Liputan6.com, Palu - Gerakan sosial dipilih sejumlah mantan narapidana terorisme (napiter) Poso untuk pulih secara mental dan sosial setelah mereka menanggalkan paham radikal yang lama menyesatkan mereka. Seperti Imron dan kawan-kawan yang kini aktif mendakwahkan kedamaian dan toleransi.
"Kami berikrar; menjaga persatuan dalam masyarakat majemuk agar tercipta keharmonisan, toleransi, dan kerukunan di wilayah Sulawesi Tengah dan menolak organisasi serta aktivitas yang bertentangan dengan Pancasila...,” teriak Imron lantang, memimpin pengucapan ikrar setia kepada NKRI yang diikuti belasan mantan Narapidana Teroris (napiter) di Mapolda Sulteng, Rabu (17/8/2022).
Imron adalah salah satu di antara 19 eks napiter yang ikut upacara Hari Kemerdekaan dan berikrar saat itu. Jangankan mengucap setia kepada NKRI, dahulu, hormat kepada Bendera Merah Putih saja adalah haram menurut mereka, yang sebagian besar merupakan bekas simpatisan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang selama ini menjadi biang kekerasan di Kabupaten Poso, Parigi Moutong, dan Sigi.
Advertisement
Saat menjadi simpatisan, Imron adalah tokoh penting. Sejak tahun 2007 hingga 2017, dia bahkan 3 kali ditangkap Densus 88. Dialah yang mengkader dan merekrut pelaku-pelaku kekerasan berbasis agama di Poso, dia juga penyuplai logistik untuk kelompok radikal, dan penghubung antarkelompok radikal seperti dari Ambon, Kalimantan, serta Pulau Jawa.
Ikrar setia kepada NKRI itu adalah bagian dari jalan taubat atas kesalahan-kesalahannya dahulu yang diakuinya justru bertentangan dengan ajaran Islam.
"Ternyata nabi kita Muhammad sendiri ketika beliau diusir dari Makkah beliau menangis sedih. Artinya beliau punya kecintaan kepada negerinya. Kenapa sekarang justru kita tidak mencintai negara kita sendiri," Imron mengungkapkan.
Simak video pilihan berikut ini:
Membentuk Yayasan untuk Menyebar Kedamaian
Imron mengaku menanggalkan paham radikal bukan hal yang mudah bagi para mantan napiter. Mereka harus menghadapi stigma dari sebagian orang yang masih percaya dengan paham salah tersebut. Bahkan, dari orang-orang terdekat mereka.
"Awalnya yang berat kami rasakan adalah menghadapi teman-teman yang masih berpaham radikal. Kami disebut murtad, kafir, dan tidak Islam lagi. Tapi kami yakin dan tetap maju,” Imron menceritakan.
Untuk melawan paham-paham radikal yang pernah menyesatkannya, Imron bersama sejumlah mantan napiter lainnya di Poso kini mendirikan Yayasan Sosial "Lingkar Persaudaraan Nusantara (Perdana)" yang aktif mendakwahkan Islam sebagai ajaran damai dan toleran.
Dengan yayasan itu juga mereka berupaya membantu pemulihan sosial dan ekonomi mantan napiter yang mulai membangun kehidupan setelah bebas.
"Kami bentuk yayasan berangkat dari niat untuk sama-sama memerangi terorisme khususnya di Poso. Kami akan bekerja sama membangun kedamaian dan ekonomi di Poso," Imron yang kini menggarap kebun cokelat dan durian itu memungkasi.
Advertisement