Liputan6.com, Pekanbaru - Petani sawit terus menjerit karena terjun bebasnya harga tandan buah segar (TBS). Bahkan ada hasil panen petani membusuk karena pabrik kelapa sawit tidak mau membelinya dengan alasan memprioritaskan panen kebun mereka.
Di Riau, imbas kebijakan larangan ekspor CPO oleh pemerintah ini membuat harga sawit yang sempat menembus Rp4 ribu per kilo kini menjadi Rp2,9 ribu di atas kertas. Namun di lapangan tidak sampai seharga itu karena terkadang hanya dihargai Rp1,3 ribu per kilogram.
Advertisement
Baca Juga
Keadaan ini berlangsung sebelum dan sesudah Lebaran Idul Fitri lalu, persisnya ketika Presiden Joko Widodo resmi melarang ekspor CPO. Alasannya saat itu untuk mengendalikan minyak goreng yang hingga kini harganya masih tinggi.
Jeritan petani sawit ini membuat organisasi Sawitku Masa Depanku (Samade) mengirim surat terbuka kepada orang nomor satu di Indonesia itu.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Samade, Tolen Kataren berharap Jokowi mendengar jeritan petani sawit di seluruh Indonesia.
"Semua petani sawit merasakannya saat ini," kata Tolen didampingi wakilnya, Abdul Aziz dan Sekretaris Jenderal Okslan Juma Indri, Senin petang, 16 Mei 2022.
Tolen menyatakan petani sawit saat ini menangis melihat hasil panen mereka membusuk di bak truk karena tidak diterima oleh pabrik.
"Petani juga menyaksikan sawit membusuk di pohonnya karena tidak laku lagi," kata Tolen.
Tolen menjelaskan, Samade merupakan organisasi petani sawit yang mewadahi ribuan petani di 11 provinsi di Indonesia. Dia menyebut anggota dan petani di luar organisasi merasakan hal serupa.
"Kami berharap pemerintah kembali membuka keran ekspor," kata Tolen.
*** Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Berikut Isi Suratnya
Dengan hormat, Bapak Presiden…
Kami tidak tahu lagi mau memulai dari mana untuk menyampaikan unek-unek kami kepada Bapak, bahwa kami, 14 ribuan kepala keluarga petani kelapa sawit yang tergabung dalam organisasi Sawitku Masa Depanku (SAMADE) di 11 provinsi di Indonesia, sudah tak lagi bisa membendung air mata melihat Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit kami membusuk di dalam bak-bak truk pengangkut yang antri mengular lantaran pabrik sudah tidak mau lagi menerima TBS.
Kami yakin saudara kami petani sawit swadaya lainnya yang tergabung di organisasi petani sawit lainnya, juga merasakan hal yang sama. Hanya bisa memandangi TBS yang perlahan membusuk, dan itu tidak hanya di bak-bak truk itu lagi, tapi sudah juga akan kami saksikan di pohon-pohon kelapa sawit di kebun kami. Sebab mau tak mau kami harus berhenti memanen sawit itu lantaran sudah tidak laku akibat dari larangan ekspor yang Bapak buat sejak tanggal 28 April 2022 lalu.
Bapak Presiden…
Saban hari media selalu mengatakan bahwa dari total 16,38 juta hektar kebun kelapa sawit di Negara kita tercinta ini, 42% dari luasan itu adalah kebun kami petani, dan hanya 5% di antara kami petani plasma atau KKPA. Itu berarti, apapun kebijakan yang dibuat oleh negara terkait kelapa sawit, pasti akan berdampak kepada kami.
Harga pupuk naik hingga 300%, Pungutan Ekspor (PE) membengkak hingga 500%, kami diam saja.
Advertisement
Kritik Menteri
Kebun-kebun kami ujug-ujug diklaim masuk dalam kawasan hutan, kami juga diam saja. Dan kami kemudian tidak bisa menikmati Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang duitnya notabene dari hasil PE, kami diam saja. Uang PE yang kemudian dipakai untuk mensubsidi bahan bakar mesin-mesin diesel dalam program B30, kami diam saja.
Sepanjang kami masih bisa menahankan meski beban yang dibebankan kepada kami itu terasa sangat berat, kami tidak pernah dan memang tidak mau usil dan mengeluh Pak. Sebab kami sudah terbiasa hidup mandiri, sesakit apapun itu.
Terlalu panjang lembaran surat ini jika kami ceritakan semua derita yang pernah kami alami untuk bisa berkebun kelapa sawit, untuk bisa sampai pada situasi kami sekarang.
Kami tidak pernah menggembar-gemborkan kalau sebenarnya ‘kampung’ kami telah kami jual demi memperbaiki hidup dan kehidupan kami, kami merantau jauh, dan kami harus jatuh bangun mengantarkan hasil panen kami ke tengkulak, masih hanya penggalan kecil dari kisah kami.
Banyak orang melupakan perjuangan kami itu. Yang mereka lihat hanya kondisi kami sekarang, kondisi yang mulai membaik tanpa kami harus menadahkan tangan kepada pemerintah dan bahkan kepada Bapak.
Seharusnya Bapak bangga kepada kami, kepada rakyat Bapak yang bermental petarung ini, rakyat yang telah memberikan devisa hingga 42% dari Rp510 triliun total devisa pada 2021, juga 42% dari total Rp156 Triliun Bea Keluar (BK) dan PE yang ada.
Tapi boro-boro bangga, hanya gara-gara pembantu Bapak tidak becus mengurusi kebutuhan minyak goreng dalam negeri, Bapak korbankan kami dengan membuat keputusan yang bagi kami teramat sadis; menyetop ekspor RBDP Oil, RBDP Olein dan CPO.
Kami mengatakan begitu lantaran bapak telah memutus rantai perdagangan TBS kami tanpa Bapak terlebih dahulu menyiapkan solusi alternatif agar TBS kami tetap laku dengan harga yang sedang berlaku saat itu. Yang kami dengar, lagi-lagi menurut Bapak demi kepentingan rakyat.
Jaga Negeri
Bapak Presiden…
Kalau sawit kami sudah tidak laku, anak-anak kami terancam tidak bisa membayar uang sekolah, buruh-buruh di sekitar kami kemudian hanya bisa duduk merenung karena kehilangan pekerjaan, dan…tanaman sawit kami akan rusak lantaran buahnya tidak dipanen, siapa sesungguhnya yang bapak pentingkan itu, rakyat mana yang Bapak prioritaskan? Apakah kami bukan rakyat Bapak?
Pun sudah begini keadaan kami, kami tidak pernah berniat membuat negara ini heboh dengan berdemo besar-besaran, kami tetap menjagakan agar negeri tercinta ini aman dan tentram pak. Ini pertanda bahwa kami teramat cinta kepada negeri ini.
Bapak Presiden…
Di sisa tenaga kami yang ada, di sisa kesabaran kami yang semakin menipis, di sisa semangat juang kami yang mulai menurun, kami hanya berharap Bapak ingat, bahwa kami adalah rakyat Bapak juga, rakyat yang telah ikut membangun negeri ini.
Lantaran itu pula, sepuluh jari sebelas dengan kepala, kami minta dengan hormat agar Bapak segera membuka kembali kran ekspor itu. Namun bila kami masih harus terus merasakan derita ini sampai kami kelak mati, kami hanya bisa pasrah. Ini akan menjadi sejarah baru, bahwa oleh kebijakan yang Bapak lakukan, migor ternyata tetap saja mahal dan kami harus membayar dengan sangat mahal kebijakan yang Bapak buat itu…
Advertisement