Liputan6.com, Jakarta - Jika berbicara soal perjuangan kemerdekaan di Tanah Ambon, kebanyakan dari kita menyebut Kapitan Pattimura sebagai tokoh penggeraknya. Namun, siapa sangka, begitu banyak pahlawan yang telah mengorbankan jiwa raganya untuk mencapai kata merdeka bagi bangsa Indonesia. Salah satunya yang juga dari Maluku adalah Kapitan Kaliaki.
Kapitan Kakiali merupakan pemimpin perlawan Persatuan Perusahaan Hindia Timur alias Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Maluku pada 1634-1643. Ia juga merupakan seorang putra Tepil yang bergelar "Kapitan Hitu”, gelar yang didapat karena dukungan penuh dari Sultan Ternate.
Advertisement
Baca Juga
Kakiali memiliki keturunan dari Perdana Jamilu (Nusapati), yang merupakan salah satu dari seorang pemimpin di Jasira Hitu, Maluku.
Pada zaman VOC, politik monopoli perdagangan sangat menyengsarakan rakyat di tanah Hitu, Maluku Tengah. Oleh karena itu, rakyat Hitu mengadakan perlawanan yang dipimpin oleh Kapitan Kakiali.
Monopoli yang dilakukan VOC bertujuan untuk membatasi produksi rempah-rempah agar harga tetap tinggi.
Sebagai pemimpin rakyat Hitu, Kakiali melawan monopoli VOC dengan cara menyelundupkan rempah-rempah seperti cengkih. Rakyat Hitu pun juga mengatur strategi dengan cara membuat benteng-benteng di pedalaman.
Pada 1634, Kakiali ditangkap oleh VOC yang akhirnya menyebabkan rakyat Hitu berlindung ke benteng yang sebelumnya sudah dibuat dan bersiap untuk perang melawan VOC.
Kemudian, pada 1637, Kakiali dibebaskan di bawah pimpinan Antonio van Diemen yang merupakan seorang Gubernur Jenderal VOC. Usut punya usut, kelicikan VOC terlihat saat mereka mengirimkan tentara ke Maluku dengan siasat licik hingga tewasnya Kapitan Kakiali.
Rakyat Hitu yang sudah terlanjur benci kepada VOC pun terus melakukan perlawanan. Berlanjut pada 1638, VOC kembali ke Maluku dan berhasil mengadakan perdamaian dengan Sultan Ternate.
Perlawanan rakyat Hitu diteruskan di bawah pimpinan Telukabesi yang kemudian menyerah dan berakhir dibunuh pada 1646. Terbunuhnya kedua pemimpin tersebut mengakhiri perlawanan rakyat Hitu secara efektif.
Akan tetapi, bukan berarti monopoli VOC di Maluku menjadi aman. Rakyat Hitu maupun Ternate masih tetap melakukan perdagangan rempah-rempah secara gelap.
Strategi VOC untuk mengatasi hal tersebut yaitu dengan melakukan pengangkatan kembali Sultan Ternate yang telah dikudeta oleh rakyatnya. Pada 1852, Sultan Ternate disuruh menandatangani perjanjian yang isinya melarang penanaman rempah-rempah di semua wilayah, kecuali Maluku.
Menurut perhitungan, rempah-rempah, seperti cengkih, yang dihasilkan di Maluku sudah mencukupi kebutuhan dunia pada saat itu. Hal inilah yang menjadi incaran VOC sehingga menjajah Indonesia.
*** Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.