Sukses

Sobat KBB Kecam Perilaku Diskriminatif Soal Pendirian Gereja di Cilegon

Tindakan Pemkot Cilegon yang turut serta menolak pendirian rumah ibadah di wilayahnya, di kecam oleh pegiat Solidaritas Korban Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Bekepercayaan (Sobat KBB).

Liputan6.com, Cilegon - Tindakan Pemkot Cilegon yang turut serta menolak pendirian rumah ibadah di wilayahnya, di kecam oleh pegiat Solidaritas Korban Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Bekepercayaan (Sobat KBB). Pemerintah seharusnya mengikuti perundang-undangan yang ada, bukan memihak ke salah satu kelompok.

"Kemendagri bersikap tegas terhadap tindakan Pemkot Cilegon yang mencederai Hak Asasi Manusia, khususnya dalam kebebasan berkeyakinan dan beragama," kata Usama Ahmad Rizal, Koordinator Advokasi Sobat KBB, Selasa (13/09/2022).

Umat Kristiani di Kota Cilegon jika ingin beribadah harus pergi ke Kota Serang. Jika rumahnya berada di sekitar Pelabuhan Merak dan melalui jalan raya menggunakan sepeda motor, maka waktu tempuhnya bisa mencapai 1,5 jam menuju gereja terdekat ibu kota Banten, itu pun jika kondisi arus lalu lintas normal.

Berdasarkan data Banten Dalam Angka 2021, Kota Cilegon memiliki 6.763 umat Kristen, 1.753 Katolik, 218 Hindu, Buddha 1.640.

Penolakan pendirian gereja kerap digaungkan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan masyarakat Kota Cilegon, atas dasar SK Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/SK/1975.

"Pemkot Cilegon memberikan izin pendirian tempat ibadah kepada selain masjid dan mushala, agar umat beribadah dapat melaksanakan ibadah menurut agama dan kepercayaannya. FKUB Kota Cilegon harus bersikap arif dan tidak membedakan-bedakan pemeluk agama yang memiliki hak sebagai warga negara," kata Usama.

2 dari 2 halaman

Benturan Peraturan

Perjuangan umat beragama lain untuk mendirikan rumah ibadah kerap kali terbentur dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah. Namun di sisi lain, pada Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia (RI) 1945 menyebutkan, setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.

Lalu, Pasal 29 Ayat 2 berbunyi, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Jaminan itu juga termuat dalam Pasal 18 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Di sana disebutkan bahwa, setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama.

Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum atau tertutup untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran.

"Kemenag merevisi Peraturan Bersama (Perber) 2 Menteri 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah. Perlu adanya konsistensi pengaturan terkait agama antara pemerintah pusat dan daerah, sehingga ke depan mempermudah koordinasi dan mekanisme penyelesaian masalah yang timbul di lapangan," kata Usama

Solidaritas Korban Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Bekepercayaan (Sobat KBB) juga mendesak Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas, agar konsisten terhadap ucapannya untuk menemui Pemkot Cilegon agar tidak berlaku diskriminatif terhadap semua pemeluk agama.

"Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menjalankan komitmennya untuk turun tangan menemui Wali Kota Cilegon Helldy Agustian, agar kasus-kasus diskriminasi tempat ibadah di Cilegon terselesaikan," jelasnya.