Sukses

5 Tradisi Unik Lombok yang Masih Eksis hingga Saat Ini

Berikut tradisi unik Lombok yang masih eksis sampai saat ini.

Liputan6.com, Lombok - Mendengar kata Pulau Lombok, pasti yang terlintas di pikiran adalah bentangan alamnya yang indah. Tak hanya memiliki panorama alam yang indah, ternyata Pulau Lombok juga memiliki beragam tradisi unik yang masih eksis hingga sekarang.

Tradisi-tradisi unik tersebut bahkan bisa disaksikan oleh para wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Tak heran, jika keunikan ini justru menjadi daya tarik wisata Pulau Lombok. 

Berikut tradisi unik Lombok yang masih eksis sampai saat ini.

1. Bau Nyale

Tradisi 'bau nyale' diadakan setiap tanggal 20 bulan 10 setiap tahunnya dalam penanggalan tradisional Sasak (pranata mangsa), atau tepat lima hari setelah bulan purnama. Umumnya, tradisi ini dilakukan setiap tahunnya antara bulan Februari dan Maret.

Kata 'bau' berasal dari bahasa Sasak yang berarti menangkap, sedangkan kata 'nyale' berarti cacing laut yang hidup di lubang-lubang batu karang di bawah permukaan laut. Masyarakat setempat percaya jika nyale adalah jelmaan Putri Mandalika, anak pasangan Raja Tonjang Beru dan Dewi Seranting dari Kerajaan Tonjang Beru dalam hikayat kuno Sasak.

Diceritakan, ia menolak diperebutkan oleh banyak pangeran dan akhirnya memilih untuk terjun ke dalam air laut dan menghilang tanpa jejak. Saat itu, seluruh warga sibuk mencari, tetapi mereka hanya menemukan kumpulan cacing laut yang kemudian dipercayai sebagai jelmaan Putri Mandalika. 

Tradisi ini memang menjadi salah satu ikonik pariwisata yang berhasil menarik perhatian para wisatawan. Tradisi ini dilakukan di tengah laut sebelum fajar tiba, sekitar pukul 4 pagi.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

2 dari 3 halaman

Begasingan

2. Begasingan

Tradisi 'begasingan' merupakan permainan rakyat yang mempunyai unsur seni sekaligus olahraga. Bahkan, tradisi ini termasuk sebagai permainan tradisional yang tergolong tua di masyakarat Lombok.

Begasingan terbuat dari bahan kayu yang dibentuk sedemikian rupa sesuai tradisi daerah asal. Kemudian diberi tali cukup panjang yang dililitkan di leher begasing.

Permainan begasingan dapat dimainkan oleh dua orang. Pemain pertama disebut pemukul atau lebih dikenal dengan istilah penakek pematok, sementara pemain kedua (pemain yang dipukul) dikenal dengan istilah pelepas, ngejang, atau masang.

Adapun nama 'begasingan' terdiri dari dua kata, yaitu 'gang' yang berarti lokasi atau tempat, serta 'sing' yang berarti suara. Begasingan sering ditampilkan dengan tujuan mengingatkan masyarakat untuk saling menghormati dan memiliki rasa kebersamaan dalam menjunjung tinggi nilai leluhur.

 

3 dari 3 halaman

Gendang Beleq

3. Gendang Beleq

Nama 'gendang beleq' disematkan pada tradisi ini karena salah satu alatnya merupakan gendang besar. Tradisi ini berbentuk layaknya orkestra yang terdiri dari dua buah gendang beleq yang disebut gendang mama (laki-laki) dan gendang nina (perempuan). Komposisi musik dari tradisi ini bisa dimainkan dengan posisi duduk, berdiri, dan berjalan untuk mengarak iring-iringan. Lalu terdapat gendang kondeq (gendang kecil) sebagai pembawa melodi.

Sebagai alat ritmis, terdapat dua buah reoq, enam hingga delapan buah perembak kodeq, sebuah petuk, sebuah gong besar, gong penyentak, gong oncer, dan dua buah lelontek. Konon, dulunya tradisi ini dimainkan ketika ada pesta yang diselenggarakan oleh pihak kerajaan.

4. Memaos

Memaos merupakan kesenian yang sering dijadikan lomba di beberapa wilayah di Lombok. Lomba memaos yakni lomba membaca lontar atau menceritakan hikayat kerajaan pada masa lampau.

Lomba ini digelar secara kelompok yang terdiri dari tiga hingga empat orang, dengan susunan satu orang menjadi pembawa, satu orang menjadi penjangga, dan sisanya menjadi pendukung vokal. Tujuan tradisi ini untuk menanamkan nilai budaya kepada generasi mudah dan penerus untuk mengetahui kebudayaan di masa lampau yang hampir tidak diketahui keberadaannya.

5. Perang Topat

Perang topat merupakan acara adat yang diadakan di Pura Lingsar, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Perang ini menjadi simbol perdamaian antara umat Muslim dan Hindu di Lombok.

Tradisi ini umumnya dilakukan pada sore hari, setiap bulan purnama ke tujuh dalam penanggalan Suku Sasak. Sesuai namanya, 'perang' dalam tradisi ini berarti masyarakat Muslim dan masyarakat Hindu saling melempar ketupat.

Ketupat yang telah digunakan untuk berperang tersebut sering kali diperebutkan karena dipercaya dapat membawa kesuburan bagi tanaman. Kepercayaan ini sudah berlangsung selama ratusan tahun, dan masih dipercaya dan dijalankan hingga saat ini.

 

Penulis: Resla Aknaita Chak