Sukses

Izin Lingkungan PLTU Batu Bara Tanjung Jati A Masih Jadi Sengketa

Penerbitan izin lingkungan proyek PLTU Tanjung Jati A dinilai abai akan potensi kerusakan iklim juga kerugian ekonomi negara.

Liputan6.com, Bandung - Rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tanjung Jati A 2x 660 WW dinilai bakal memperburuk perubahan iklim dan merugikan keuangan negara. Pembangunan PLTU batu bara tersebut juga dikabarkan bakal menggusur ratusan hektare tambak garam milik masyarakat. 

Meski memuat sengkarut persolan lingkungan dan ekonomi, proyek di Desa Pengarengan, Cirebon itu telah mendapat izin dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Jawa Barat pada 2016 lalu. Proyeknya kini belum berjalan dan perizinannya masih jadi sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung.

Awal Juli 2022, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) diketahui melayangkan gugatan terhadap Kepala Dinas DPMPTSP Provinsi Jawa Barat selaku pihak pemberi izin. Lewat upaya litigasi, izin lingkungan yang kadung diberikan itu diharapkan dapat kembali dicabut dan proyek dibatalkan.

Perkembangan terbaru, sidang lanjutan digelar pekan ini (18/8/2022). Pihak penggugat menghadirkan saksi ahli yakni ahli hukum lingkungan dari Universitas Indonesia, Prof. Andri Gunawan Wibisana, serta ekonom senior, Faisal Basri.

Dalam keterangannya, Andri di antaranya menegaskan bahwa pembangunan PLTU batu bara turut memberi dampak buruk pada perubahan iklim secara global. Ujungnya, mengancam kehidupan masyarakat luas, tak cuma membuat masyarakat sakit tapi bahkan terancam kehilangan nyawa.

“Pemanasan global ini terjadi karena peningkatan konsentrasi emisi gas rumah kaca, dan konsentrasi gas rumah kaca itu salah satu penyumbang terbesarnya adalah CO2, dan salah satu penyumbang terbesar CO2 adalah batu bara,” ungkapnya saat persidangan lalu.

Jika kelak beroperasi, PLTU batu bara itu diperkirakan bakal mengeluarkan 16 juta metrik ton CO2 dalam setahun. Artinya, selama 30 tahun beroperasi sesuai umur izin usaha yang telah diberikan, maka proyek itu akan mengeluarkan total 480 juta ton CO2.

“4.000-5.000 ton CO2 itu kira-kira bisa menghilangkan satu nyawa manusia dari dampak perubahannya iklimnya itu, kalau 6 jutaan (ton CO2 per tahun) berapa jumlahnya?” kata Andri. “PLTU, batu bara, selalu dianggap sebagai salah satu emiter terbesar,".

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

2 dari 4 halaman

Menyoal Amdal

Sejak mula, Walhi menyoroti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau Amdal proyek PLTU Tanjung Jati A, diduga dikerjakan serampangan, kajiannya dianggap tidak holistik. Padahal terkait Amdal, kata Andri, pemerintah selaku pemberi izin patutnya membuat kajian evaluasi yang holistik terhadap dampak.

Amdal harus memperhatikan hal serius, dalam konteks ini krisis iklim yang berkaitan dengan emisi gas rumah kaca. Meski, peraturan perundang-undangan dianggap belum secara spesifik mengatur batas emisi gas rumah kaca tersebut, kata Andri, pemerintah tetap mesti mempertimbangkan urgensi lingkungan, tidak hanya menyandarkan perizinan pada formalitas hukum.

“Memang, kalau kita hanya fokus pada formalitas peraturan perundang-undangan, tidak ada yang secara spesifik mengharuskan Amdal mengkaji emisi gas rumah kaca, bahkan batasan gas rumah kaca pun memang belum ada dalam peraturan perundang-undangan,” katanya.

“Bahwa karena penting gas rumah kaca ini, maka itu harus dikaji dalam Amdal. Setidaknya ada kajian, menunjukan itikad pemerintah untuk melihat perubahan iklim sebagai persoalan serius,” katanya. “Perkara perubahan iklim terkait Amdal perlu dilihat di luar konteks formalitas hukum”.

Ia pun menegaskan, ketidakseriusan dalam mengatasi persoalan perubahan iklim dapat dianggap sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

“Perubahan iklim ini potensi pelanggaran HAM-nya besar. Ketika pemerintah tidak melakukan upaya, mengkaji dampak perubahan iklim itu, dia sebenarnya mengabaikan kewajibannya dalam melindungi dan menghargai HAM,” tegasnya.

3 dari 4 halaman

Kerugian Negara

Walhi bersama Tim Advokasi Keadilan Iklim mendasarkan gugatannya tak hanya pada aspek lingkungan tapi juga isu ekonomi. Pembangunan dan operasional PLTU batu bara Tanjung Jati A dinilai berpotensi menimbulkan kerugian negara.

Menurut Walhi, dengan kondisi kelistrikan di Jawa yang sebetulnya kelebihan pasokan listrik, maka rencana PLTU baru itu malah berpotensi menyebabkan produksi listrik semakin tak terserap.

Secara bisnis, kondisi demikian bakal menjadi kerugian negara sebab PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) harus tetap membayar produksi listrik sesuai dengan kesepakatan perjanjian jual beli. Maka, kerugian PLN dinilai tak terhindarkan.

“Dalam kelistrikan di indonesia itu dikenal prinsip take or pay. Jadi, pembangkit listrik itu kan menjualnya kepada PLN. Meski tidak perlu, dia (PLN) harus tetap membayar,” ditegaskan Faisal Basri.

Faisal menambahkan, target pembangunan 35 ribu megawatt (MW) ditetapkan dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi sebesar 6 persen, tapi kenyataanya target tersebut meleset hanya di kisaran 4-5 persen bahkan minus saat pandemi.

“Kerugian PLN sebagai BUMN juga merupakan kerugian negara. Maka BUMN akan memberikan dividen kepada negara, jika potensi kerugian terjadi maka jumlah dividen akan berkurang atau bahkan hilang,” katanya.

“Lebih lanjut, jika kerugian PLN sebagai BUMN, negara akan melakukan langkah-langkah penyelamatan dengan memberikan penanaman modal dalam negeri (PMN)”.

4 dari 4 halaman

Sidang Masih Berlanjut

Menanggapi keterangan ahli, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jawa Barat, Meiki W Paendong berharap majelis hakim bisa membatalkan Izin Lingkungan PLTU tersebut. Menurutnya, urgensi pembatalan ini sangat mendesak melihat potensi dampaknya terhadap lingkungan di masa depan.

“Mendengar keterangan kedua ahli tersebut, besar harapan, Majelis Hakim dapat membatalkan Izin Lingkungan PLTU Tanjung Jati A 2 x 660 WW,” ungkapnya dikutip Liputan6.com dari pernyataan tertulis.

Sebelumnya, Meiki sempat menyebut bahwa PLTU yang diprakarsai YTL Power dari Malaysia yang berkongsi dengan Bakrie Power ini akan menggusur sekitar 230 hektare tambak garam.

“Keberadaannya nanti akan menghilangkan mata pencaharian petambak garam,” ungkapnya.

Adapun, sidang gugatan terkait izin lingkunan itu akan kembali digelar awal September mendatang dengan agenda mendengar keterangan saksi fakta dan saksi ahli yang diajukan pihak tergugat DPMPTSP.