Liputan6.com, Pacitan - Pacitan dijuluki sebagai kota 1001 Goa. Banyak goa-goa menawan di Pacitan, meski beberapa juga menyisakan cerita misteri. Salah satunya Goa Gong, yang terletak di Dusun Pule, Desa Bomo, Kecamatan Punung, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Disebut Goa Gong karena di dalamnya terdapat sebuah batu yang jika dipukul akan menimbulkan bunyi seperti Gong yang ditabuh.
Ayu, sapaan akrabku. Kala itu pukul 16:00 WIB, aku tiba di Goa Gong bersama keluarga, setelah menyambangi kampung halaman kedua orang tua yang terletak di Wonogiri.
Baca Juga
Jarak dari Wonogiri ke Pacitan sekitar 1 jam menggunakan mobil. Karena sudah sore, kami langsung bergegas memesan ojek menuju gerbang tiket Goa Gong. Jarak dari parkiran mobil menuju gerbang tiket sekitar 1 Km, dapat ditempuh dengan jalan kaki atau menggunakan ojek yang kebanyakan dilakoni warga setempat.
Advertisement
Dari gerbang tiket menuju bibir Goa masih 300 meter lagi, jalanannya berupa tangga naik turun dan dihiasi banyak pedagang menawarkan cinderamata khas Goa Gong.
"Jangan bicara sembarangan di tempat orang lain, kita hanya tamu," ibuku mengingatkan. Aku tidak ikut menuruni Goa. Malas, ditambah suasana goa yang panas dan sempit.
Goa ini memiliki pintu masuk dan pintu keluar yang sama, hanya dibatasi tali untuk pembeda. Jelas terekam dalam ingatan, keluargaku diapit oleh keluarga yang berasal dari Jakarta. Setelah keluargaku turun, aku mencari tempat duduk, diikuti wanita paruh baya yang tidak ikut menuruni goa. Aku menyempatkan berbincang dengan beliau.
Seraya melempar senyum aku membuka obrolan, "Ibu darimana?," tanyaku.
“Saya dari Jakarta nih mbak, mbaknya darimana?,” jawabnya.
"Saya dari Bekasi bu, tadi habis dari tempat mbah di Wonogiri, jadi sekalian mampir ke Goa ini. Oya, ibu ga ikut turun?," timpalku.
"Nggak mbak, kaki saya udah nggak kuat hehe maklum sudah tua. Mbaknya sendiri ga ikut turun?," jawabnya sambil sedikit menggoda.
"Nggak bu, saya males hehe, Goanya panas terus sumpek, nggak kaya Goa Jatijajar yang di Purwokerto, disitu mah adem, tempatnya juga lebar, nggak sempit kaya Goa ini," jawabku seraya memandangi seisi Goa.
Menjelang Gelap
Sore itu atau sekitar pukul 17:00 WIB, orang-orang mengantri menaiki tangga, aku mengamati satu per satu orang yang naik, mata ini mencari-cari orang tua dan adikku.
Saat mengamati lalu lalang orang, aku dikagetkan suara lelaki yang ternyata penjaga goa. "Mbak nunggu siapa disini? Di bawah sudah kosong ndak ada orang," kaget bukan main aku mendengarnya.
"Saya masih nunggu orang tua saya pak, mereka masih di bawah kayaknya, karena saya belum lihat mereka naik," jawabku sambil menahan tangis. Perasaanku makin berkecamuk saat mencoba menghubungi orang tuaku. Ternyata tak ada sinyal.
"Ya sudah saya bantu cari lagi di bawah ya mbak, mbak tenang dulu," jawabnya sambil mencoba menenangkanku.
Penjaga itu belum naik, tiba-tiba bapakku datang sambil mengomel. "Kemana aja kamu, bapak cariin, kirain udah duluan ke parkiran," tanya dia.
Tangisku pun pecah. "Daritadi aku duduk disini, nggak kemana-mana, aku juga nggak lihat kalian naik," jawabku.
"Ditelfon nggak aktif, dichat juga cuma centang satu," timpal bapakku lagi. Aku pun diam.
Hari sudah hampir gelap, kami memutuskan untuk langsung naik ojek kembali ke parkiran mobil. Dalam perjalanan pulang, sekali lagi kuceritakan bahwa aku benar-benar tak melihat mereka keluar.
Ibuku kembali meyakinkanku bahwa mereka sebenar-benarnya juga tak melihatku duduk di dalam Goa. Hening menyeruak seisi mobil. Sembari merebahkan badan di jok mobil, sejenak aku ingat kembali kejadian sore itu.
Aku ingat!
Tangga yang ada di dalam Goa sangat sempit, tidak ada sela untuk menyelak. Di tengah-tengah keluarga Jakarta, harusnya ada keluargaku. Tetapi ruang itu kosong dan hitam. Saat itu pikirku mereka masih di bawah untuk berfoto. Ternyata tidak. Sampai kini aku pun tak menemukan jawaban, apa di balik kosong dan hitam yang menutupi pandanganku kepada keluargaku, begitu pun sebaliknya.
Advertisement