar bunga keuntungan.
Selain itu jelas Yunus, PT WBN dan PT TGP juga telah tunduk pada proses hukum menyelesaikan kewajiban pembayaran utang di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yakni lewat putusan PKPU. Saat ini, proses homologasi (perdamaian) sedang berjalan antara ribuan kreditur dengan Fikasa Grup.
"PT WBN dan PT TGP tidak berupaya untuk menghindar dari kewajibannya kepada para kreditur," jelas Yunus.
Yunus dalam analisis hukumnya menyebut tidak ada unsur melawan hukum dan kesengajaan dalam penerbitan PN maupun pelaksanaan perjanjian. Sementara dalam kasus ini yang dipermasalahkan adalah penerbitan PN dan keterlambatan pembayaran kepada kreditur.
"Kedua perbuatan itu tidak bersifat melawan hukum karena tidak melanggar ketentuan UU Perbankan," jelas Yunus lagi.
Dalam kesimpulannya, Yunus menegaskan kalau PN yang diterbitkan Fikasa Grup tidak termasuk kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan. Selain itu, penerbitan PN oleh PT WBN dan PT TGP tidak memerlukan izin OJK atau Bank Indonesia.
"Karena apabila ada ditemukan pelanggaran atas PN tersebut, maka OJK atau Bank Indonesia sudah memperingatkan PT WBN dan PT TGP, tapi apa? Hingga saat ini mereka (Fikasa Grop) belum pernah dapat peringatan atau teguran," sebut Yunus.
Advertisement
Kesanggupan Membayar
Sementara itu, kuasa hukum terdakwa kasus PN Fikasa Grup, Ade Palti Simamora, mengkritik pendapat hukum Jonker Sihombing saat di Pengadilan Negeri Pekanbaru. Palti menilai ada inkonsistensi pendapat hukum ahli yang dihadirkan JPU itu.
Saat persidangan, Jonker menyatakan kalau PN yang diterbitkan PT WBN dan TGP perlu mendapatkan izin dari BI serta OJK sesuai dengan pasal 46 UU Perbankan. Di sisi lain, Jonker saat menjadi ahli pada kasus high yield promissory notes (HYPN) PT Indosterling Optima Investa (IOI) menyebut tidak perlu izin OJK karena tidak mengurusi PN.
"Anehnya PN yang identik, Jonker Sihombing bisa memberikan pendapat yang berbeda," tegas Palti.
Palti menyatakan pendapat hukum berbeda dalam kasus serupa ini hendaknya dikesampingkan ketua majelis hakim, Dr Dahlan, dalam memberikan putusan nanti. Apalagi, pihak sebelum ini sudah mengajukan keberatan karena Jonker bukan ahli dalam berkas penyidikan Bareskrim melainkan ahli tambahan JPU.
Sebagai referensi, dalam kasus HYPN PT IOI, majelis hakim PN Jakarta Pusat pada 3 Februari 2022 lalu membebaskan Direktur PT IOI, Sean William Henley dari segala tuntutan hukum (onslag van alle recht vervolging).
Majelis hakim dalam amar putusannya menyatakan Sean William terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, namun bukan merupakan tindak pidana. Dalam pertimbangan hukumnya, hakim menegaskan kalau perkara tersebut berada dalam lingkup hukum perdata yakni tindakan ingkar janji (wan prestasi).
Di sisi lain, Palti menyatakan PN yang diterbitkan merupakan bukti kesanggupan Fikasa Group mengembalikan hutang para pelapor. PN itu menjadi bukti adanya hubungan antara pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman.
"Hal ini dapat dibuktikan bahwa hingga Maret 2020, pemberi pinjaman Fikasa Group masih menerima bunga atas pinjaman dananya," jelasnya.
Menurut Palti, kemacetan pembayaran bunga kepada para pemberi pinjaman dipengaruhi oleh kondisi ekonomi yang terpuruk akibat pandemi Covid-19 sejak bulan Maret 2020. Kegagalan pembayaran bunga dan pokok bukanlah kesengajaan dari Fikasa Group.
"Soalnya, jenis usaha yang dimiliki oleh Fikasa Group bergerak di bidang perhotelan dan consumer goods, sebagai perusahaan yang sangat merasakan dampak terbesar akibat pandemi Covid-19," kata Palti.