Liputan6.com, Cilacap - Problematika Fiqih, khususnya yang menyangkut masalah-masalah yang baru seperti orang yang berprofesi sebagai sopir, apakah dapat dinamakan sebagai musafir atau tidak, perlu dilakukan kajian mendalam terkait statusnya.
Hal ini penting, sebab cara pandang yang berbeda terkait status yang melekat pada profesi tersebut akan melahirkan konsekuensi hukum yang berbeda. Jika seorang sopir dimaknai sebagai musafir, maka hukum yang berlaku boleh meninggalkan puasa. Namun sebaliknya, jika profesi supir bukan dimaknai sebagai musafir, maka tetap berlaku kewajiban berpuasa.
“Anda jangan hanya protes dengan ketentuan fiqih. Mengkaji yang sebanyak-banyaknya. Ya itu tadi, misalnya anda seorang supir permanen, sopir bis terutama, kalau supir truk kan bisa santai, kalau supir bis kan ada deadline nya,” kata Gus Baha mengutip kanal YouTube Ngaji Online.
Advertisement
Baca Juga
Menurutnya, pernah juga ketika beliau naik bus sering ditanya sopirnya perihal wajib atau tidaknya menjalankan ibadah puasa ramadan.
“Kadang-kadang kalau lihat saya sopirnya tanya, “Gus saya supir kalau bulan Ramadhan bagaimana ya? Saya tahu kelihatannya supirnya agak nakal dan menghendaki saya untuk menjawab boleh tidak puasa,” imbuhnya sembari berkelakar.
Gus Baha lantas menjelaskan bahwa hukum tidak boleh hanya bersandar pada logika liar yang dianggap benar karena hal ini berpotensi melanggar ketentuan ilmu.
“Tapi masalahnya secara fiqih, kalau kamu mengatakannya kamu harus berpuasa terus, maka kamu melanggar konstitusi ilmu. Memang musafir punya diskon boleh tidak berpuasa. Andaikan anda jadi ahli fiqih, jawab mana?,” tanya Gus Baha.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Apakah Sopir Termasuk Musafir?
Untuk mengetahui profesi sopir itu musafir atau bukan, Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an LP3IA yang juga Rais Syuriah PBNU ini mengutip pandangan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal terkait definisi safar (pergi).
Gus Baha mengutip pernyataan Imam Syafi’i yang disebut pergi itu dari rumahnya ke tempat yang asing, yang bukan wilayahnya.
Namun, menurut Imam Ahmad bin Hanbal yang dimaksud safar (pergi) itu tidak bekerja. Jadi seorang supir itu tidak pergi, melainkan bekerja.
Gus Baha mengilustrasikan jika seseorang pergi ke tempat kerja, maka hukum yang berlaku bukan pergi (safar), melainkan untuk bekerja.
“Tanyakan ke publik, misalnya anda ke UI, istri kamu atau suami kamu ditanya, istri kamu kemana? Kira-kira jawabnya bilang pergi jalan-jalan atau kerja,” tanya Gus Baha.
Dijawab oleh jamaah, “kerja”.
Jadi, profesi-profesi yang mewajibkan pergi, maka pelakunya tidak dapat disebut sebagai musafir yang boleh tidak puasa, melainkan sebagai ia sebagai pekerja.
“Makanya kata Imam Ahmad, orang yang berprofesi yang profesinya tersebut mengharuskan pergi seperti traveling atau supir, maka itu namanya bukan pergi tapi bekerja,” kata Gus Baha.
Atas dasar hal tersebut, maka menurut Gus Baha, ketika orang sengaja bepergian untuk bekerja, termasuk sopir dalam hal ini tetap berkewajiban menjalankan ibadah puasa.
Penulis: Khazim Mahrur
Advertisement