Liputan6.com, Yogyakarta - Persoalan pengantin pesanan menjadi perlu menjadi fokus pemerintah. Yulianto Achmad, Dosen Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) bersama dengan mahasiswanya, Salsabila Husna Salwa mengangkat isu pengantin pesanan ini dalam penelitian yang berjudul Implementasi Protokol Palermo Tahun 2000 Dalam Mengatasi Kasus Pengantin Pesanan Tahun 2019 di Indonesia.
Yulianto menerangkan fenomena pengantin pesanan ini diteliti secara mendalam pada Januari hingga April 2022. Para pemesan kebanyakan merupakan pria yang berasal dari Tiongkok. Mereka memesan wanita dari Indonesia untuk diboyong pulang ke negaranya untuk dijadikan istri. Hal ini ia kaitkan dengan peraturan ketat yang ada di Tiongkok mengenai pernikahan.
“Di sana tidak diperbolehkan berpoligami, punya anak lebih dari satu juga tidak boleh, juga ada ketimpangan jumlah perempuan dan laki-laki, untuk menikah pun persyaratan maharnya sangat tinggi. Banyak yang tidak mampu tapi ingin menikah sehingga mereka memilih alternatif dengan mencari istri dari luar negaranya dengan biaya yang bisa mereka jangkau, akhirnya mereka mencari agen sebagai ‘mak comblang’,” ungkapnya.
Advertisement
Baca Juga
Fenomena pengantin pesanan ini erat kaitannya dengan faktor persoalan ekonomi. Para wanita pesanan biasanya berasal dari keluarga tidak mampu yang tergiur dengan iming-iming untuk kehidupan yang lebih layak dan berkecukupan. Selain itu, para wanita dijanjikan akan diperlakukan dengan baik dan tetap diberikan kemudahan akses kepada keluarganya di Indonesia.
“Yang menjadi masalah adalah setelah sampai ke Tiongkok, semuanya tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan. Katanya akan dimakmurkan, ternyata mereka dieksploitasi. Disuruh bekerja dengan upah yang kurang, bahkan mendapatkan kekerasan dan pelecehan seksual,” terangnya.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Eksploitasi Atas Nama Pernikahan
Isu pengantin pesanan menurut Yulianto menarik dan belum banyak diteliti secara spesifik oleh banyak orang, sehingga ingin mengetahui secara mendalam upaya apa yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia agar kejadian pengantin pesanan ini tidak terulang. Output yang didapatkan adalah, ia bisa memberikan gambaran kondisi tentang pengantin pesanan yang sebenarnya hanyalah kedok untuk perdagangan manusia yang dikemas secara rapi kepada masyarakat agar lebih waspada.
“Yang kami temukan dalam penelitian ini, pemerintah telah bekerjasama dengan Kementerian Luar Negeri khususnya Kedutaan Besar Republik Indonesia di Tiongkok untuk mengatasi hal ini. Kendalanya adalah pemahaman mengenai pengantin pesanan yang dipahami oleh pemerintah Indonesia sebagai kejahatan perdagangan manusia tidak dianggap demikian oleh pemerintah Tiongkok," katanya.
Yulianto mengatakan, perkembangan teknologi juga turut mengembangkan bentuk, modus, dan tujuan dari perdagangan manusia dalam bentuk pengantin pesanan. Dalam fenomena ini, wanita dan anak diperdagangkan dengan modus perkawinan yang kerap kali berujung pada perbudakan, pemerkosaan, dan pelecehan.
"Pemerintah telah melakukan pemulangan para wanita pengantin pesanan ke Indonesia. Ini tidak mudah, karena status pernikahan yang sah, izin dari suami menjadi kendala juga. Agak alot lah. Dari 42 orang, baru bisa dipulangkan 36 orang,” jelas Yulianto. Lewat penelitiannya ini, ia pun berharap agar fenomena pengantin pesanan ini tidak terjadi lagi.
Advertisement