Sukses

Bagai Pungguk Merindukan Bulan, Industri Farmasi Gagal Terus Mematenkan Nikotin

Diskusi soal perang nikotin kembali berlanjut.

Liputan6.com, Semarang - Diskusi soal perang nikotin kembali berlanjut. Bedah buku Nicotine War karya Wanda Hamilton kembali digelar.

Dalam diskusi yang berlangsung di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Sabtu (19/3/2022) terungkap alasan industri farmasi selalu gagal mematenkan nikotin.

Menurut Koordinator Komunitas Kretek (2010-2016) Abhisam Demosa, industri farmasi berhasrat mematenkan nikotin namun tidak pernah bisa dilakukan. Selama ini, industri farmasi hanya bisa membuat sarana penghantar nikotin yang disebut Nicotine Replacement Therapy (NRT).

Nikotin adalah emas yang memiliki manfaat positif terhadap kesehatan tetapi juga ekonomi, sehingga industri farmasi melakukan berbagai strategi dan manuver untuk menguasai nikotin,” ujarnya dalam bedah buku bertajuk “Nicotine War: Membedah Siasat Korporasi Farmasi Jualan Nikotin”.

Masuk ke WHO menjadi sebuah kemenangan besar bagi industri farmasi Amerika adalah masuk ke WHO. Berlatar urusan bisnis, kemudian lahir Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau konvensi kerangka kerja pengendalian tembakau yang menjadi landasan hukum bagi komisi pengendalian tembakau.

Senada dengan Abhisam, Irfan Afifi budayawan asal Yogyakarta yang juga menjadi pembicara pada acara tersebut, menilai jualan industri farmasi terkait pengganti rokok memang bisnis yang bernilai jutaan dolar.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

Produk Kebudayaan

Bagi Irfan, integritas yang bisa menyatukan seluruh masyarakat Indonesia adalah rokok. Alasannya, rokok merupakan produk kebudayaan sejak zaman dahulu, yang dalam konteks cipta, rasa, dan karsa, dikenal sebagai kretek.

Ia bercerita, dahulu founding fathers seperti Soekarno, Agus Salim dan sebagainya bangga sekali dengan kretek. Sebab mereka sadar, jika dari kretek adalah produk budaya bangsa Indonesia yang bisa dibanggakan di luar negeri.

“Saat ini produk kebudayaan itu ingin dimatikan oleh bangsa sendiri atas inisatif dan suruhan bangsa asing,” ucap Irfan.

Irfan Afifi memahami perang nikotin itu sangat sederhana. Ada dua perusahaan yang sama berjualan nikotin dengan produk yang berbeda mereknya, yakni farmasi dan perusahaan rokok.

Farmasi memiliki kesempatan besar untuk menggandenga instansi-intansi negara maupun lembaga kesehatan untuk melebarkan pasarnya. Caranya, membuat regulasi dan kampanye buruk terhadap rokok.

Sementara, akademisi Undip, Khothibul Umam tidak menampik sejak dulu karya sastra dan seni begitu kuat kaitannya dengan rokok.

“Kita bisa dengan mudah menemui tokoh-tokoh yang merokok dan tidak masalah dengan itu jika tersorot oleh kamera,” tuturnya.

Demikian pula dengan sampul-sampul buku, seperti Rara Mendhut atau Chairil Anwar misalahnya, juga menampilkan sosok yang merokok. Namun, perlahan sampul-sampul itu tak menampakkan rokok lagi. Rokok menjadi sangat tabu. 

“Seni budaya maupun sastra tidak bisa dihindarkan dari rokok. Bahkan sebagian besar karya seni ada yang penuh dengan pabrik rokok atau perkebunan tembakau,” kata Umam.