Sukses

Kisah Aji Saka dan Asal-Usul Aksara Jawa yang Bisa Jadi Mantra Tangkal Roh Jahat

Dalam konteks cerita rakyat atau legenda, terdapat cerita mengenai asal-usul aksara Jawa.

Liputan6.com, Yogyakarta - Aksara Jawa menjadi salah satu aspek pembelajaran di sekolah-sekolah dasar wilayah Jawa. Umumnya, aksara Jawa diajarkan pada mata pelajaran bahasa Jawa.

Aksara Jawa merupakan sebuah tulisan dari bahasa Jawa yang juga dikenal dengan nama Hanacaraka atau Carakan. Aksara ini sudah ada sejak abad ke-17 Masehi, tepatnya saat Kerajaan Mataram Islam.

Meski sudah dikenalkan sejak tingkat dasar, ternyata tak banyak yang mengetahui tentang sejarah dan asal usul kemunculan aksara Jawa, baik dalam mitos dan cerita-cerita legenda maupun dalam catatan fakta sejarah yang sebenarnya. Dalam konteks cerita rakyat atau legenda, terdapat cerita mengenai asal-usul aksara Jawa.

Asal mula terbentuknya aksara Jawa tidak terlepas dari dongeng seorang pengembara bernama Aji Saka. Kisah awal mula aksara Jawa dimulai dari seorang pengembara bernama Aji Saka yang diikuti oleh kedua abdinya, Dora dan Sembada.

Aji Saka berasal dari negeri antah-berantah bernama Bumi Majethi. Namun, ada pula yang menyebutkan bahwa Aji Saka adalah keturunan suku Shaka dari India.

Aji Saka ingin pergi mengembara meninggalkan Majethi. Ia pun menunjuk Dora untuk menemaninya, sementara Sembada ditugaskan tinggal di Majethi dan menjaga pusaka andalannya yang disebutkan merupakan sebuah keris.

Sebelum mengembara, Aji Saka berpesan kepada Sembada untuk tidak menyerahkan pusaka tersebut kepada siapapun kecuali kepada Aji Saka sendiri. Sembada pun mematuhi pesan tersebut.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

2 dari 3 halaman

Ke Tanah Jawa

Pengembaraan Aji Saka membawanya sampai ke Tanah Jawa. Pengembaraan ini mempertemukan Aji Saka dengan seorang raja yang dzalim, yakni Dewata Cengkar.

Aji Saka dan sang raja pun terlibat pertikaian. Beruntungnya, dengan menggunakan ikat kepala yang bisa memanjang dan melebar, Aji Saka mampu mengalahkan sang raja.

Ia melempar sang raja ke laut yang kemudian berubah menjadi buaya putih dan akhirnya meninggal. Setelah Dewata Cengkar kalah, Aji Saka kemudian didaulat menjadi seorang raja di Medang Kamulan.

Setelah penobatan, Aji Saka mengutus punggawanya, Dora, untuk mengambil pusaka andalannya yang dijaga oleh Sembada. Maka, pergilah Dora ke Majethi menemui Sembada.

Ketika Dora meminta pusaka tersebut kepada Sembada, Sembada teringat akan pesan Aji Saka bahwa pusaka tersebut tidak boleh diserahkan kepada siapapun kecuali kepada Aji Saka sendiri. Sembada pun menolak menyerahkannya kepada Dora.

Setelah saling berdebat, mereka terlibat pertarungan sengit hingga sama-sama tewas karena keduanya memiliki kesaktian yang sama tingginya. Mendengar kabar tersebut, Aji Saka sangat menyesali kesalahannya.

Untuk mengenang kedua punggawa setianya tersebut, ia lantas membuat sajak berbentuk sebait aksara yang saat ini banyak dikenal masyarakat. Aksara Jawa tersebut adalah:

Ha - Na - Ca - Ra - Ka

(ada utusan)

Da - Ta - Sa - Wa - La

(saling berselisih pendapat)

Pa - Dha - Ja - Ya- Nya

(sama-sama sakti)

Ma - Ga - Ba - Tha - Nga

(sama-sama menjadi mayat)

 

3 dari 3 halaman

Mantra Jawa Kuno

Sementara itu, jika aksaranya dibalik maka akan berubah menjadi mantra Jawa Kuno yang berfungsi untuk menangkal roh jahat. Mantra iru disebut "Caraka Walik"

Mantra ini dipercaya menjadi ilmu penolak yang sangat ampuh karena mampu menolak segala malapetaka. Mukai dari menolak tuju, teluh, teranjana, leak, desti, pepasangan, sesawangan, hingga rerajahan.

Bacaan tersebut juga ada di bait terakhir mantra untuk memanggil jailangkung yang berfungsi untuk menolak bencana atau malapetaka yang tidak diinginkan. Berikut bunyi dan penjelasan mantra tersebut:

Nga - Ta - Ba - Ga - Ma

(tidak ada kematian)

Nya - Ya - Ja - Da - Pa

(tidak ada kesakitan)

La - Wa - Sa - Ta - Da

(tidak ada peperangan)

Ka - Ra - Ca - Na - Ha

(tidak ada utusan)

(Resla Aknaita Chak)