Liputan6.com, Jakarta - Di tengah dinginnya malam Ramadhan di Yogyakarta, Minggu 3 April 2022, tujuh anak remaja menggunakan lima sepeda motor berjalan beriringan menuju sebuah warung kopi. Kala itu jam menunjukkan pukul 02.00 WIB dini hari, mereka berniat santap sahur di warung langganan.
Sampai di warung kopi, sebagian langsung duduk memesan makanan, sementara sebagian yang lain belum sempat memarkir sepeda motornya, tiba-tiba melintas dua sepeda motor membawa lima orang remaja yang lain. Mereka membleyer gas sepeda motor, memain-mainkannya seperti mengejek kelompok remaja yang ada di warung kopi.
Baca Juga
Naik darah, sebagian remaja di warung kopi yang belum sempat mematikan sepeda motornya langsung mengejar dua sepeda motor yang mem-provokasi mereka. Sebanyak empat sepeda motor mengejar pelaku ke arah utara.
Advertisement
Tak disangka, kelompok remaja provokator itu lalu berhenti dan memutarbalikan kendaraannya, menunggu kelompok yang mengejarnya tiba. Pada saat itu mereka telah menyiapkan sejumlah senjata, termasuk gir yang diikat pada tali.
Remaja di sepeda motor pertama berhasil lolos dari pukulan benda tajam. Remajadi sepeda motor kedua juga berhasil mengelak, namun sayang satu orang yang dibonceng tak sempat menghindar, sabetan tali berujung gir mampir di kepalanya. Dia terjatuh ke jalan dengan kepala bersimbah darah.
Melihat itu, dua sepeda motor lain dari kelompok pengejar putar arah. Sementara kelompok pelaku melarikan diri ke arah selatan. Sedangkan korban bersama temannya melanjutkan jalan mencari pertolongan ke arah timur.
Korban yang sudah tak berdaya sempat ditemukan petugas Direktorat Shabara yang kebetulan sedang berpatroli. Saat itu, korban yang diketahui bernama Daffa Adzin Albasith, seorang pelajar SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta langsung dibawa ke Rumah Sakit Harjolukito. Namun nahas nyawanya tak tertolong, Daffa meninggal dunia setelah sampai di rumah sakit.
Peristiwa nahas di malam Ramadhan itu menambah panjang catatan kelam kejahatan jalanan yang sering disebut aksi klitih di Yogyakarta. Korps penegak hukum langsung bergerak mencari pelaku.
Esoknya, Dirreskrimum Polda Daerah Istimewa Yogyakarta Kombes Pol Ade Ary Syam Indriadi mengatakan pihaknya masih mencari pelaku berdasarkan keterangan saksi hansip, petugas busway, dan orang-orang yang terlibat. Tak hanya itu, polisi juga melihat jejak pelaku dari CCTV.
Selang sekitar seminggu kemudian, tepatnya Selasa 12 April 2022, kelompok pelaku baru berhasil tertangkap. Namun apakah tertangkapnya para pelaku menjamin kejadian serupa tidak terulang? Lalu apa tindakan yang harus dilakukan?
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Klitih dan Kenakalan Remaja
Minggu 3 April 2022, rumah almarhum Daffa Adzin Albasith dipadati sanak saudara dan tetangga yang datang berbela sungkawa. Orangtua Daffa yang juga anggota DPRD Kebumen Madkhan Anis saat itu meminta polisi segera mengusut tuntas kasus ini dan menangkap para pelaku.
Daffa adalah anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Madkhan Anis dan Turyani Widyastuti. Daffa menurut penuturan orangtua, meminta sendiri untuk melanjutkan sekolah di Yogyakarta, tepatnya di SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta.
Sang ibu, Turyani, berharap apa yang menimpa anaknya tidak terulang lagi di kemudian hari. Dia berharap, peristiwa ini yang terakhir. Jenazah Daffa yang tiba di rumah duka pada Minggu siang (3/4/2022), kemudian langsung dimakamkan di Buayan, Kebumen.
Selasa (12/4/2022) polisi merilis keberhasilan menangkap para pelaku klitih yang menyebabkan Daffa Adzin Albasith meninggal dunia. Direskrimum Polda DIY Kombes Pol Ade Ary Syam Indriadi mengatakan, pihaknya akan memanggil para orangtua korban dan pelaku untuk dimintai keterangan.
"Apakah setidaknya mereka mengetahui anak-anak keluar rumah atau kos pada waktu yang sudah sangat larut," katanya.
Tak hanya orangtua, guru-guru mereka dan kepala sekolah juga akan dipanggil untuk dimintai keterangan. Bukan tanpa sebab, berdasarkan informasi dari para orangtua dan guru itu, polisi menyebut, tindakan kejahatan jalanan alias klitih bisa dicegah dan diminimalisir, agar tidak terulang kembali di kemudian hari.
Ade Ary mengatakan, klitih dikategorikan sebagai tawuran karena dilakukan oleh dua kelompok. Kebetulan saja, katanya, salah satu kelompok lebih siap dari yang lain dan kemudian menjadi pelaku. Sedangkan kelompok yang tidak siap akan menjadi korban. Ade menyebut kondisi bisa berbalik 180 derajat sehingga kedua kelompok memiliki potensi yang sama untuk berubah menjadi pelaku atau menjadi korban.
Ade juga memastikan korban aksi kejahatan jalanan bukan korban acak tetapi menjadi bagian dari salah satu kelompok. Sementara itu, lima pelaku aksi kejahatan jalanan di Jalan Gedongkuning yang menyebabkan tewasnya Daffa, semuanya tidak lagi dikategorikan sebagai anak-anak, karena sudah berusia 18-21 tahun.
"Ada yang masih bersekolah tetapi ada juga alumni dari sekolah yang sama," kata Ade.
Ade berharap istilah 'klitih' dikembalikan ke makna yang sebenarnya karena dalam beberapa tahun terakhir mulai bergeser ke makna yang terasa menyeramkan dan cenderung negatif. Awalnya, kata 'klitih' memiliki makna berjalan-jalan untuk santai atau mencari sesuatu yang bersifat positif.
"Kalau bukan warga Yogyakarta yang mengembalikan. Lalu siapa lagi. Semua orang harus menciptakan agar suasana Yogyakarta aman," katanya.
Advertisement
Apa Itu Klitih?
Usai meninggalnya Daffa, istilah 'klitih' menjadi sorotan lagi. Tindak kriminal klitih ini bukanlah hal yang baru, terutama bagi warga Yogyakarta. Seperti yang terjadi pada empat tahun lalu, Juni 2018, ketika seorang mahasiswa UGM asal Semarang, tewas diserang orang tak dikenal dengan celurit usai membagikan makan sahur kepada warga di jalanan.
Mahasiswa UGM ini dibacok punggungnya saat berboncengan sepeda motor dengan temannya menuju indekos. Dia menderita luka sobek sepanjang kurang lebih 9 cm di punggung sebelah kiri dengan kedalaman sekitar 8 cm.
Masyarakat Yogyakarta menyebut penyerangan ini dengan istilah 'klitih'. Lantas, apa yang dimaksud klitih.
Istilah klitih sejatinya bermakna positif. Dalam bahasa Jawa, klitih memiliki arti berkegiatan di luar rumah untuk mengisi waktu luang.
Klitih sebelumnya dimaknai sebagai kegiatan untuk jalan-jalan ataupun keliling kota untuk mengisi waktu luang dan bertujuan mencari sesuatu yang positif. Sayangnya, makna positif itu kini cenderung berubah menjadi negatif.
Klitih dikaitkan dengan kekerasan jalanan yang menargetkan pengendara sepeda motor. Ironisnya, pelaku klitih umumnya pelajar atau remaja.
Fenomena klitih marak terjadi di Yogyakarta. Alhasil, tak sedikit masyarakat yang kini takut berwisata di Kota Pelajar tersebut. Ketakutan masyarakat kiranya beralasan. Pasalnya, klitih kini tak lagi pandang bulu.
Pada awal mulanya, klitih hanya terjadi ketika perselisihan antarsekolah. Para pelajar yang umumnya laki-laki mencari musuh dengan datang ke tempat nongkrong atau di jalan.
"Awalnya klitih merupakan istilah untuk remaja yang keluar rumah tanpa tujuan, lalu sebelum 2012 klitih mulai berubah menjadi perselisihan antar sekolah,” kata kriminolog, Haniva Hasna kepada Health Liputan6.com.
Aksi klitih saat ini pun muncul sebagai perilaku yang menyimpang dan juga berpotensi kejahatan lantaran dilatarbelakangi oleh keberadaan kelompok-kelompok remaja yang biasa disebut sebagai geng.
"Secara psikologis, kehadiran kelompok-kelompok atau geng ini memunculkan sebuah keinginan untuk diakui keberadaannya. Oleh karena itu, sangat relevan jika keberadaannya diimplementasikan dalam bentuk aktivitas fisik atau nyata sebagai ajang adu kekuatan. Salah satunya yakni dengan klitih," tambah Haniva.
Berbeda dengan begal, aksi klitih tidak mengincar harta benda korban. Bahkan, korban tidak dipilih atau diincar sebelumnya, melainkan ditentukan secara acak, tetapi berusia remaja atau pelajar.
Perang Sarung
Tidak hanya klitih, di wilayah Yogyakarta juga tengah marak tindak kriminal yang dilakukan remaja, yakni perang sarung. Mungkin sebagian dari kita pernah bermain perang sarung usai salat berjemaah di masjid, tetapi perang sarung yang menjadi tindak kriminal ini terjadi ketika sarung digunakan untuk tawuran, ditambah kondisinya yang sudah dimodifikasi, misalnya ditambah batu sehingga tentu bisa melukai lawan.
Apalagi jika permainan anak-anak yang berubah menjadi ajang tawuran, disertai dengan penggunaan sejumlah senjata tajam. Tidak hanya meresahkan warga sekitar, tetapi juga nyawa menjadi taruhannya.
Dalam 10 hari Ramadhan, puluhan remaja kota pelajar ini terjaring usai perang sarung dengan kelompok lawannya. Di Bantul, Selasa, 5 April 2022, puluhan ABG diamankan Polres Bantul karena tawuran perang sarung.
Rupanya, dua kelompok yang bersitegang ini telah janjian melalui WhatsApp. Mereka telah menentukan waktu dan tempat tawuran. Aksi ini menelan seorang korban luka-luka, karena dianiaya kelompok lawan.
Tak berselang lama, tepatnya sepekan kemudian, aksi tawuran perang sarung terjadi juga di Gunungkidul. Tiga polsek berhasil mengamankan 21 remaja yang diduga terlibat aksi yang meresahkan warga ini.
Salah seorang pelaku mengaku ikut perang sarung karena diajak teman satu sekolah. Sementara, teman mainnya tersebut juga diajak temannya yang lain. Dia pun juga mengajak teman-teman lain untuk ikut perang sarung.
"Hanya diajak teman, terus saya ajak teman lain juga. Dan cuma hiburan usai salat tarawih," katanya.
Pelaku lain, NAZ mengaku hanya melihat perang sarung dari teman-temannya. NAZ sendiri merasa takut mengikuti perang sarung tersebut.
"Saya hanya melihat dari jarak jauh karena saya takut," jelasnya.
Tentu aksi anak-anak tanggung ini tidak diketahui orangtua. Salah satu orangtua mengaku kaget saat dipanggil pihak polisi terkait perang sarung. Orangtua tersebut mengaku bahwa setiap malam sehabis salat tarawih, anaknya mengatakan berada di masjid bersama teman-temannya hingga menjelang sahur.
"Biasanya cuma di masjid sampai sahur, tapi ternyata malah ikutan perang sarung," katanya.
Advertisement
Kata Kriminolog
Aksi kejahatan jalanan atau yang disebut klitih dan kenakalan remaja lainnya di Yogyakarta terjadi bukan tanpa motif. Hal itu setidaknya diungkapkan Kriminolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Suprapto.
"Motif jelas ada. Untuk jati diri kelompok, pelampiasan kekecewaan atau ketidakpuasan menjalani hidup maupun rekrutmen pimpinan atau anggota baru (kelompok)," kata Suprapto.
Suprapto yang juga pengajar di Departemen Sosiologi UGM ini menyebut, fenomena kejahatan jalanan yang belakangan masih meresahkan masyarakat Yogyakarta tidak muncul secara tiba-tiba.
Menurut dia, kendati para pelakunya yang kebanyakan berusia remaja, tidak sedikit yang berhasil diringkus aparat kepolisian, tampaknya belum secara signifikan membuahkan efek jera bagi pelaku lainnya untuk sama sekali menghentikan aksi kriminalitas itu.
Suprapto menduga ada indoktrinasi yang diberikan secara konsisten oleh para aktor atau senior di belakangnya, sehingga membuat para pelakunya berani melakukan aksi kekerasan di jalanan, dan biasanya ditambah dengan konsumsi minuman keras untuk memompa nyali mereka.
Dengan kondisi tersebut, menurut dia, penanganan aksi kejahatan jalanan tidak akan cukup jika sekadar memberikan sanksi hukuman kepada pelaku yang tertangkap.
"Harus berusaha mencari penyebab dengan menelusuri siapa yang berada di belakang aksi kejahatan jalanan tersebut," kata Suprapto.
Lebih dari itu, upaya untuk memutus mata rantai klitih, lanjut dia, harus menjadi kesadaran dan tanggung jawab bersama. Tidak cukup jika hanya bergantung pada pemerintah atau aparat kepolisian semata.
"Lembaga keluarga, pendidikan, agama, ekonomi, dan pemerintah, termasuk masyarakat sesuai dengan kewenangan yang dimiliki perlu terlibat," kata Suprapto.
Di level masyarakat, partisipasi dapat diwujudkan dengan mencegah, menangkap, dan melapor atau membawa pelaku ke kantor polisi tanpa menghakimi sendiri.
"Jika menghakimi sendiri, masyarakat bukan sedang menjadi bagian dari solusi. Akan tetapi, justru menjadi bagian dari masalah karena berusaha mengatasi masalah dengan menciptakan masalah baru," katanya menjelaskan.
Selain itu, kata Suprapto, lembaga pendidikan perlu meningkatkan intensitas implementasi pendidikan karakter bagi para siswa didik.
Secara bersamaan, lembaga keluarga juga harus mampu memenuhi fungsi sosialisasi, pendidikan, dan perlindungan sehingga anak tidak akan terjerumus dalam perilaku anarkis.
"Perilaku manusia, termasuk anak dan remaja memang ditentukan oleh asal dan ajar. Asal adalah perilaku atau karakter bawaan lahir, sedangkan ajar adalah perilaku hasil didikan atau sosialisasi," kata Suprapto.
Menurut dia, hal yang tidak kalah penting perlu dilakukan oleh masyarakat adalah mengkaji terlebih dahulu mengenai maraknya pembicaraan tentang perilaku aksi klitih ini.
"Mana berita aksi kejahatan jalanan yang nyata-nyata terjadi saat ini, mana yang merupakan rekaman peristiwa yang lalu, dan mana yang hoaks karena ternyata tidak semua kabar tentang aksi kejahatan jalanan itu benar adanya," katanya.
Solusi Tekan Tindak Kriminal Remaja
Lalu bagaimana menyetop fenomena klitih dan kenakalan remaja? Suprapto mengatakan, klitih selalu terjadi di malam hari. Sehingga dipastikan saat ini fungsi utamanya keluarga seperti sosial, pendidikan, norma, budaya dan proteksi tidak dilakukan dengan baik. Sehingga remaja cenderung lebih nyaman dengan teman-temannya.
"Mestinya kalau ada anak yang tidak di rumah maka orang tua seharusnya dipertanyakan di mana, sedang apa, nah sekarang saya menangkap saat ini banyak orangtua yang sudah tidak peduli, yang penting anak itu tidak menganggu aktivitas orang tua maka dibiarkan dia di mana saja," kata Suprapto kepada Liputan6.com di Jakarta, Rabu, (13/4/2022).
Sehingga untuk mengatasi fenomena klitih ini, seharusnya para orangtua memenuhi fungsi utamanya. Selain itu, lembaga pendidikan juga harus menerapkan kurikulum berkarakter.
Selain itu, media juga memiliki peran penting untuk mendidik anak-anak dan remaja, misalnya tidak menayangkan tayangan berbau kekerasan dan mengajak konsumtif. Selain itu, perlu juga adanya keterlibatan lembaga agama dan pemerintah.
"Kalau itu terintegrasi dengan baik saya kira itu bisa diminimalkan," ujar dia.
Suprapto mengatakan, dengan ditangkapnya pembunuh Daffa, maka sebenarnya sasaran serangan kelompok remaja ini bukan dilakukan secara acak. Namun, mengarah pada kelompok remaja atau pelajar yang berpotensi dijadikan musuh.
"Sesuai pembelokan makna klitih yang di maknai kegiatan mencari musuh-musuh. Maksud acak yang terjadi bukan berarti sembarang pengguna jalan, namun sembarang kelompok yang berpotensi dijadikan musuh," ujar Suprapto.
Sebenarnya, kata dia, pihak kepolisian sudah menjalankan fungsinya dengan baik dengan melakukan tindakan preventif. Namun, dia menyarankan agar pihak berwenang perlu melakukan pendalaman kepada orangtua kelompok pelaku maupun korban untuk mengetahui bagaimana bisa anak-anak berada di luar rumah sampai larut malam.
Sementara kepada masyarakat tidak perlu takut jadi korban, asal saat bertemu atau papasan dengan kelompok mereka jangan terpancing merespons apa pun.
Sementara itu, dari pihak aparat kepolisian segala sesuatu akan dilakukan untuk menekan maraknya klitih dan mengembalikan lagi citra Daerah Istimewa Yogyakarta yang humanis.
Polres Bantul DIY misalnya, memerintahkan anggotanya untuk blusukan ke SMA/SMK guna mencegah sejak dini tawuran pelajar dan segala bentuk kejahatan jalanan alias klitih.
Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Bantul AKBP Ihsan mengatakan, antisipasi kejahatan jalanan pihaknya sudah melakukan upaya preemtif, preventif, dan represif.
"Preemtif itu pencegahan, kita cegah atau menangkal sejak dini. Sekarang saya perintahkan Kasat Binmas (Kepala Satuan Pembinaan Masyarakat) bersama Bhabinkamtibmas mendatangi sekolah-sekolah yang memang rawan siswanya menjadi pelaku kejahatan jalanan," katanya.
Dia mengatakan anggotanya akan mendatangi SMK yang siswanya rawan terlibat kejahatan jalanan. Anggota kepolisian datang ke sekolah didampingi guru akan merazia tas yang kemungkinan berisi benda tajam atau barang yang tidak semestinya dibawa saat sekolah.
Bahkan, katanya, anggota Satuan Lalu Lintas (Satlantas) diinstruksikan pula mendatangi sekolah untuk merazia siswa yang membawa kendaraan bermotor karena ada kemungkinan para siswa belum memiliki SIM dan kelengkapan lainnya.
Polres Bantul juga menggiatkan razia knalpot blombongan atau tidak sesuai standar, termasuk razia anak yang membawa sepeda motor dan jika kedapatan ada pelanggaran, maka polisi akan menindak tegas dengan tilang.
"Bahkan saya sudah perintahkan Kasat Lantas terkait kejahatan jalanan ini atau tawuran, kalau siswa tidak mempunyai SIM dan tidak memakai helm, maka akan kita tahan sepeda motornya sampai usai Lebaran 2022," katanya.
Dia mengatakan hal itu bertujuan agar anak-anak yang belum waktunya mengendarai sepeda motor jera dan tidak berlaku sembarangan di jalan.
Advertisement
Awas Cepu!
Kapolres Bantul AKBP Ihsan sangat menyadari, penanganan kejahatan jalanan dan pelajar tidak bisa dilakukan sendiri oleh jajaran kepolisian, namun harus ada keterlibatan dari semua pihak, terutama orangtua dan masyarakat.
"Pelaku kejahatan jalanan dan tawuran ini masih usia sekolah, jadi perlu keterlibatan semua pihak," kata Ihsan, Selasa (12/4/2022).
Ihsan sendiri punya cara agar keterlibatan masyarakat semakin nyata dalam memerangi kejahatan jalanan yang kini semakin marak. Dirinya akan memberikan hadiah pelayanan SIM gratis bagi warga yang mau mencegah terjadinya kejahatan jalanan dan tawuran remaja.
"Kami siap memberikan penghargaan dan pelayanan SIM gratis bagi masyarakat yang bisa melaporkan atau melaporkan para pelaku kejahatan jalanan dan tawuran di wilayah Bantul," katanya.
Ihsan menuturkan, ia akan memberikan penghargaan pelayanan SIM gratis kepada warga, hal itu disesuaikan dengan kemampuan masyarakat. Jika hanya memiliki kemampuan untuk mengendarai roda dua maka nanti yang digratiskan adalah PNPB (Penerima Negara Bukan Pajak) pembuatan atau penambahan SIM C bukan SIM A.
"Kami yang akan membayar biaya-biaya PNBP yang ada dalam proses penerbitan SIM. Sementara bagi masyarakat yang sudah memiliki SIM nanti saya kasih nomor HP dan ingatkan saya kalau masa berlaku SIM sudah hampir selesai. Silahkan datang ke kantor untuk penambahan SIM," tuturnya.
Ihsan berharap, dengan cara ini dapat meningkatkan partisipasi masyarakat terkait menjaga kawasan di wilayah Bantul agar tidak terjadi lagi kejatahan jalanan maupun tawuran. Bahkan, pihak kepolisian selalu siap jika warga melaporkan saat kejadian maupun baru akan kejadian.
"Tentunya kita menginginkan Kabupaten Bantul ini bersih dari kejahatan kejahatan maupun tawuran. Jadi komunikasi antarwarga, komunikasi warga dengan polisi lebih ditingkatkan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan," katanya.
Memang tidak bisa dipungkiri, kolaborasi pemerintah daerah, aparat penegak hukum, para pendidik, dan orangtua menjadi formula yang tepat untuk menekan angka kejahatan jalanan yang biasa dilakukan para remaja. Semuanya harus turun tangan mengambil bagian atas tanggungjawab memberikan rasa aman kepada masyarakat.
Sementara di level masyarakat, partisipasi dapat diwujudkan dengan mencegah, menangkap, dan melapor atau membawa pelaku ke kantor polisi tanpa menghakimi sendiri. Kalau sudah begini masih ada terong-terongan yang berani buat onar?