Sukses

Warga Sunda Wiwitan Tolak Eksekusi Tanah Adat Mayasih, Begini Catatan Sejarahnya

Untuk kesekian kalinya, aparat penegak hukum mencoba mengeksekusi tanah adat Mayasih di Kuningan, Jawa Barat. Tentu saja, tindakan ini kembali mendapat protes masyarakat adat.

Liputan6.com, Jakarta - Sengketa tanah adat kembali memanas di tanah warga Sunda Wiwitan, Kuningan, Jawa Barat. Untuk kesekian kalinya, aparat penegak hukum mencoba mengeksekusi tanah adat Mayasih di wilayah itu. Tentu saja, tindakan ini kembali mendapat protes masyarakat adat.

Koordinator Divisi Advokasi Sobat KBB Usama Ahmad Rizal menyebutkan, pada 2017 silam, upaya eksekusi lahan juga sudah dilakukan aparat. Namun, berhasil digagalkan oleh aksi damai masyarakat Sunda Wiwitan. Tahun ini, dia melanjutkan, kejadian itu berulang.

"Pengadilan Negeri Kuningan dengan Surat No. W.11.U16/825/HK.02/4/2022 memerintahkan pelaksanaan pencocokan (Constatering) dan sita eksekusi tanah adat Mayasih yang akan dilaksanakan pada tanggal 18 Mei 2022," Usama mengatakan melalui keterangan resminya yang diterima Liputan6.com, Rabu (18/5/2022).

Menurut Usama, keputusan eksekusi ini tidak mempertimbangkan sejarah Sunda Wiwitan. Pasalnya, tanah dan bangunan adat yang menjadi objek eksekusi, memiliki hubungan yang kuat dan menjadi sejarah antara masyarakat adat Karuhun Sunda Wiwitan dengan leluhur.

"Komunitas ini merupakan kesatuan masyarakat adat yang sudah terbentuk sejak lama, bahkan sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia dibentuk. Selain itu, mereka berpegang teguh terhadap norma serta aturan adat yang sudah mereka jalani sejak lama secara turun-temurun. Misalnya, pengaturan tentang pertanian, hubungan sosial, penguasaan lahan yang komunal dan lain-lain," dia menceritakan.

Hal ini, Usama melanjutkan, berdasarkan pada beberapa dokumen penting yang dikeluarkan oleh Sesepuh terdahulu seperti: Pangeran Madrais Sadewa Alibasa dan Pangeran Tedjabuwana dengan memberikan Hak Pengelolaan Aset tersebut kepada tokoh-tokoh masyarakat. Ini tercatat dalam Surat Pernyataan tahun 1964 dan tahun 1975 oleh Pangeran Tedjabuwana.

"Dalam pernyataan tersebut Pangeran Tedjabuwana memberikan mandat pengelolaan aset-asetnya kepada tokoh-tokoh masyarakat yang lalu tokoh-tokoh itu mendirikan Yayasan dan menyerahkan pengelolaan aset bersama tersebut kepada Yayasan," dia menjelaskan.

"Dengan pengelolaan tinggalan Pangeran Madrais dan Pangeran Tedjabuwana oleh Yayasan maka pengelolaan aset tersebut bukan milik orang per orang/pribadi melainkan sebagai aset komunal, dan ditindaklanjuti oleh Yayasan Pendidikan Tri Mulya," Usama menambahkan.

Dia menyebutkan, dalam pembentukan negara, telah disepakati bahwa negara menghormati dan melindungi kesatuan masyarakat adat beserta budaya dan hukum adat yang mereka yakini. Itu ditegaskan dalam konstitusi kita Undang-Undang Dasar Repubik Indonesia Tahun 1945 pasal 18B ayat (2): "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang".

 

2 dari 2 halaman

5 Pernyataan Sikap

Menurut Usama, dalam hal ini, aparat penegak hukum harus secara komprehensif melihat persoalan eksekusi tanah bukan persoalan hukum semata. Jika eksekusi tetap dipaksakan, maka identitas masyarakat adat Karuhun Sunda Wiwitan dan hak mereka untuk beribadah, meyakini agama dan kepercayaan, serta mengembangkan budaya telah dihilangkan secara paksa dan merupakan satu tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Oleh karena itu, Usama melanjutkan, Solidaritas Korban Tindak Kekerasan Beragama dan Berkepercayaan (Sobat KBB) menyatakan sejumlah sikap. Pertama, menolak pelaksanaan pencocokan (constatering) dan sita eksekusi tanah adat Mayasih, karena tanah adat dan masyarakat adat merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.

"Kedua, meminta Presiden Jokowi agar mengukuhkan dan menetapkan kawasan Tanah Adat Mayasih menjadi tanah adat komunitas adat karuhun Sunda Wiwitan," dia menegaskan.

Kemudian, Usama menambahkan, meminta DPR agar segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat. "Selama RUU itu belum disahkan, persoalan seperti ini dikhawatirkan akan terulang kembali pada masyarakat adat lainnya di Indonesia," dia menegaskan.

Keempat, mendukung perjuangan AKUR dan mengajak masyarakat untuk ikut serta mendukung kedaulatan masyarakat Kahurun atas tanah adatnya.

Terakhir, meminta aparat penegak hukum bersikap proporsional dan tidak semata hanya melihat sengketa tanah adat sebagai persoalan hukum semata, melainkan melihat tanah adat sebagai suatu kesatuan masyarakat adat yang harus dilindungi untuk menjaga pelestarian masyarakat serta kawasan adat.