Liputan6.com, Mamuju - Pengadilan Negari Mamuju menolak praperadilan yang diajukan salah satu tersangka dugaan kasus korupsi pengalihan hutan lindung. Praperadilan itu diajukan kuasa hukum tersangka ADH (48) yang menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Mamuju.
Upaya hukum praperadilan yang diambil oleh kuasa hukum tersangka ADH atas penetapan kliennya sebagai tersangka dugaan korupsi oleh Kejaksaan Tinggi Sulawesi Barat. Upaya itu dinyatakan gugur meski belum ada pembacaan penetapan oleh majelis hakim.
Kuasa Hukum Penyidik Kejaksaan Tinggi Sulawesi Barat, Khumaidi mengatakan, putusan praperadilan memang belum dibacakan oleh majelis hakim. Namun, majelis hakim menyampaikan adanya surat edaran Mahkamah Agung yang menyebutkan bahwa terhada perkara yang sudah dilimpahkan ke pengadilan akan gugur dengan sendirinya.
Advertisement
"Memang tadi belum diputuskan oleh majelis hakim, nanti hari Kamis baru dibacakan penetapannya," kata Khumaidi kepada wartawan, Selasa (02/07/22).
Sedangkan, Kuasa Hukum ADH, Dedi mengatakan, gugurnya permohonan kliennya dalam prapradilan itu dikarenakan pihaknya lambat mengajukan pokok perkara kepada pihak pengadilan. Pokok perkara kasus dugaan korupsi pengalihan hutan lindung itu sudah didaftarkan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Barat.
"Otomatis praperadilan kami gugur. Kita tinggal tunggu pembacaan penetapan praperadilan oleh Majelis Hakim. Kemudian dilanjutkan dengan sidang pidana pembacaan dakwaan klien kami," tutup Dedi.
Tersangka ADH dalam kasus ini berperan sebagai penginisiasi pemohon SHM tanah di Desa Tadui. Dia juga merupakan pemilik perusahaan yang mengajukan serta mendirikan SPBU di kawasan hutan lindung. Dia ditetapkan tersangaka bersama enam orang lainnya.
Tersangka dijerat Pasal 2 ayat (1) subs Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan ancaman pidana maksimal 20 tahun penjara, dan denda maksimal Rp1 miliar.