Sukses

Ke Pustaka Coffee Aku Kan Kembali

Minum kopi bukan cuma soal seduhan biji terbaik. Ia jauh lebih dari itu. Ini juga perkara tempat yang nyaman. Simak lawatan kopi berikut ini:

Liputan6.com, Aceh - Kopi bukan sekadar rasa. Mencari seduhan kopi terbaik bisa jadi sebuah petualangan multidimensi yang kompleks.

Saya pernah singgah di Seladang, sebuah kafe kesohor di Bener Meriah. Pemiliknya seorang peracik kopi eksentrik bernama asli Sadikin namun lebih dikenal dengan sebutan Gembel.

Terlepas dari pengalamannya yang sudah malang melintang bahkan sampai ke tingkat internasional, Gembel mungkin satu dari segelintir orang yang punya pandangan bahwa kopi lekat dengan hal-hal kebatinan.

Kopi baginya bukan cuma soal kafeina. Namun, di dalamnya berkelindan pula hal-hal yang berkaitan dengan spiritualitas.

Meminum kopi menjadi jalan pengayaan spiritual, yakni ritual tritunggal. Antara manusia, kopi, dan jiwa.

"Yang belum itu, justru aku berpikir, enggak ada kedai kopi, yang dia (pengunjung) bisa bilang, aku kepingin ngopi hari ini, dan aku enggak ingin ngomong sama siapa pun," begitulah yang diucapkan oleh Gembel waktu itu.

Selain di Seladang, menemukan tempat minum kopi seperti yang didambakan oleh Gembel terasa agak sulit bagi saya. Terlebih, saat ini kafe lebih banyak yang mengedepankan desain untuk menarik pelanggan.

Saksikan Video Pilihan Berikut:

2 dari 3 halaman

Kafe Antimainstream

Namun, terkesan jauh dari hiruk pikuk perkotaan, saya menemukan sebuah kafe sederhana diapit perumahan warga di Desa Lambhuk, Kecamatan Ulee Kareng, Banda Aceh. Namanya Pustaka Coffee.

Berdiri di penghujung 2020, Pustaka Coffe lahir ketika penjarakan sosial sedang digalakkan untuk menekan angka kasus Covid-19. Karena itu, konsep penataan mejanya terkesan diaspora atau tercerai berai.

Dari kiri pintu masuk, terdapat barisan meja yang formasinya disusun seperti huruf L. Sebagian meja sengaja dibiarkan di bawah alam terbuka.

Pepohonan yang tumbuh jauh sebelum kafe berdiri memberi kesan natural. Terasa rindang dan harmoni apalagi dengan adanya aliran kolam yang membelah di tengah.

Eksterior dan interiornya didominasi oleh warna alami kayu. Pernak-pernik senada yang terasa klasik dapat ditemukan di mana-mana.

Sebuah TV tua yang sudah tidak berfungsi ditaruh di atas rak bersama tumpukan majalah usang jadi pemanis ruang utama. Ruangan ini diberi dinding berupa kisi-kisi kayu kecil untuk memisahkannya dengan dunia luar.

Nuansa ruang utama mirip dengan ruang tamu. Terlebih dengan diletakkannya satu set meja serta kursi di depan televisi layar datar yang terus menyala setiap waktu.

3 dari 3 halaman

Kopi untuk Hati yang Gelisah

Kafe ini sebenarnya memiliki dua lantai. Akan tetapi, tidak dapat menampung terlalu banyak orang.

Saya paling sering memesan cold brew. Namun, karena setiap lidah memiliki khas, maka Pustaka Coffee menawarkan banyak variasi rasa.

Pun jangan mengira banyak buku di kafe ini. Pemilihan nama "Pustaka" sebenarnya merujuk pada diversifikasi pilihan rasa kopi yang mereka tawarkan.

"Kopi purnama" adalah minuman ajaib yang esensi rasanya akan didapat ketika esnya mulai mencair. Sementara itu, untuk lidah yang tidak terlalu akrab dengan kopi namun tetap ingin jaga gengsi, bisa mencicipi menu "kopiku untuk dia."

Terlepas dari rasa dan tempatnya, pada titik yang jarang diketahui orang, seperti kata Gembel, meminum kopi seharusnya bisa jadi jalan mencapai spiritualitas.

Dalam Ode untuk Secangkir Kopi, saya mengutip Moh. Nasirul Haq, seorang mahasiswa Imam Shafie College Mukalla, Yaman, yang mengklaim bahwa kopi adalah minuman para sufi.

Untuk mendukung pernyataan itu, Nasirul menarik pernyataan beberapa imam. Di antaranya Ibnu Hajar al-Haitami, yang menulis:

"Ketahuilah duhai hati yang gelisah, kopi ini telah dijadikan oleh orang-orang yang tenang sebagai pengundang akan datangnya rahasia ketuhanan dan penghapus kesusahan."