Liputan6.com, Yogyakarta - Kuliner belalang goreng khas kawasan Gunungkidul tentu sudah tak lazim di telinga masyarakat Yogyakarta, hingga para wisatawan. Namun bagaimana dengan ungkrung goreng atau ulat goreng, alias ulat pohon jati.
Kuliner ekstrem yang satu ini berasal dari larva hewan ngengat atau Hyblaea purea. Hewan ini hanya muncul pada musim penghujan saja, ketika daun-daun jati sebagai makanan alami mereka mulai menghijau kembali.
Pada saat inilah masyarakat setempat ramai-ramai datang ke kebun jati untuk mengumpulkan larva dan pupa ngengat atau ungkrup ini.
Advertisement
Musim ulat jati pun berakhir ketika para larva ini selesai bermetamorfosis menjadi ngengat, hanya sekitar beberapa minggu sejak ledakan populasi dimulai.
Baca Juga
Karena kehadiran hewan ini musiman, maka cukup sulit mendapatkan kuliner ini saat bukan musim panennya. Tidak seperti belalang goreng yang banyak dijajakan di tepi jalan.
Memburu ulat goreng ukup sulit, hanya dapat ditemui di beberapa warung lesehan yang berada di kawasan Wonosari saja. Proses pengolahan ungkrung goreng ini cukup sederhana.
Ulat dan kepompong yang baru diambil dari pohon akan dibersihkan bulunya dan dikukus untuk menghilangkan racun di kulitnya. Setelah matang, ulat bisa disimpan atau langsung digoreng dengan bumbu bacem, bumbu balado, dan berbagai bumbu lain untuk dimakan sebagai lauk atau camilan.
Meski bentuk kuliner ekstrem ini tidak seperti belalang goreng, namun masih memerlukan banyak keberanian untuk menyaptap kuliner ini dengan sepiring nasi hangat dan sambal. Begitu memasuki mulut, rasa renyah dari eksoskeleton si ulat terasa mendominasi.
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kaya Gizi
Sensasinya persis seperti saat memakan belalang goreng. Rasa renyah ini langsung digantikan rasa asin dan gurih dari bagian dalam tubuh si ulat, mirip seperti rasa udang.
Rasa ulat ini mampu membuat para penikmatnya ketagihan. Sejarah mengonsumsi ulat jati ini, bermula dari masa gaber atau krisis ekonomi dan musim paceklik di tahun 1960.
Pada saat itu bahan makanan sangat mahal dan sulit didapat, masyarakat Gunungkidul pun beradaptasi dengan alternatif makanan lain yang bisa ditemukan, termasuk belalang dan ulat jati sebagai alternatif protein pengganti daging.
Karena rasanya yang cukup lezat, kebiasaan ini pun diwariskan secara turun-menurun sebagai suatu kearifan lokal yang berharga. Meskipun rasanya lezat, ada juga yang kurang bisa menikmati rasa unik si ulat jati karena efek alergi yang ditimbulkan.
Biasanya, orang yang alergi terhadap makanan laut seperti udang, kepiting, cumi-cumi dan lain-lain, bisa mengalami reaksi alergi yang sama ketika memakan ulat jati. Penyebabnya, ada kelompok protein tropomyosin tertentu yang ada di jaringan tubuh si ulat dan beberapa satwa lain.
Ulat jati ini ternyata memiliki nilai gizi yang tinggi. Setiap 100 gram ulat kering mengandung protein hingga 68 gram, lebih tinggi dari kandungan protein daging sapi yang hanya 26 gram.
Kandungan lemak yang dimiliki ulat juga lebih rendah daripada sapi, hanya sekitar 5,6 gram per 100 gram ulat kering, sedang kandungan lemak sapi mencapai 15 gram per 100 gram daging sapi.
Selain nutrisi yang tinggi, ulat jati juga memiliki produktivitas yang lebih tinggi dengan carbon footprint yang rendah, sehingga lebih ramah lingkungan. Proses perkembangbiakan ulat dan serangga lain pun memiliki massa yang lebih tinggi daripada pertumbuhan sapi di peternakan, dengan kebutuhan luas yang rendah.
(Tifani)
Advertisement