Liputan6.com, Jakarta - Berbagai faktor menjadi pertimbangan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari DKI Jakarta ke Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim). Mulai dari kepadatan penduduk yang sudah melebihi kapasitas, hingga adanya ketidakmerataan pembangunan di luar Pulau Jawa.
Dari sisi ekonomi, ternyata berdampak baik dengan segeranya dipindahkan IKN dari DKI Jakarta. Terutama dari sisi cost and benefit.
Ekonom Institut Teknologi Bandung (ITB) Anggoro Budi Nugroho mengungkapkan, pemindahan ibu kota dalam suatu negara bukan menjadi hal yang baru. Karena banyak negara maju hingga negara yang masih jauh tertinggal dari Indonesia pun, sudah melakukan terobosan tersebut.
Advertisement
Baca Juga
Dia mencontohkan Kanada yang memindahkan ibu kota dari Toronto ke Ottawa di tahun 1957, Ibu Kota Kazakhstan, Almaty berpindah ke Astana di tahun 1997. Di tahun 1999, Malaysia memutuskan memindahkan pemerintahannya, dari Kuala Lumpur ke sebuah kota berjarak 25 Kilometer saja, yakni Putrajaya.
Serta Myanmar, yang tingkat ekonomi hingga jumlah penduduk jauh dibanding Indonesia, sudah memindahkan ibu kotanya, dari Yangon berubah ke Naypyidaw di tahun 2005.
“Myanmar dan Malaysia dengan kepadatan penduduk lebih sedikit dari Indonesia, sudah lebih dulu melakukannya. Kita yang lebih banyak (jumlah penduduk), kenapa tidak,” ucapnya saat menjadi pemateri dalam diskusi virtual Potret Politik bertajuk ‘Ngegas Pindah Ibu Kota, Sudah Mendesak?’, Kamis (17/3/2022) malam.
Berbagai faktor yang membuatnya optimistis, dengan perpindahan IKN bisa membuat Indonesia lebih baik lagi. DKI Jakarta kini menjadi salah satu kota terpadat di dunia.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Mengurai Sentral Kekuasaan
Hal tersebut membuat kekuatan ekonomi, peran sosial dan politik lebih kuat di Jakarta. Dengan perpindahan IKN tersebut, lanjut Anggoro, ada sebuah benefit yang diperoleh. Salah satunya bisa mengurai sentral kekuasaan yang dominan terpusat di DKI Jakarta.
“Jakarta banyak menanggung peran itu, cermin dari kenyataan nasional. Garis politik sejajar dengan ekonomi. Dan ini akan menjadi rawan korupsi,” katanya.
Efek negatif dari sentral kekuasaan di DKI Jakarta, membuat potensi korupsi secara besar-besaran terjadi di DKI Jakarta, yang beriringan dengan ongkos politik yang besar juga.
Dari perspektif ekonomi, cost and benefit, dia menilai di era Presiden Jokowi inilah yang sangat pas dilakukan perpindahan ibu kota. Terutama untuk mengurai Jakarta yang menanggung beberapa peran penting sekaligus. Seperti locus budaya, politik, ekonomi, stabilitas, HAM dan lainnya.
Advertisement
Fase Medium Low
“Kita lagi di fase medium low. Inflasi bagus sekali, tidak sampai 4 persen per tahun, BI Rate sudah sangat stabil. (Perpindahan IKN) ini, sebuah terobosan awal boleh saja kelihatan tidak enak, tapi harus segera dilakukan,” ucapnya.
Dia mencontohkan Canberra yang menjadi ibu kota baru Australia, setelah dipindahkan dari Melbourne di tahun 1913. Awalnya Canberra sangat sepi, hanya diisi oleh gedung parlemen dan pemerintahan saja.
Namun lama kelamaan, Canberra sudah ramai dan menjadi pusat ibu kota Australia yang padat dan sibuk. Hal itu juga dinilainya akan terjadi di Kabupaten PPU Kaltim.
“Kalau sepi. Semua mengalaminya, dan seiring waktu akan ramai sendirinya. Jika menunggu selesai Pemilu 2024, politic risk akan naik, uang palsu akan bertebaran dan itu pernah terjadi di Indonesia,” katanya.