Liputan6.com, Pekanbaru - Persidangan dugaan penipuan investasi Rp84 miliar dengan terdakwa Agung Salim Cs sudah memasuki babak akhir. Dituntut 14 tahun penjara, anggota Keluarga Salim itu segera menghadapi vonis hakim di Pengadilan Negeri Pekanbaru.
Ragam pendapat terus muncul sebelum palu hakim diketuk. Jikalau sebelumnya ada pendapat petinggi Fikasa Grup itu bisa dibuktikan secara pidana, ada pula yang menyebut kasus ini masuk ke ranah perdata.
Advertisement
Baca Juga
Seperti yang disampaikan pakar hukum perdata, Dr Suherman SH LLM. Dia menegaskan penyelesaian kasus promissory note (PM) atau surat sanggup bayar oleh terdakwa Agung Salim Cs dalam investasi Rp84 miliar itu seharusnya diselesaikan lewat jalur hukum perdata.
Suherman berpendapat, masalah yang terjadi antara Fikasa Grup dengan 10 kreditur yang disidangkan di Pengadilan Negeri Pekanbaru, tidak tepat jika ditindak lewat hukum pidana.
"Promissory note termasuk dalam suatu perikatan, itu sebabnya, sengketa terkait promissory note seharusnya lewat mekanisme hukum perdata," kata Suherman, Senin pagi, 28 Maret 2022.
Suherman menjelaskan, berdasarkan pasal 1320 BW (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), syarat sah dari suatu perjanjian telah diatur dan ditentukan sedemikian rupa.
Jika syarat tersebut terpenuhi, maka perjanjian itu sah dan mengikat. Jika salah satu pihak melakukan ingkar janji (wanprestasi) atas perjanjian tersebut, maka pihak yang merasa dirugikan haruslah menempuh upaya hukum perdata.
"Hukum pidana itu bersifat ultimum remedium, sebagai upaya terakhir, proses perdata terlebih dulu diselesaikan," tegas Suherman.
Â
*** Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Simak video pilihan berikut ini:
Hukum Dagang
Menurutnya, PM telah diatur pula dalam pasal 174 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Jikapun ada PM yang dianggap tidak memenuhi unsur dalam pasal 174 tersebut, harusnya dibuktikan terlebih dahulu. Pembuktian promissory note yang dinilai tidak sah itu, mestinya ditempuh lewat mekanisme keperdataan, bukan lewat hukum pidana.
"Tidak serta merta dapat dikategorikan sebagai menyerupai simpanan, sehingga melanggar pasal 46(1) UU Perbankan, sebagaimana yang dituduhkan oleh JPU, karena harus dilakukan pengujian lebih dulu melalui sengketa keperdataan, bukan lewat jalur pidana," jelas Suherman.
"Sama halnya, pembatalan perjanjian atau perikatan yang telah dibuat, hanya dapat dibatalkan secara perdata pula karena memang promissory note merupakan bentuk perikatan yang bersifat perdata," tegas pengajar hukum perdata dan arbitrase ini.
Suherman juga menegaskan, persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi pihak yang membuatnya. Dalam hal ini, kata Suherman, berlaku asas kebebasan berkontrak, asalkan tidak melanggar undang-undang, kebiasaan dan kepatutan.
"Para pihak harus menghormati isi perjanjian yang telah dibuat secara bersama antara para pihak tersebut, jika ada pihak yang tidak melaksanakan kewajibannya, maka dapat ditempuh jalur perdata terlebih dahulu," kata Suherman.
Menurut Suherman, janji bunga yang tertuang dalam PM yang mengalami gagal bayar, belum bisa dikategorikan sebagai sebuah peristiwa pidana. Hal tersebut dapat mengacu pada pasal 1767 BW, dimana salah satunya adalah bahwa bunga, yang merupakan unsur yang tercantum dalam perjanjian utang piutang, dapat ditentukan oleh adanya persetujuan dua belah pihak yang membuat perjanjian.
"Dalam hal ini, penerima promissory note mendapat bunga dari apa yang tercantum dalam surat sanggup, bunga yang diperjanjikan dalam surat sanggup tersebut merupakan hal yang lumrah," jelas Suherman.
Suherman menilai sangat aneh apabila JPU menyebutkan karena adanya bunga menyebabkan surat sanggup tersebut menyerupai simpanan, sehingga bisa didakwa melanggar pasal 46(1) UU Perbankan.
"Kejadian penerbitan surat sanggup tersebut dikategorikan perjanjian yang diatur dalam KUHDagang sebagai perbuatan perdata," tegasnya.
Suherman juga mempertegas kalau dalam penanganan PM berdasarkan kesepakatan dan perikatan perjanjian (akta) ketika terjadi wanprestasi (gagal bayar), maka hukum yang tepat adalah melalui ranah hukum perdata.
Advertisement
14 Tahun Penjara
Sebelumnya, empat petinggi PT Fikasa Grup dituntut hukuman penjara selama 14 tahun. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana perbankan yang merugikan nasabah Rp84,9 miliar.
Keempat terdakwa adalah Bhakti Salim selaku Direktur Utama PT WBN dan Direktur Utama PT TGP, Agung Salim selaku Komisaris Utama PT WBN, Elly Salim Direktur PT WBN dan Komisaris PT TGP, dan Christian Salim selaku Direktur PT TGP.
Tuntutan itu dibacakan JPU Herlina Samosir pada Selasa, 1 Maret 2022. Tuntutan dibacakan kepada majelis hakim yang diketuai Dahlan SH.
Sementara terdakwa Maryani dituntut hukuman 12 tahun penjara. Dia merupakan Marketing Freelance PT Wahana Bersama Nusantara (WBN) dan Direktur Utama PT Tiara Global Propertindo (TGP).
Maryani terbukti bersalah karena turut serta melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga menghimpun dana dari masyarakat tanpa izin dari Bank Indonesia (BI) dan atau Otoritas Jasa Keuntungan (OJK).
Para terdakwa bersalah melanggar Pasal 46 ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Jo Pasal 64 ayat 1 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana.
Selain penjara, empat pimpinan PT Fikasa Group dituntut membayar denda masing-masing Rp20 juta subsidair 11 bulan kurungan. Sejumlah barang bukti juga turut dirampas untuk mengganti kerugian yang dialami para saksi korban, sebesar Rp84.916.000.000.
Untuk Maryani, JPU menuntutnya membayar denda sebesar Rp15 miliar. Dengan ketentuan, apabila tidak dibayarkan diganti dengan hukuman kurungan selama 8 bulan.