Sukses

Maba Unhas Mengaku Non-biner, Lidmi: Bukan Keberanian, Itu Penyimpangan

Video mahasiswa baru Universitas Hasanuddin (Unhas) mengaku gender netral lalu diusir dosen viral di media sosial dan jadi perbincangan hangat di masyarakat.

Liputan6.com, Jakarta - Video mahasiswa baru Universitas Hasanuddin mengaku non-biner alias gender netral lalu diusir dosen viral di media sosial dan jadi perbincangan hangat di masyarakat. Diketahui video tersebut diambil saat acara penerimaan mahasiswa baru Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Ada yang mengkritik perilaku mahasiswa tersebut, namun tak jarang juga menyayangkan sikap dosen tersebut yang dianggap berlaku diskriminasi.

Asrullah, Ketua Umum PP Lingkar Dakwah Mahasiswa (Lidmi) punya pendapatnya sendiri. Asrullah menganggap tindakan dosen mengusir maba Unhas tersebut sudah tepat dan sesuai dengan konstitusi serta tujuan pendidikan nasional. Dirinya bahkan menganggap mahasiswa baru itu telah bertindak amoral. 

"Konstitusi benar memberikan jaminan terhadap kebebasan berekspresi dan bersikap, namun kebebasan itu juga tidak boleh melawan norma hukum, norma kesusilaan, norma sopan santun maupun norma agama. Bahkan secara spesifik jika membaca perdebatan risalah pembentukan konstitusi kita, konstruksi paradigma moral-agama itu sangat kental," katanya. 

Lebih lanjut Asrullah mengatakan, negara hanya mengakui dua jenis kelamin. Sehingga apa yang diakukan dosen menjadi pembelajaran agar mahasiswa memahami dengan baik norma dan aturan yang ada.

Memang dalam diskursus dan kajian sosial, gender telah mengalami pergeseran makna. Pada awalnya gender dimaknai sama dengan jenis kelamin sebagai suatu yang teridentifikasi sejak lahir. Namun, seiring dilakukannya berbagai riset, pendekatan gender kini dimaknai sebagai persoalan konstruksi sosial.

 

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 2 halaman

Berpotensi Meruntuhkan Otoritas Agama

Menurut Alumnus Fakultas Hukum Unhas ini, gender sebagai sebuah konstruksi sosial tidak seharusnya diterima secara mentah-mentah tanpa adanya nalar kritis. Perlu kiranya kita memahami alur dan histori konstruksi metodologis dari bahasan gender, seks, dan seksualitas itu.

"Jika kita melihat sejarah fenomena dan diskursus gender, seks, dan seksualitas sebagai sebuah wacana maka kita harus melihat genealogi kelahirannya jauh pada abad ke-17 di Prancis. Tesis awal Barat berkaitan dalam melihat gender sangat tendensius diakibatkan isu dan pengalaman sejarah di Barat sendiri yang misogini dan penuh disparitas," ungkapnya.

Oleh karena itu, problem terbesarnya terletak pada pemahaman dan interpretasi kita terhadap seks, gender, dan seksualitas. Jika hanya dibasiskan pada diskresi personal, maka akan sangat berpotensi meruntuhkan otoritas agama dalam mengkonstruksi gender yang telah ditetapkan.

Lingkar Dakwah Mahasiswa Indonesia, lembaga yang dipimpin Asrullah, menyatakan dengan tegas penolakan terhadap segala jenis unsur LGBTQ+ yang berpotensi merusak moral bangsa. Kampanye LGBT ini pada akhirnya menjadi bumerang bagi terwujudnya insan bangsa intelektual dan beradab yang saat ini berada pada pundak para pemudanya.