Liputan6.com, Pekanbaru - Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Riau menetapkan tersangka pemberian kredit menggunakan surat perintah kerja fiktif di Bank Jawa Barat dan Bantan (BJB) Cabang Pekanbaru. Tersangka dimaksud merupakan nasabah BJB Pekanbaru berinisial AB.
Kabid Humas Polda Riau Komisaris Besar Sunarto menjelaskan, pemberian kredit ini termasuk dalam tindak pidana korupsi karena telah merugikan negara. Pihaknya sudah mengantongi audit dengan total kerugian Rp7,2 miliar.
Advertisement
Baca Juga
"Adapun tersangka AB merupakan pengelola sejumlah perusahaan swasta di Pekanbaru," kata Sunarto, Rabu siang, 20 April 2022.
Sunarto menjelaskan, pengusutan tindak pidana korupsi perbankan pada BJB Pekanbaru mulai dilakukan pada Desember 2021. Selanjutnya pada 13 Desember 2021 Polda Riau menerbitkan surat perintah.
Tak lama berselang, Direktorat Reskrimsus Polda Riau menerbitkan Surat Perintah Dimulai Penyidikan kepada jaksa di Kejati Riau dan pemberitahuan adanya tersangka pada April ini.
"Tindak pidananya terjadi pada tahun 2015 hingga 2016," ucap Sunarto.
Sunarto menjelaskan, tersangka AB pada 18 dan 23 Februari 2015 mengajukan permohonan agar mendapatkan fasilitas kredit modal kerja konstruksi di BJB Pekanbaru.
Â
*** Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Surat Fiktif
Tersangka AB diduga menggunakan surat perintah kerja tidak sah atau fiktif terhadap kegiatan di DPRD Provinsi Riau dan Dinas Pendidikan Kabupaten Kuantan Singingi. Penggunaan surat fiktif mengakibatkan kredit macet karena sejumlah perusahaan AB tidak ada sumber pengembalian dana.
"Pengajuan modal kerja konstruksi ini menggunakan surat perintah kerja fiktif sehingga dana seharusnya menjadi sumber pengembalian kepada pihak bank tersebut tidak ada," tegas Sunarto.
Selama mengusut kasus ini, penyidik telah meminta keterangan 25 orang. Sebanyak 15 di antaranya berasal dari BJB Pekanbaru, empat saksi kontraktor, tiga dari sekretariat dewan dan satu dari dinas pendidikan.
"Kemudian lima saksi dari pihak yang menarik atau mencairkan cek dan tiga ahli," jelas Sunarto.
Atas perbuatannya, tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Tersangka terancam pidana paling singkat 4 tahun, paling lama 20 tahun hingga penjara seumur hidup dan denda paling banyak Rp1 miliar," ucap Sunarto.
Advertisement