Sukses

Hakim Vonis Pidana Keluarga Salim, Penasihat Hukum Sebut Bentuk Kriminalisasi

Empat anggota keluarga Salim yang merupakan petinggi dari Fikasa Grup divonis melakukan tindak pidana oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Pekanbaru, penasihat hukum sebut sebagai kriminalisasi.

Liputan6.com, Pekanbaru - Pengadilan Negeri Pekanbaru memvonis empat petinggi PT Wahana Bersama Nusantara (WBN) dan PT Tiara Global Propertindo (PT TGP) 14 tahun penjara. Selain itu, keempat terdakwa yang tergabung dalam Fikasa Grup itu juga diwajibkan membayar denda Rp20 miliar.

Vonis terhadap Bhakti Salim alias Bhakti selaku Direktur Utama PT WBN dan PT TGP, Agung Salim selaku Komisaris Utama PT WBN, Elly Salim selaku Direktur PT WBN serta Komisaris PT TGP dan Christian Salim selaku Direktur PT TGP dibacakan pada Selasa malam, 30 Maret 2022.

Dalam amar putusannya, keempat Keluarga Salim itu dinyatakan majelis hakim yang diketuai Dahlan SH terbukti melakukan tindak pidana perbankan. Caranya melalui deposito promissory note, yang merugikan dana 10 orang nasabah senilai Rp84,9 miliar.

Terhadap vonis ini, tim penasihat hukum Fikasa Grup langsung menyatakan banding. Putusan ini dinilai tidak memberikan keadilan kepada para terdakwa yang meyakini kasus ini adalah murni perkara perdata.

"Kami mengajukan banding, Yang Mulia," kata Syafardi SH MH selaku tim kuasa hukum dari Keluarga Salim itu.

Syafardi menyatakan, vonis hakim tidak menimbang dan memahami dengan baik substansi perjanjian promissory note yang merupakan perjanjian perdata yang berlaku. Apalagi perjanjian itu merupakan kesepakatan bersama antara kreditur debitur.

 

*** Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Simak video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Putusan di Pengadilan Jakarta

Sementara itu, penasihat hukum lainnya Ade Palti Simamora menjelaskan, pelapor dalam perkara ini telah menerima bunga uang atas perjanjian tersebut. Itu termasuk dalam perjanjian pokok promissory note.

Ade Palti menerangkan, putusan hakim tidak menimbang secara utuh kalau promissory note adalah perjanjian yang telah disepakati bersama. Dia mempertanyakan bagaimana sebuah perjanjiannya dikategorikan sebagai simpanan.

"Apakah dunia bisnis di Indonesia yang mengeluarkan Perjanjian Surat Sanggup (promissory notes) dianggap semuanya melanggar pasal 46 ayat 1 UU Perbankan dan harus dipidanakan?" tanya Ade Palti.

Sebulan lalu, sambung Ade Palti, ada putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terkait Promisorry Notes Indosterling yang masuk perkara perdata.

"Apalagi dengan terbukti dari adanya penerimaan bunga oleh pelapor, hal ini menunjukkan keanehan dalam keputusan dari Majelis Hakim Pekanbaru, ada apa dibalik keputusan ini," tegas Ade Palti.

Selain itu, tim penasihat hukum juga menilai perhitungan hakim dalam putusan soal jumlah uang pelapor sebesar Rp84,9 miliar tidak tepat. Soalnya, menurut terdakwa jumlah uang pelapor hanya sebesar Rp80 miliar, berdasarkan pencatatan dana yang dibuktikan oleh terdakwa melalui penasihat hukum.

"Jumlah uang pelapor dalam putusan hakim tidak diperhitungkan dengan baik," tegas Ade Palti.

3 dari 3 halaman

Perjanjian Damai

Ia juga menjelaskan soal dilakukannya penggabungan perkara perdata dengan pidana sesuai pasal 98-101 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang tidak dilaksanakan sesuai kaidah hukum yang berlaku.

Padahal, saksi pelapor telah mendaftarkan diri untuk ikut dalam perjanjian perdamaian homologasi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sehingga, menurut Ade Palti, ini menunjukkan ketidakmampuan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru untuk mengetahui permasalahan perkara perdata ini.

"Apakah keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akan diabaikan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru," ujar Ade Palti

Selain itu, Ade Palti menilai jumlah ganti rugi melebihi yang dituntut para pelapor, seakan memperlihatkan adanya keanehan dalam vonis ini. Ini juga akan menjadi preseden buruk dalam dunia bisnis di Indonesia.

"Kasus ini akan mengguncang dunia bisnis, ketika perkara perdata dipaksakan ke ranah hukum pidana," kata Ade Palti.

Ia menjelaskan kalau kliennya tidak akan berputus asa atas putusan hakim tersebut. Segala upaya hukum akan dilakukan untuk mendapatkan keadilan yang hakiki.

"Kami akan terus memperjuangkan hak hukum klien kami dari kriminalisasi perkara perdata yang telah terjadi karena klien kami telah menempuh upaya perdamaian (homologasi) berdasarkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tahun 2020 lalu," tegas Ade Palti.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.