Sukses

Dari Drama Asmara hingga Sebilah Rencong, Kisah Perjuangan Cut Meutia yang Penuh Lika-Liku

Perlawanan Cut Meutia terhadap Belanda dimulai sekitar 1901, yakni ketika Sultan Aceh, Sultan Alauddin Muhammad Daud Syah, melawan Belanda hingga pedalaman Aceh.

Liputan6.com, Yogyakarta - Cut Nyak Meutia adalah salah satu perempuan peracik strategi ulung dalam menghadapi penjajah Belanda. Perempuan yang lahir di Keureutoe, Pirak, Aceh Utara, tahun 1870 ini lahir dari keluarga terhormat.

Ayahnya adalah seorang Uleebalang atau kepala pemerintahan daerah, Teuku Ben Daud Pirak. Cut Meutia merupakan satu-satunya puteri dari lima bersaudara.

Sejak kecil, Meutia dibesarkan dengan ajaran agama Islam yang kuat, berprinsip amar ma'ruf nahi munkar, serta tak menyukai kemungkaran dan penindasan. Perjalanan kisah asmara Meutia juga penuh liku-liku.

Meutia menikah tiga kali. Pernikahan pertama berasal dari sebuah perjodohan dengan Teuku Syamsarif yang bergelar Teuku Chik Bintara.

Pernikahan itu tidak berlangsung lama karena Meutia merasa tak ada kecocokan. Ia menganggap Syamsarif berwatak lemah dan cenderung bersahabat dengan Belanda, sedangkan dirinya berjiwa sebaliknya.

Pasca berpisah dengan Syamsarif, Meutia menikah dengan adik Syamsarif, yaitu Teuku Chik Muhammad atau dikenal dengan Teuku Chik Tunong. Kali ini, Meutia benar-benar jatuh hati pada Tunong yang memiliki prinsip hidup serupa dengannya.

Perlawanan Cut Meutia kepada Belanda dimulai sekitar 1901, yakni ketika Sultan Aceh, Sultan Alauddin Muhammad Daud Syah, melawan Belanda hingga pedalaman Aceh. Dia bersama suaminya, Teuku Tunong, berjuang di daerah Meunasah Meurandeh paya.

Tunong saat itu menjadi komandan di Pasai atau Krueng Pasai, yang sekarang menjadi Aceh Utara. Sementara Meutia membantu suaminya untuk membuat taktik-taktik perang gerilya yang membuat Belanda kocar-kacir.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

2 dari 3 halaman

Belanda Gerah

Perlawanan dua sejoli ini membuat kompeni gerah. Tanpa senjata mumpuni dan hanya bermodalkan nyali dan rencong, keduanya sanggup mencegat patroli pasukan Belanda dan bahkan menyerang langsung ke markas pasukan Belanda di Idie.

Rencong atau dalam Bahasa Aceh 'rintjong' adalah senjata tradisional rakyat Aceh. Bukan sekadar senjata, rencong juga merupakan simbol identitas diri, keberanian, dan ketangguhan warga Aceh.

Pada Agustus 1902 dengan hanya bermodal rencong, pasukan Teuku Tunong mencegat dan melumpuhkan pasukan Belanda yang berpatroli di daerah Simpang Ulim Blang Nie. Pasukannya pun merampas 42 pucuk senapan.

Setahun kemudian tepatnya pada 26 Januari 1905, Belanda mengamuk karena salah satu prajuritnya kembali gugur saat berpatroli. Kemarahan itu akhirnya membuat Belanda lebih intensif memburu Tunong dan pasukannya.

Pada Maret 1905, Tunong tertangkap dan dieksekusi tembak mati di tepi pantai Lhokseumawe. Tubuhnya dimakamkan di kompleks Masjid Mon Geudong, tidak jauh dari Lhokseumawe.

Ia ditembak mati hanya berselang beberapa waktu setelah Cut Meutia melahirkan dua anak kembar yang kemudian meninggal. Saat itu, Meutia lumpuh dan sakit parah.

Namun, kasih sayang dan perjuangan antara Tunong dan Meutia tak pernah mati. Sebelum meninggal, Tunong sempat meninggalkan wasiat pada seorang panglima yang menjadi teman seperjuangannya, yaitu Pang Nanggroe.

Ismail Yakub, dalam bukunya 'Cut Meutia', menulis bahwa Tunong menginginkan Pang Nanggroe menikahi istrinya dan melanjutkan jihad fisabilillah mereka melawan penjajah Belanda. Sayangnya, tak ada tanggal pasti pernikahan Cut Meutia dan Pang Nanggroe, tetapi diperkirakan keduanya menikah pada 1907.

Eksekusi terhadap Tunong memicu gejolak di hati para pemimpin Aceh dan juga rakat Aceh karena Belanda dianggap menjatuhkan hukuman tanpa mendengar kesaksian yang meringankan Tunong. Cut Meutia bersama anaknya Teuku Raja Sabi dan Pang Nanggroe kembali masuk ke hutan untuk melanjutkan perjuangan bersama pasukan.

Penyerangan pertama mereka dilakukan di hulu Krueng Jambo Aye yang merupakan hutan liar. Dengan mengadang pasukan Belanda yang mengawal para pekerja kereta api pada 6 Mei 1907, serdadu-serdadu Belanda pun tewas dan mengalami luka-luka.

Pasukan Aceh juga merebut 10 pucuk senapan dan 750 butir peluru serta amunisi. Pertempuran demi pertempuran pun dihadapi pasukan Nanggroe-Meutia, di antaranya pada 15 Juni 1907 di pos di Keude Bawang (Idi), pada 1910 di rawa-rawa Jambo Aye, pada 30 Juli 1910 di daerah Bukit Hague dan Paya Surien, hingga pada Agustus 1910 terjadi penyerbuan pasukan Belanda di Matang Raya.

Dalam penyerbuan terakhir itu, banyak teman setia Pang Nanggroe dan Cut Meutia yang gugur. Pada 1910, Cut Meutia harus kembali kehilangan suaminya yang gugur dalam pertempuran dahsyat di Buket Hague, daerah Rawa dekat Paya Cicem.

 

3 dari 3 halaman

Melarikan Diri

Sejumlah pejuang menyerahkan diri, sementara Cut Meutia dan anaknya melarikan diri. Ia hidup berpindah-pindah bersama anaknya, Raja Sabi, yang saat itu berusia sebelas tahun di dalam hutan Pasai.

Pada 24 Oktober 1910, Belanda melakukan pengepungan. Tepat keesokan harinya, pertempuran besar terjadi.

Serdadu Belanda yang memiliki persenjataan lengkap menyerang pasukan Cut Meutia yang masih hanya bermodalkan rencong di tangan. Namun keterbatasan senjata itu tak menyurutkan nyali Cut Meutia.

Sayangnya, di pertempuran tersebut Cut Meutia harus gugur karena tertembus tiga peluru yang mengenai kepala dan dadanya. Ia wafat bersama beberapa pejuang dan ulama lainnya, seperti Teuku Chik Paya Bakong, Teungku Seupot Mata, dan Teuku Mat Saleh.

Sebelum wafat, Cut Meutia sempat menitipkan puteranya kepada Teuku Syech Buwah untuk diasuh dan dijaga. Cut Meutia diangkat sebagai pahlawan nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 107/1964 pada tahun 1964.

Kini, namanya tak hanya dijadikan jalan-jalan di perkotaan, tetapi juga menjadi nama salah satu masjid peninggalan Belanda di Menteng, Jakarta Pusat. Selanjutnya, pada 2016, Cut Meutia ditetapkan Bank Indonesia sebagai salah satu pahlawan nasional yang sosoknya ditampilkan dalam uang kertas rupiah, yakni pecahan Rp1.000.

 

Penulis: Resla Aknaita Chak